Materi Kuliah: Tawasul
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَابْتَغُوا إِلَيْهِ الْوَسِيلَةَ وَجَاهِدُوا فِي سَبِيلِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan. ( Al Maidah : 35).
Apa itu Tawasul ?
Akhir-akhir ini banyak orang yang menyalahkan suatu amaliah yang sudah jelas dan kukuh dasar dalilnya. Salah satunya adalah tentang Tawasul. Untuk memperjelas dan menguatkan kembali keyakinan pengikut Madzhab Ahlus Sunnah Wal Jamaah, maka kami perlu menyampaikan kembali apakah Tawasul itu dan bagaimana.
Tawasul berasal dari kata Washilah yaitu Perantara/Penghubung/Penyampai. Jadi disini maksud dari Tawasul adalah mengambil perantara yang merupakan salah satu cara dalam berdo'a kepada Allah. Jadi tujuan dari Tawasul tidak lepas dari hakikat berdo'a yaitu mencari keridhaan dan kasih sayang Allah subhanahu wa ta'ala, tidak melenceng dari itu, apalagi sampai dikatakan musyrik karena menyembah kepada yang dijadikan tawasul dalam do'a tersebut, apalagi dikaitkan dengan menyembah maqam wali dan lain sebagainya.
Kita bertawasul kepada Rasulullah, Wali Allah, Habaib, Kyai dan lain sebagainya untuk berdo'a kepada Allah, karena memandang dari kedudukan beliau-beliau itu di hadapan Allah. Beliau sebagai pembimbing umat, penerus para Rasul dan Nabi dan kebaikan lainnya.
Dalil-dalil Tawasul
Jika memang Tawasul sebagai salah satu cara dalam berdo'a adakah dalilnya ? Dengan tegas kita katakan, "Ada." Salah satunya adalah Qur'an Surat Al Maidah ayat 35 diatas. Dijelaskan dalam Tafsir Shawi sebagai berikut :
وَيَصِحُّ اَنَّ اْلمُرَادَ بِالتَّقْوَى اِمْتتَِالُ اْلمَأْمُوْرَاتِ الْوَاجِبَةِ وَتَرْكُ اْلمَنْهِيَّاتِ اْلمُحَرَّمَةِ وّابْتِغَاءِالْوَسِيْلَةَ مَايُقِرُّبِهِ اِلَيْهِ مُطْلَقًا، وَمِنْ جُمْلَةِ ذَلِكَ مَحَبَّةُاَنْبِيَاءِ اللهِ تَعَلَى وَاَوْلِيَائِهِ وَالصَّدَقَاتِ وَزِيَارَةِ اَحْبَابِ اللهِ وَكَشْرَةِ الدُّّعَاءِ وَصِلَةِ الرَّحِمِ وَكَشْرَةِ الذِّكْرِ وَغَيْرِذَلِكَ.فَالْمَعْنَى كُلُّ مَا يُقَرِّ بُكُمْ اِلَى اللهِ فَالْزَمُوْهُ وَاتْرُكُوْامَا يُبْعِدُكُمْ عَنْهُ اِذَاعَلِمْتَ ذَلِكَ. فَمِنَ الضَّلَالِ اْلمُِيْن وَالْخُسْرَانِ الظَّاهِرِ يَكْفِيْرُ الْمُسْلِمِيْنَ بِزِيَارَةِ أَوْلِيَاءِ اللهِ زَاعِمِيْنَ اَنَّ زِيَارَتَهُمْ مِنْ عِبَادَةِ غَيْرِ اللهِ كَلَّا بَلْ هِيَ مِنْ جُمْلَةِ الْمَحْبَةِ فِى اللهِ الَّتِى قَالَ فِيْهَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: اَلَا لَا اِيْمَانَ لِمَنْ لَا مَحَبَّةَ لَهُ، وَالْوَسِيْلَةِ لَهُ الَّتِى قَالَ اللهُ فِيْهَا: وَابْتَغُواْ اِلَيْهِ الْوَسِيْلَةَ:.اھ ΅
"Yang dimaksud dengan taqwa yaitu menjalankan perintah-perintah yang wajib dan menjauhi larangan-larangan yang diharamkan juga mencari perantara untuk mendekatkan kepada Allah, secara mutlak. Dan termasuk di dalamnya adalah mencari para Nabi, wali-wali Allah, sodaqoh, menziarahi kekasih-kekasih Allah, memperbanyak do’a, silaturahim, memperbanyak dzikir dan lain sebagainya. Artinya menjalankan sesuatu yang dapat mendekatkan kita kepada Allah . Maka sesuatu yang dapat mendekatkan kita kepada Allah dan meninggalkan sesuatu yang dapat menjauhkan kita dari Allah. Maka suatu kesesatan yang jelas dan kerusakan yang jelas juga bila mengkaitkan orang-orang yang berziarah ke makam-makam wali Allah dengan menganggap bahwa ziarah adalah sirik. Padahal ziarah itu sebagian bentuk mahabbah kepada Allah seperti yang Rosulullah sabdakan” tiadakah iman bagi orang yang tidak mempunyai perantara kepada Alloh seperti yang Allah firmankan: Carilah perantara untuk menuju Alloh.”
Almaghfurlah Sayyid Muhammad bin Alawi Al Maliki juga menjelaskan tentang tafsir ayat tersebut. Beliau mengatakan :
وَلَفْظُ اْلوَسِيْلَةِ عَامٌ فِى اْلآيَهِ كَمَا تَرَى فَهُوَ شَامِلٌ لِلتَّوَاسُلِ بِاالذَّوَاتِ اْلفَاضِلَةِ مِنَ اْلاَنْبِيَاءِ وَالصَّالحِيِْنَ فِى اْلحَيَاةِ وَبَعْدَ اْلمَمَاتِ وَباِلْاتِيْاَنِ بِاْلاَعْمَالِ الصَّالِحَةِ عَلَى اْلوَجْهِ اْلمَأْمُوْرِ بِهِ وَلِلتَّوَاسُلِ بِهَا بَعْدَ وُقُوْعِهَا.
"Seperti yang kamu ketahui bahwa lafal الوسيلة pada ayat diatas bersifat umum yang memungkinkan artinya berwasilah dengan dzat-dzat yang utama seperti para Nabi, orang-orang soleh, baik dalam masa hidup mereka maupun sudah mati juga memungkinka diartikan berwasilah dengan amal-amal saleh dengan menjalankan amal-amal soleh itu dan dijadikan perantara untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT."
Demikianlah para ulama menjelaskan kebolehan bertawasul. Para Salafus Shalih adalah ikutan kita, maka mengapa kita ragu tentang penjelasan beliau, bukankah mereka adalah orang yang terdekat dengan Rasulullah Muhammad Shalallahu 'alaihi Wasallam.
Berkaitan dengan Tawasul ini ada sebagian kelompok, khususnya yang beraliran Wahabi, walaupun mereka sekarang menyebut diri Salafi Wahabi mengatakan, bahwa itu haram dan musyrik, karena bertentangan dengan ayat Qur'an Surat Az Zumar ayat 3 :
اَلَا للهِ الدَّيْنِ الْخَالِصُ وَالَّدِيْنَ اتَّخَذُوْا مِنْ دُونِهِ اَوْلِياَءَ مَانَعْبُدُهُمْ اِلَّا لِيُقَرِّبُوناَ اِلىَ اللهِ زُلْفَى (الزمر:٣ )
“Ingatlah, hanya kepunyaan Allah – lah agama yang bersih (dari syirik). Dan orang – orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata): “Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat – dekatnya.”
Jelas ini adalah kesalahan yang nyata dan tidak memahami ayat Qur'an dengan benar kemudian seenaknya mendalil dengannya.
Perhatikan ucapan ulama, yaitu Syaikh Abdul Hayyi al –‘Amrawi dan Syaikh Abdul Karim Murad menyatakan “Perkataan para penyembah berhala “Kami menyembah mereka (berhala – berhala itu) supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat – dekatnya. Ayat ini menegaskan bahwa mereka menyembah berhala untuk tujuan tersebut. Sedangkan orang yang bertawassul dengan orang alim atau para Rasul itu tidak menyembah mereka. Tetapi karena dia tau bahwa orang yang di – tawassul – i tersebut memiliki keutamaan dihadapan Allah Subhanahu wa ta'ala dengan kedudukannya sebagai Rasul, ilmu yang dimiliki atau kerena kenabiannya. Dan karena kelebihannya itulah kemudian ada orang yang melakukan tawassul dengan mereka.” (Al – Tahdzir min al – Ightitar, hal : 113).
Demikian juga Almaghfurlah Sayyid Muhammad bin Alawi Al Maliki mengatakan :
فَلاَ تَدْعُوْا مَعَ اللهِ اَحَدً.الاية,لَهُ دَعْوَةُ الْحَقِ وَالَّدِيْنَ يَدْعُوْنَ مِنْ دُوْنِهِ لَا يَسْتَجِيْبُوْنَ لَهُمْ بِشَيْئٍ. الاية
"Bahwa ayat – ayat ini ditujukan bagi orang – orang musyik yang menyembah berhala, tentunya berbeda dengan orang yang bertawassul yang hanya menjadikan sesuatu sebagai perantara menuju Allah Subhanahu wata'ala"
Tawasul Kepada Orang Yang Sudah Meninggal Termasuk Rasulullah
Ternyata tidak sampai disitu, kelompok Wahabi yang Jumud (Kaku/Kasar) itu juga ada yang menyatakan bahwa Tawasul itu boleh, tapi kepada orang yang masih hidup, jika sudah mati tidak boleh, termasuk tawasul kepada Rasulullah Muhammad Shalallahu 'alaihi Wasallam tidak boleh karena beliau sudah meninggal.
Hal ini jelas terbantahkan. Mari kita perhatikan Firman Allah dalam Surat An Nisa Ayat 64 yang isinya sebagai berikut :
وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ رَسُولٍ إِلا لِيُطَاعَ بِإِذْنِ اللَّهِ وَلَوْ أَنَّهُمْ إِذْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ جَاءُوكَ فَاسْتَغْفَرُوا اللَّهَ وَاسْتَغْفَرَ لَهُمُ الرَّسُولُ لَوَجَدُوا اللَّهَ تَوَّابًا رَحِيمًا
“Dan kami tidak mengutus seseorang rasul, melainkan untuk ditaati dengan seizin Allah. Sesungguhnya jika mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasul pun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang.” (QS. An-Nisa’: 64)
Dalam Kitab Tafsi Ibnu Katsir dalam menjelaskan ayat diatas adalah sebegai berikut :
وقوله: { وَلَوْ أَنْهُمْ إِذْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ جَاءُوكَ فَاسْتَغْفَرُوا اللَّهَ وَاسْتَغْفَرَ لَهُمُ الرَّسُولُ لَوَجَدُوا اللَّهَ تَوَّابًا رَحِيمًا } يرشد تعالى العصاة والمذنبين إذا وقع منهم الخطأ والعصيان أن يأتوا إلى الرسول صلى الله عليه وسلم فيستغفروا الله عنده، ويسألوه أن يستغفر لهم، فإنهم إذا فعلوا ذلك تاب الله عليهم ورحمهم وغفر لهم، ولهذا قال: { لَوَجَدُوا اللَّهَ تَوَّابًا رَحِيمًا }
وقد ذكر جماعة منهم: الشيخ أبو نصر بن الصباغ في كتابه "الشامل" الحكاية المشهورة عن العُتْبي، قال: كنت جالسا عند قبر النبي صلى الله عليه وسلم، فجاء أعرابي فقال: السلام عليك يا رسول الله، سمعت الله يقول: { وَلَوْ أَنَّهُمْ إِذْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ جَاءُوكَ فَاسْتَغْفَرُوا اللَّهَ وَاسْتَغْفَرَ لَهُمُ الرَّسُولُ لَوَجَدُوا اللَّهَ تَوَّابًا رَحِيمًا } وقد جئتك مستغفرا لذنبي مستشفعا بك إلى ربي ثم أنشأ يقول:
يا خيرَ من دُفنَت بالقاع (1) أعظُمُه ... فطاب منْ طيبهنّ القاعُ والأكَمُ ...
نَفْسي الفداءُ لقبرٍ أنت ساكنُه ... فيه العفافُ وفيه الجودُ والكرمُ ...
ثم انصرف الأعرابي فغلبتني عيني، فرأيت النبي صلى الله عليه وسلم في النوم فقال: يا عُتْبى، الحقْ الأعرابيّ فبشره أن الله قد غفر له (2) .
(1) في أ: "في القاع".
(2) ذكر هذه الحكاية النووي في المجموع (8/217) وفي الإيضاح (ص498)، وزاد البيتين التاليين: أنت الشفيع الذي ترجى شفاعته ... على الصراط إذا ما زلت القدم
وصاحباك فلا أنساهما أبدا ... مني السلام عليكم ما جرى القلم
"Dan firman Alloh: {Sesungguhnya jika mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasul pun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang..”} (QS. An-Nisa’: 64) Alloh mengajarkan kepada ahli maksiat dan pelaku dosa ketika sebagian diantara mereka melakukan kesalahan dan kemaksiatan agar mereka datang kepada Rosul Shollallohu ‘alaihi wa sallam dan memohon kpd Alloh disisinya, dan memohon kpd Rosul agar memohonkan ampun kpd Alloh atasnya. Maka apabila melakukan hal itu, niscaya Alloh menerima tobat mereka, merohmatinya dan mengampuninya, karena inilah Alloh berfirman, {tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang.”} (QS. An-Nisa’: 64)
Dan telah disebutkan oleh ijma’ ulama sebagian diantara mereka adalah Syeikh Abu Nashir bin Ash-Shobagh dlm kitabnya “Asy-Syamil” tentang cerita yg masyhur tentang Al-‘Utbi dia berkata, “Aku duduk di dekat kubur Nabi Shollallohu ‘alaihi wa sallam, maka datanglah seorang arab badui dan berkata, ‘Keselamatan bagimu wahai Rosululloh, aku telah mendengar bhw Alloh berfirman, {Dan kami tidak mengutus seseorang rasul, melainkan untuk ditaati dengan seizin Allah. Sesungguhnya jika mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasul pun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang.} (QS. An-Nisa’: 64) Sungguh aku telah mendatangimu untuk memohon ampunan atas dosa-dosaku dan memohon syafa’at darimu dari Tuhanku, kemudian dia bersyair: ‘Wahai org yg terbaik dan agung yg telah dikubur..., beruntunglah org yg membawa kebersihan di dlm kuburnya..., diriku sebagai tebusan (pengganti) untuk kubur yg engkau tempati..., di dalamnya terdapat kesucian, kedermawanan dan kemuliaan.....’ setelah itu orang arab badui pergi. Maka tibalah rasa kantukku (Al-‘Utbi) dan tertidur, di dalam mimpiku Nabi Shollallohu ‘alaihi wa sallam berkata, “Wahai Utbi, arab badui benar, maka berilah kabar gembira kepadanya krn Alloh telah mengampuninya.”
(Hikayat ini disebutkan oleh Imam Nawawi dlm Al-Majmu’ juz 8 hal. 217 / Al-Idhoh hal. 498. Dan ada tambahan dua bait syair mengikutinya yaitu, “Engkaulah pemberi syafa’at yg diharapkan syafa’atnya..., diatas shiroth saat kaki melangkah..., dan unt kedua sahabatmu yg tdk aku lupakan selamanya..., salam dariku untukmu selama catatan masih berlaku.”)
Sayyid Ahmad Bin Zaini Dahlandalam Kitabnya “Ad-Durar As-Saniyah Fi Radd Al-Wahabiyah” juga menjelaskan tentang ayat tersebut :
ألدٌّرَرُ السَّنِيَّةُ قِى رَدِّ عَلَى اْلوَهّابِيَّةِ
ألسيد أحمد ابن زيني دحلان
اعلم رحمك الله ان زيارة قبر نبينا صلى الله عليه وسلم مشروعة مطلوبة باالكتاب والسنة واجماء الامة أماالكتاب فقوله تعالى : { وَلَوْ أَنَّهُمْ إِذْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ جَاءُوكَ فَاسْتَغْفَرُوا اللَّهَ وَاسْتَغْفَرَ لَهُمُ الرَّسُولُ لَوَجَدُوا اللَّهَ تَوَّابًا رَحِيمًا } دلت الاية على حث الامة على المجئ صلى الله عليه وسلم والاستغفار عنده والاستغفارلهم وهذا لا ينقطع بموته ص 3
Ketahuilah, semoga Alloh merohmatimu, sesungguhnya berziarah ke kubur Nabi kita Shollallohu ‘alaihi wa sallam adalah disyari’atkan dan diharapkan di dlm al-Kitab dan as-Sunnah serta ijma’ umat. Adapun kitab al-Qur’an sebagaimana firman Alloh Ta’ala: {Sesungguhnya jika mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasul pun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang..”} (QS. An-Nisa’: 64) Ayat ini menunjukkan perintah buat umat agar mendatangi Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan memohon ampun disisinya serta memohon agar Rosul memohonkan ampun kepada mereka. Dan ini tdk terputus [keharusannya] sebab telah wafatnya Rosululloh.
Jadi jelas disini pendapat yang mengharamkan tawasul kepada Rasulullah Muhammad Shalallahu 'alaihi Wasallam yang sudah meninggal tidak beralasan.
Ada juga yang mengajukan dalil penolakan hal tersebut diatas mendasarkan pada hadits riwayat Imam Bukhari berikut :
عَنْ اَنَسِ بْنِ مَالِكٍ اَنْ عُمَرَ بْنَ الْخَطَابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ كَانَ اِذَاقَحَطُوا اسْتَسْقَى بِالْعِبَاسِ بْنِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ فَقَالَ الَّلَهُمَّ اِنَا كُنَّا نَتَوَسَّلُ اِلَيْكَ بِنَبِيِّنَا فَتَسْقِيْنَا وَاِناَّ نَتَوَسَّلُ اِلَيْكَ بِعَمَّ نَبِيِّناَ فاَسْقِناَ قاَلَ فَيُسْقَوْنَ (رواه البخارى،٩٥٤)
"Dari Anas bin Malik R.A beliu berkata “Apabila terjadi kemarau, sahabat Umar bin alkhathab bertawasul dengan Abbas bin Abdul Muththalib, kemudian berdo’a “Ya Alloh kami pernah berdo’a dan bertawasul kepada-Mu dengan Nabi SAW, maka engkau turunkan hujan. Dan sekarang kami bertawasul dengan paman Nabi kami, maka turunkanlah hujan.” Anas berkata “Maka turunlah hujan kepada kami.” (HR. al- Bukhori :954)
Dikatakan bahwa Sayyidina Umar bertawasul kepada Sayyidina Abbas bin Abdul Muththalib, bukan kepada Rasulullah Muhammad Shalallahu 'alaihi Wasallam.
Nah...ini juga semakin menampakkan kegalauan mereka (Wahabi). Di awal menolak Tawasul, kemudian sekarang mengganti redaksinya tanpa pengakuan terlebih dahulu terhadap Tawasul itu sendiri.
Menjawab hal ini Syaikh Abdul Hayyi al-amrawi dan Syaikh Abdul Karim Murad menyatakan, pada hakikat nya tawasul yang dilakukan Sayyidina umar R.A dengan Sayyidina Abas R.A merupakan tawasul dengan Nabi SAW (yang pada waktu itu telah wafat) disebabkan posisi Abbas sebagai paman Nabi SAW dan karena kedudukannya disisi Nabi SAW. (Al-Tahdzir min al-Ightirar halaman 6). Dalam kitab ini juga dijelaskan do'a Sayyidina Abbas bin Abdul Muththalib, yaitu :
اَللَّهُمَّ اِنَّهُ لَمْ يَنْزِلُ بَلَاءٌ اِلَّا بِذَنْبِ وَلَا يُكْشَفُ اِلَّا بِتَوْبَةِ قَدْ تَوَ جَّهَ اْلقَوْمُ بِي اِلَيْكَ لِمَكَا نِي… الج اخرجه الز بير بن بكار (التحذ ير من الأغترار١٢٥)
"Ya Allah sesungguhnya malapetaka itu tidak akan turun kecuali karena dosa dan tidak akan sirna melainkan dengan taubat. Kini kaum muslimin bertawasul kepadaku untuk memohon kepada Mu karena kedudukanku disisi NabiMu...diriwatkan oleh al-Zubair bin Bakkar.” (Al-Tahdzir min al-Ightirar, halaman 125)
Dalam Shahih Bukhari juga dijelaskan tentang do'a tawasul yang menunjukkan kedudukan Sayyidina Abbas R.A. tersebut atas Nabi, yaitu :
عَنْ اَنَسٍ اَنْ عُمَرَ ابْنِ الْخَطَابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ كاَنَ اِذَا قَحَطُوْا اسْتَسْقَئ باِلْعَباَّسِ بْنِ عَبْدُ الْمُطَّلِبِ فَقاَلَ اَللَّهُمَّ كُناَّ نَتَوَسَّلُ اِلَيْكَ بِنَبِيِّناَ فَتُسْقَيْناَ وَاِناَّ نَتَوَسَّلُ اِلَيْكَ بِعَمِّ بِنَبِيِّناَ فاَسْقِناَ فَيُسْقَوْنَ. (رواه البخارى.
"Dari sahabat Annas, ia mengatakan : Pada zaman Umar bin Khaththab mengatakan : pernah terjadi musim peceklik. Ketika melakukan sholat istisqo Umar ber tawassul kepada paman Rosulullah, Abbas bin Abdul Muththlib ; Ya Tuhan, dulu kami mohon kepada – Mu dengan tawassul paman nabi – Mu, turunkanlah hujan kepada kami. Allah pun segera menurunkan hujan kepada mereka." (HR. Bukhari).
Bahkan hal ini juga disepakati ulama yang sering disanjung kelompok Wahabi sendiri, yaitu Syaikh Ibnu Taymiah dalam Kitabnya Shiratal Mustaqim sebagai berikut :
قَلَ ابْنُ تَيْمِيِّ فِي الصِّرَاطِ الْمُسْتَقِيْمِ وَلَا فَرْقَ بَيْنَ الْجَيِّ وَالْمَيِّتِ كَمَازَعَمَ بَعْضُهُمْ فَقَبدْ صَجَّ عَنْ بَعْضِ الصَّجَابَةِ اَنَّهُ اُمِرَ بَغْضُ الْمُجْتاَ جِيْنَ اَنْ يَتَوَسَّلُوْا بِهِ صَلَّئ اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ بَعْدَ مَوْتِهِ فِئ خِلَا فَتِ عُثْمَانَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ فَتَوَ سَّلَ بِهِ قَقُضِئَتْ حَاجَتُهُ كَمَا ذَكَرَهُ الطَّبْرَانئِ
"Ibnu Taimiyyah berkata dalam kitabnya Shirath al – Mustaqim : Tak ada perbedaan antara orang hidup dan mati seperti yang diasumsikan sebagian orang. Sebuah hadist sohih menegaskan : Telah diperintahkan kepada orang – orang yang memiliki hajat dimasa khalifah Ustman untuk bertawassul kepada nabi setelah dia wafat. Kemudian, mereka bertawassul kepada Rosul, dan hajat mereka pun terkabul. Demikian diriwayatkan oleh ath – Thabrany."
Demikianlah saudaraku umat muslim dimanapun saudara berada, jangan ragu akan kebolehan tawasul ini sebagai wasilah/perantara do'a kita. Khususnya jika kita berdo'a sambil berziarah ke maqam ulama. Wallahu a'lam bishawab.
Kebenaran hakiki hanya milik Allah
Hamba Allah yang dhaif dan faqir
Dzikrul Ghafilin bersama Mas Derajad
Tidak ada komentar:
Posting Komentar