Minggu, 28 Agustus 2016

Bahtera Khidmah

Pondok Pesantren Al-Khidmah asuhan Kyai Musthafa Wira’i akhir-akhir ini menjadi buah bibir di kalangan masyarakat muslim Nusantara. Orang-orang dari berbagai daerah di seantero negeri berbondong-bondong memondokkan anaknya di sana. Meski baru berdiri sekitar tujuh tahun, secepat kilat, Pesantren Al-Khidmah menjelma menjadi pesantren besar dengan ribuan santri. Letaknya di pelosok negeri, namun setiap hari tak pernah sepi. Jalan terjal tak beraspal, tak menjadi aral bagi mobil-mobil mewah yang tengah berjalan menuju pesantren Al-Khidmah untuk menanam tunas-tunas bangsa di ladang yang betul-betul subur, karena senantiasa tersirami oleh mata air kearifan.

“Dul, sebenarnya, apa rahasia kyaimu itu, sampai-sampai pesantren di pelosok desa bisa menjadi seramai ini?” Sembari memegangi setir dan geleng-geleng kepala, Dr. Kholil menanyai keponakannya, lantaran keheranan melihat antrian mobil mengular di jalan masuk menuju komplek Pesantren Al-Khidmah. Kandidat professor universitas ternama ibukota itu hendak memondokkan anaknya di sana, setelah kepincut dengan akhlak keponakannya, Abdul Halim. Dul Halim, begitu Dr. Kholil memanggilnya, yang semula nakal minta ampun, setelah mondok di sana sekitar 1 tahun, sekarang berubah 180 derajat menjadi anak yang amat santun. Bersama keponakan dan anaknya, Dr. Kholil berkunjung ke Pesantren Al-Khidmah untuk yang pertama kali, setelah sebelumnya, ia hanya mendengar desas-desus nama besar pesantren dan juga pengasuhnya, Kyai Musthafa Wira’i.

“Saya tidak tahu Paman. Yang saya tahu, Kyai selalu berpesan kepada santrinya agar senantiasa berkhidmah dengan akhlaqul karimah.” Bocah yang dulu petakilan itu menjawab pertanyaan pamannya dengan menundukkan kepala. Dr. Kholil tidak menimpali jawaban Dul Halim dengan pertanyaan lagi, meskipun rasa penasarannya semakin membuncah, tatkala mobil yang disetirnya memasuki kompleks Pesantren Al-Khidmah.

Awalnya, Dr. Kholil mengira bahwa Pesantren Al-Khidmah merupakan pesantren megah yang berdiri di tengah-tengah pedesaan. Namun, dugaannya keliru. Tidak ada bangunan megah di kompleks Pesantren Al-Khidmah, sama sekali tidak ada! Satu hal yang sangat bertolak belakang dengan bayangan Dr. Kholil selama ini tentang kebesaran Pesantren Al-Khidmah. Rumah Kyai Wira’i begitu sederhana, dikelilingi kamar-kamar panggung berdinding anyaman bambu dan beratap daun rumbia, tempat dimana para santri Al-Khidmah menghabiskan waktu untuk mengaji dan mencari makna. Sungguh di luar dugaan!

Di depan bangunan-bangunan yang jauh dari kata megah itu, di atas tanah lapang yang tak rata dan masih ditumbuhi rerumputan liar, Dr. Kholil memarkirkan Grand Livina-nya bersama deretan mobil-mobil lain yang tak kalah mewah. Dua koper besar dikeluarkan Dr. Kholil dari dalam mobil, dan segera ia seret bersama Dul Halim yang menggendong tas ransel ukuran sedang. Averroes, anak Dr. Kholil yang hendak mondok di Pesantren Al-Khidmah, berjalan menguntit di belakang mereka berdua.

“Mohon maaf Pak, Kyai Wira’i ada di rumah?” Setelah duduk dan meletakkan kopernya, Dr. Kholil bertanya kepada salah seorang diantara puluhan wali santri yang juga tengah duduk di teras rumah kyai.

“Iya Pak. Abah Kyai ada di rumah, tapi sedang shalat jama’ah. Datang dari dari mana, Pak?” Wali santri itu balik bertanya kepada Dr. Kholil.

“Saya dari Jakarta Pak.” Sambil meluruskan kedua kaki yang pegal-pegal karena menempuh jarak ratusan kilo, Dr. Kholil menjawab pertanyaan wali santri yang tengah berbincang-bincang dengannya itu. “Mohon maaf, saya luruskan kaki saya Pak. Lha Bapak, asalnya darimana?”
“Oh, tidak apa-apa. Saya dari Sulawesi Pak.”

“Sulawesi???” Tanya Dr. Kholil terkaget-kaget. Memang, santri yang tinggal di Pesantren Al-Khidmah berasal dari berbagai propinsi yang ada di Nusantara, bahkan beberapa ada yang berasal dari mancanegara.

“Betul Pak, Kota Bau-Bau, Pulau Buton, Sulawesi Tenggara. Saya kesini mau njenguk anak. Kasihan, kemarin lebaran nggak pulang kampung.” Wali santri itu menjelaskan secara rinci dari mana asalnya, dan juga tujuannya datang ke rumah Kyai Wira’i.

Tak lama kemudian, santri abdi ndalem Kyai Wira’i datang untuk membukakan pintu, lalu mempersilahkan para tamu untuk masuk ke dalam rumah sang kyai. Karena datang agak belakangan, rombongan Dr. Kholil pun duduk disamping pintu, di belakang tetamu yang duduk bersap-sap menghadap tirai pemisah ruang tamu dengan ruang dalam rumah Kyai Wira’i. Sambil menunggu kedatangan Kyai Wira’i, para tamu satu persatu disuguhi makanan dan minuman oleh santri-santri abdi ndalem Pesantren Al-Khidmah. Tiba-tiba, tirai yang menjuntai diantara ruang tamu dan ruang keluarga Kyai Wira’i itu terbuka secara perlahan-lahan. Semua mata tertuju kepadanya. Kyai Wira’i, sosok yang dari tadi ditunggi oleh para tamu yang datang dari berbagai penjuru bumi pertiwi itu akhirnya keluar. Seketika, seluruh tamu berdiri hormat dan mengantri supaya dapat bersalaman langsung dengan Kyai Wira’i. Tak terkecuali Dr. Kholil, Dul Halim dan Averroes, mereka pun sabar untuk mengantri.

Ketika datang giliran Dr. Kholil untuk bersalaman dengan Kyai Wira’i, tiba-tiba Kyai Wira’i berseru. “Masyaallaaah... Kang Kholil!”

Mendengar namanya disebut oleh Kyai Wira’i, Dr. Kholil pun kaget bukan kepalang. Ternyata, Kyai Wira’i sudah mengenal Dr. Kholil. Sambil mengernyitkan dahi karena merasa bingung atas apa yang sedang dialaminya, Dr. Kholil membalas seruan Kyai Wira’i dengan penuh tanda tanya. “Iya Kyai, saya Kholil. Bagaimana Kyai? Ada yang bisa saya bantu?”

Dan Kyai Wira’i pun memeluk erat-erat Dr. Kholil, sembari mengulang-ulang ucapannya tadi. “Masyaallaaaah... Kang Kholil... Masyaallaaah...”

Kandidat professor di bidang pendidikan itu pun bertambah bingung. Dalam hati ia bertanya-tanya. “Apa sebenarnya maksud Kyai Wira’i ini? Mengapa ia tiba-tiba memelukku? Dan, darimana ia tahu namaku, padahal baru kali ini bertemu denganku?”

Kyai Wira’i lalu berucap kepada Dr. Kholil sambil menepuk-nepuk bahunya. “Aku Topo, Kang... Mustopo Kang Kholil...” Mendadak, suasana di dalam ruang tamu Kyai Wira’i menjadi benar-benar hening. Dul Halim, Averroes, dan seluruh tamu yang sedang sowan Kyai Wira’i tercengang dengan apa yang baru saja diucapkan oleh Kyai Wira’i.

Mendengar sebuah nama terucap dari mulut Kyai Wira’i, sontak Dr. Kholil berteriak kencang karena haru. “Ya Allaaaahhh... Kang Topo!” Tak terasa, bulir-bulir air mata keduanya mengalir deras. Kyai Wira’i dan Dr. Kholil pun berpelukan begitu hangat. Seluruh tamu kasak-kusuk bertanya-tanya tentang apa yang sebenarnya sedang terjadi di hadapan mereka.

“Sudah 30 tahun kita tidak bertemu Kang Kholiiil...” Ucap Kyai Wira’i dengan mata berkaca-kaca. Setelah melepaskan pelukannya, Kyai Wira’i mempersilahkan Dr. Kholil untuk duduk. “Monggo.. Monggo.. Kang Kholil.. Silahkan duduk...!”

Tiba-tiba, ingatan Dr. Kholil melayang-layang kembali pada 30 tahun silam, saat dimana ia bersama-sama dengan Kyai Wira’i menimba ilmu kepada Kyai Mubarak di Pesantren Al-Barakat. Waktu itu, ia menjadi lurah Pesantren Al-Barakat. Sering kali, ia memarahi Topo ---panggilan Kyai Wira’i semasa nyantri di Pesantren Al-Barakat--- yang tidak pernah mengaji, karena sibuk melayani Kyai Mubarok. Hari-hari Topo dihabiskan seutuhnya untuk berkhidmah kepada sang kyai. Saking sibuknya melayani Kyai Mubarok, Topo lebih sulit ditemui daripada kyainya sendiri.

Pagi-pagi benar, sebelum fajar menyingsing, tatkala teman-teman santrinya masih tertidur pulas, Topo sudah bangun untuk menimba air sumur guna memenuhi bak-bak kamar mandi, maupun padasan tempat berwudhu kyai dan para santri. Setelah berjama’ah subuh, di kala teman-teman santrinya mengaji al-Quran, ia malah mengayuh becak milik ndalem Kyai Mubarok menuju pasar, untuk berbelanja kebutuhan pangan santri sehari-hari. Sepulang dari pasar, di waktu teman-teman santrinya berangkat mengaji kitab dan bermusyawarah di madrasah diniyyah milik pesantren, ia justru menanak nasi dan memasak lauk-pauk untuk santri Kyai Mubarok yang jumlahnya sekitar 200-an. Setelah nasi dan lauk pauk matang, ia langsung membersihkan dapur sekaligus ndalem Kyai Mubarok. Sore hari, ketika teman-temannya sedang sibuk mendaras hafalan Alfiyyah, ‘Imrithi, atau Jurumiyyah, Topo malah menunggui ndalem Kyai Mubarok untuk menyambut dan melayani tamu-tamu yang berkunjung kepada sang kyai. Malamnya, di waktu teman-teman santrinya bersama masyarakat kampung mengaji kitab kuning kepada Kyai Mubarok, alih-alih ikut mengaji, Topo justru lagi-lagi menyibukkan diri untuk membantu sang kyai, menjamu para hadirin yang memadati ndalem Kyai Mubarok dengan membuatkan wedang teh atau pun kopi. Praktis, Topo tidak pernah mengaji kitab sama sekali, karena waktunya telah habis untuk mengabdikan dirinya kepada sang kyai.

Oleh karenanya, dahulu, sewaktu masih menjadi pengurus Pesantren Al-Barakat, Dr. Kholil sering memarahi, bahkan sampai membenci Topo, santri abdi ndalem yang terkenal tak pernah ngaji. Ia benar-benar tak menyangka, Topo yang dulu begitu dibencinya itu kini menjadi seorang kyai besar, calon pengasuh anak bungsunya Averroes. Tiba-tiba tergelar dalam layar fikirannya, semua kenangan tentang Topo, termasuk kenangan buruknya ketika ia pernah memaki-maki Topo di hadapan para santri. “Pooo, Topoooo? Mondok nggak pernah ngaji, besok mau jadi apa kamu?” Langit hati Dr. Kholil tengah bergemuruh, dirundung mendung rasa bersalah, dan disambar petir rasa malu kepada Kyai Musthafa Wira’i. Hujan badai pun berkali-kali turun di bumi sanubari sang calon professor itu.

Saat duduk sejenak, tak sengaja Dr. Kholil melihat pigura foto Kyai Mubarok menggantung di dinding ruang tamu Kyai Wira’i. Seketika, hatinya berkata sambil kedua matanya masih berlinang air mata. “Benarlah... sungguh benar apa yang pernah dikatakan Kyai Mubarok puluhan tahun yang lalu...” Memori lamanya lagi-lagi menayangkan sebuah kejadian nyata, ketika ia bersama para pengurus pesantren menghadap Kyai Mubarok, untuk melaporkan seorang santri yang tak pernah mengaji, supaya Kyai Mubarok berkenan mengeluarkannya. “Santri yang tak pernah mengaji adalah penyakit bagi santri lain, Kyai.” Tukas Dr. Kholil dengan penuh percaya diri, sewaktu ia masih menjadi lurah pesantren. “Sudilah kiranya, Kyai berkenan mengeluarkannya, supaya penyakit santri itu tidak menular kepada santri-santri lain.” Semua yang hadir di ndalem Kyai Mubarok saat itu sudah tahu siapa yang tengah diperbincangkan, tak lain dan tak bukan adalah Topo, yang memiliki nama lengkap Musthafa Wira’i.

Tanpa diduga-duga, Kyai Mubarok menjawab. “Santri yang hendak kalian keluarkan itu calon kyai besar! Berkacalah kalian, dan mengajilah kepadanya!” Tanpa sepatah kata lagi, Kyai Mubarok langsung meninggalkan mereka dengan muka masam. Para pengurus Pesantren Al-Barakat, lebih-lebih Dr. Kholil yang kala itu menjadi lurah pondok, betul-betul tersentak dengan apa yang diucapkan oleh Kyai Mubarok. Dhawuh Kyai Mubarok puluhan tahun yang lalu itu, seolah baru saja terdengar keras di telinga Dr. Kholil. Begitulah, para kyai yang memiliki ketajaman mata batin, ucapannya jauh lebih tajam dari tombak atau pun panah, karena mampu menembus ruang dan waktu. Dr. Kholil semakin menangis terisak-isak. Ia merasa bahwa perkataan kyainya dulu sungguh benar-benar haqq. Berulang-ulang kali, ia menghalau air mata yang hendak membasahi pipi dengan jemari, supaya tangisnya tak diketahui oleh orang banyak.

“Kang Kholil ini teman sepondok saya...” Dengan santun, Kyai Wira’i memperkenalkan Dr. Kholil kepada para tamu. “Beliau, dulu lurah pondok. Karena tidak pernah ngaji, saya sering dinasehati beliau.” Para hadirin lantas mangut-mangut setelah mendengar penjelasan Kyai Wira’i yang dibumbui senyuman hangat. Dr. Kholil yang tengah jadi bahan pembicaraan merasa malu. Ia merasa tidak pantas, pernah menjadi teman sepondok Kyai Wira’i tempo dulu.

“Gara-gara tidak pernah ngaji, akhirnya saya terlalu lama di pondok. Dan baru tujuh tahun yang lalu saya boyongan dari pesantren.” Ucap Kyai Wira’i kepada para tamu sambil mengalihkan pandangannya kepada Dr. Kholil.

Betapa terperanjatnya Dr. Kholil mendengar pernyataan teman sepondoknya dulu itu. Tiba-tiba ia menimpali pernyataan Kyai Wira’i dengan penuh rasa penasaran. “Baru boyong 7 tahun yang lalu? Berarti Panjenengan mondok di pesantren Kyai Mubarok selama 25 tahun Kang?” Tanya Dr. Kholil mengira-ngira. Setelah tahu bahwa Kyai Wira’i adalah sahabat lamanya, Dr. Kholil kini memanggilnya Kang, sebuah panggilan familiar yang dipergunakan para santri untuk memanggil sahabat-sahabatnya.

“Betul Kang Kholil. Saya baru mondok 2 tahun, Panjenengan sudah boyong. Sebenarnya, saya masih betah di sana. Namun, Kyai Mubarok malah menikahkan saya, dan menyuruh saya untuk pulang kampung. Saat saya menolak berpisah dengan beliau, Kyai Mubarok malah menitipkan dua santri barunya kepada saya, dan berkata: pulanglah, sudah saatnya kamu dilayani. Man khadama, khudima. Siapa yang mau melayani, pasti akan dilayani. Tanpa banyak pikir, sami’na wa atha’na, akhirnya saya pun pulang bersama istri dan dua orang santri pemberian Kyai Mubarok. Lambat laun, santri-santri lain berdatangan secara berbondong-bondong, Kang. Jadi, semua ini tak lain hanya karena berkahnya Kyai Mubarok.” Ungkap Kyai Wira’i kepada para tamu, terkhusus kepada sahabat lamanya, Dr. Kholil, sambil menunjuk ke arah foto Kyai Mubarok yang menempel di dinding ruang tamu.

Para tamu tertegun mendengar tutur cerita Kyai Wira’i. Dari tadi, mereka setia menyimak dengan seksama cerita yang dikisahkan oleh pengasuh Pesantren Al-Khidmah itu. Sejenak kemudian, Kyai Wira’i menanyai para tamu satu persatu, tentang maksud kedatangan mereka ke kediaman beliau. Mereka pun menjawab pertanyaan Kyai Wira’i dengan jawaban yang beraneka ragam. Ada yang bertujuan ingin memondokkan anaknya, bersilaturrahim, memohon doa, meminta ijazah wirid, minta dicarikan jodoh, dan bahkan ada yang ingin di-suwuk supaya lekas sembuh dari penyakit yang diderita. Setiap tamu yang selesai mengutarakan hajat-nya kepada Kyai Wira’i langsung berpamitan pulang. Hingga tiba lah saatnya Dr. Kholil untuk mengungkapkan maksud kedatangannya kepada sahabat lamanya itu.

“Kang Musthafa Wira’i” Panggil Dr. Kholil dengan penuh rasa hormat. “Saya kesini, hendak memondokkan anak saya, Averroes ini. Mohon bimbingan dan doanya, Kang.” Kata Dr. Kholil sambil memperkenalkan anaknya kepada Kyai Musthafa Wira’i. “Sana, sungkem sama Abah Kyai, Nak.” Pinta Dr. Kholil kepada anak bungsunya yang hendak dipondokkan itu. Sang buah hati yang ketika di rumah begitu sulit untuk diperintah itu tiba-tiba saja menuruti apa kata ayahnya. Di sini lah, Dr. Kholil benar-benar merasakan aura ke-kyai-an sahabat mondoknya dulu itu.

Tatkala menerima sembah sungkem dari calon santrinya itu, Kyai Wira’i langsung mengusap ubun-ubun Averroes sembari melangitkan doa-doa. Setelah itu, beliau menasehati Averroes. “lā yahshul al-murādu illā bil-khidmah, segala yang dicita-citakan hanya dapat diraih dengan khidmah, Nak. Orang yang mau berkhidmah, ibarat sedang membuat bahtera Nuh. Ia harus siap diejek, dimaki, dicela dan dianggap gila karena menanam pohon khidmah puluhan tahun lamanya hanya untuk dijadikan bahtera, di kala tiada banjir datang mendera. Memang, prosesnya lama. Tetapi ketika datang waktunya, semua akan tahu, siapa yang selamat, dan siapa yang justru tenggelam dalam lautan maki dan cela. Ilmu adalah samudera, Nak. Sedangkan khidmah adalah bahtera, yang membantu para santri menemukan mutiara. Sekalipun para pencari ilmu telah menyelami samudera seorang diri, tanpa bahtera khidmah, ia akan kesulitan menemukan mutiara yang indahnya tak terperi.”

Untaian nasehat Kyai Wira’i yang ditujukan kepada Averroes itu malah melesat cepat bagai anak panah terlepas dari busurnya, lalu menancap kuat di relung hati Dr. Kholil. Ia merasa tertusuk-tusuk, karena pernah menganggap remeh urusan khidmah. Selama ini, ia hanya mengejar ilmu dan gelar, namun lalai soal khidmah dan pengabdian. Ia merasa harus berkaca, sebagaimana yang pernah dituturkan kyainya, dan belajar kepada seorang santri yang dulu pernah diremehkannya. Kini, Dr. Kholil merasa, bahwa selama ini ia hanya menyelami samudera seorang diri, tanpa memperdulikan orang lain selamat atau tidak? Tenggelam atau tidak? Ilmunya yang begitu luas, hanya bisa ia nikmati sendiri secara terbatas. Sedangkan orang lain, sama sekali tak mampu merasakan manfaatnya, kecuali hanya kebesaran gelar yang acap terucap, namun tak mampu tercecap apalagi tertancap. Sebaliknya, teman santrinya yang pernah ia hujani dengan cela, telah mampu menikmati keberkahan ilmunya, bersama banyak orang dalam bahtera kebahagiaan tiada tara. Dengan khidmah, ilmu menjadi berkah. Dan dengan berkah, sedikit ilmu bisa melimpah ruah.

Sambil menangis sesunggukan, Dr. Kholil tiba-tiba menghampiri Kyai Wira’i dan memeluknya sekuat gunung, kemudian berucap. “Kang Musthafa Wira’i, izinkanlah anakku berkhidmah kepadamu sepanjang hayatmu. Biarkanlah ia turut serta menaiki bahtera khidmahmu. Supaya ia mampu menemu untaian mutiara, hingga terdampar di daratan berkah dan ridha Sang Pencipta.”

Setelah memasrahkan Averroes kepada Kyai Wira’i, Dr. Kholil pun langsung kembali ke ibukota. Ia mulai tersadar akan pentingnya arti khidmah. Lantas bergegaslah ia mengembangkan layar, berjuang menjalankan bahtera khidmah dengan roda kemudi cinta dan dayung-dayung sabar, demi menyelamatkan manusia dari badai petir dunia akhirat yang tiada henti menyambar-nyambar.

*Ditulis beberapa hari setelah sowan Kyai Hannan Pengasuh Pondok Pesantren Fathul Ulum Kwagean Kediri, dan Gus Muslim Hannan, semoga Allah senantiasa menganugerahi beliau-beliau dengan rahmat dan kasih sayangNya.

Landung Sari Malang, 03 Agustus 2016

(Disadur Dari Sebuah Cerpen Sahal Japara)