Adakah “indera keenam”
itu? Bagaimana seseorang bisa mendapatkannya?
Suatu saat, Imam Syafi’i duduk di masjid bersama para muridnya.
Di antara mereka ada al-Muzani dan Rabi’. Di waktu yang sama, ada lelaki
terlihat mengitari orang-orang yang sedang tidur di masjid. Melihat itu, Imam
Syafi’i berkata, “Rabi', beritahu orang itu, budak hitamnya, yang salah satu
matanya terluka telah hilang.”
Rabi’ bergegas berdiri dan menghampiri orang itu. “Budak
hitammu, yang salah satu matanya terluka, hilang?” tanya Rabi’.
“Benar,” jawab orang itu.
“Kemarilah,” ajak Rabi’.
Lelaki itu diajak Rabi’ menemui Imam Syafi’i yang sedang berada
di salah satu bagian masjid.
“Di manakah budakku?” tanya orang itu pada Syafi’i.
“Pergilah, ia berada di penjara,” jawab Imam Syafi’i.
Orang itu lalu pergi ke rumah tahanan. Ternyata ia benar-benar
mendapati budaknya di sana. Al-Muzani merasa heran. “Guru, beri tahu kami. Anda
telah membuat kami bingung,” tanya dia penuh keheranan.
Imam Syafi’i menjawab, “Baik. Aku melihat seorang lelaki masuk
dari pintu masjid dan berjalan mengitari orang-orang yang sedang tidur. Aku
katakan dalam hati, dia pasti sedang mencari seseorang yang kabur. Kemudian,
aku lihat ia mendekati orang-orang berkulit hitam, bukan orang berkulit putih.
Aku katakan dalam hati, ia kehilangan budak hitam. Lalu, aku melihat ia
mendekati orang dari arah mata sebelah kiri, aku katakan, salah satu mata
budaknya itu terluka.”
“Lalu bagaimana kamu tahu budaknya ada di penjara?” tanya murid
Imam Syafi’i yang lain.
Sang guru menjawab, “Yang biasa dilakukan seorang budak itu,
bila lapar, mereka mencuri, dan bila kenyang, mereka berzina. Karena itu aku
memprediksi ia telah melakukan salah satunya. Dan ternyata memang benar.
Demikianlah ketajaman firasat yang dimiliki oleh Imam Syafi’i.
Kisah ini diriwayatkan oleh al-Baihaqi, dan dikutip oleh sejarawan
al-Mubarakfuri dalam Tuhfah al-Ahwadzi (8/556-557).
Pada bagian lain, al-Mubarakfuri merilis kisah Qutaibah yang
diriwayatkan oleh al-Hakim. Ia menuturkan, “Aku melihat Muhammad bin Hasan dan
Syafi’i duduk di halaman Ka’bah. Seorang lelaki lewat. Lalu salah seorang dari
keduanya (Muhammad dan Syafi’i) bertanya pada yang lain, ‘Kemarilah. Kita tebak
apa pekerjaan orang yang lewat itu.’ Salah satu dari keduanya menjawab, ‘Tukang
jahit.’ Sedang yang lain mengatakan, ‘Tukang kayu.’
Keduanya lalu menghampiri orang itu dan menanyai pekerjaannya.
Ia menjawab, ‘Dulu aku tukang jahit, dan sekarang pekerjaanku sebagai tukang
kayu.”
Inilah Ilmu Firasat
Kisah yang terjadi pada Imam Syafi’i itu disebut sebagai ilmu
firasat (‘ilm al-firasah). Menurut bahasa, firasat adalah suatu pembuktian yang
didasarkan pada ketelitian pengamatan. Sedang secara istilah, firasat berarti
hadirnya suatu keyakinan dan kemampuan melihat hal-hal gaib. Pengertian ini
disebutkan oleh al-Jurjani dalam at-Ta’rifat.
Sedang menurut ar-Raghib, firasat adalah penafsiran mengenai
kondisi seseorang, bentuk, aura, dan ucapannya, sehingga bisa diketahui
perangai, keutamaan, dan hal-hal buruk yang ada padanya. Pendek kalam, firasat
adalah kemampuan seseorang untuk melihat hal-hal yang tersembunyi, meski ia
berada di luar obyek itu.
Terkait eksistensi firasat, Allah SWT berfirman,
إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِلْمُتَوَسِّمِينَ
“Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat
tanda-tanda (keuasaan Kami) bagi orang-orang yang memperhatikan tanda-tanda.”
(QS. al-Hijr: 75).
Pakar tafsir dari kalangan sahabat, yaitu Ibnu Abbas, menegaskan
bahwa yang dimaksud dalam ayat ini adalah orang-orang ahli firasat. Allah
berfirman dalam ayat lain, “Kamu kenal mereka dengan melihat sifat-sifatnya.”
(QS. Al-Baqarah: 273). Ayat lain yang menegaskan adanya firasat terdapat dalam
Surat Muhammad ayat 30.
وَلَوْ نَشَاءُ لَأَرَيْنَاكَهُمْ فَلَعَرَفْتَهُمْ بِسِيمَاهُمْ
وَلَتَعْرِفَنَّهُمْ فِي لَحْنِ الْقَوْلِ وَاللَّهُ يَعْلَمُ أَعْمَالَكُمْ
“Dan kalau Kami menghendaki, niscaya Kami tunjukkan mereka
kepadamu sehingga kamu benar-benar dapat mengenal mereka dengan tanda-tandanya.
Dan kamu benar-benar akan mengenal mereka dari kiasan-kiasan perkataan mereka
dan Allah mengetahui perbuatan-perbuatan kamu.”
Dalam hadits yang disebutkan oleh Ibnu Atsir, Nabi menyatakan
secara jelas,
إِتَّقُوْا فِرَاسَةَ الْمُؤْمِنِ فَإِنَّهُ يَنْظُرُ بِنُوْرِ
اللهِ
“Waspadalah terhadap firasat seorang Mukmin, karena sesungguhnya
dia memandang dengan cahaya Allah.” (HR Tirmidzi)
Jenis Firasat
Al-Quraibi dalam Tarikh Khulafa menjelaskan, firasat itu ada dua
macam. Pertama, firasat berupa pikiran yang didapatkan seseorang dalam
benaknya, yang ia sendiri tidak mengetahui sebab kemunculannya. Jenis pertama
ini adalah bagian dari ilham, bahkan bagian dari wahyu. Orang yang mempunyai
firasat ini dinamakan muhaddats, sebagaimana dinyatakan Nabi, “Jika ada di
kalangan umat ini seorang muhaddats, maka ia adalah Umar.”
Dirawikan, dari lisan Umar, dengan tanpa ia sengaja, keluar
kata-kata benar, meski kebenaran ini tidak sampai pada derajat kenabian.
Beberapa kisah menunjukkan kualitas ilham yang dimiliki Sayyidina Umar itu.
Diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dari jalur sanad Salim ibn
Abdullah, Abdullah ibn Umar menuturkan, “Aku tidak mendengar Umar mengatakan,
‘Aku menduga seperti ini,’ kecuali akan terjadi sesuatu sesuai dugaannya itu.”
Ibnu Umar melanjutkan kisahnya, “Suatu saat, Umar duduk.
Tiba-tiba ada seorang lelaki tampan lewat. Umar lalu mengatakan, ‘Sangkaanku
salah, atau orang ini berada dalam agamanya pada zaman jahiliyah, atau orang
ini adalah dukun pada zaman Jahiliyah. Suruh orang itu kemari!”
Lelaki yang kemudian diketahui bernama Sawad bin Qarib itu
kemudian diminta menghadap Umar. Ketika disebutkan profesinya, ia membenarkan
prediksi Umar. “Benar, amirul mukminin, aku dulu adalah dukun orang-orang Jahiliyah,”
jawab dia jujur.
Di masa hidup Nabi, Umar banyak memiliki pendapat yang kemudian
dibenarkan oleh wahyu. Dia pernah mengusulkan, “Wahai Rasulullah, seandainya
engkau menjadikan sebagian maqam Ibrahim (tempat berdiri Nabi Ibrahim sewaktu
membangun Ka’bah, pen) sebagai tempat shalat. Tak lama setelah itu, turun ayat
yang membenarkan, bahkan “mengutip” ucapan Umar bin Khaththab tersebut dalam
Surat al-Baqarah ayat 125.
ilham adalah timbulnya keyakinan dalam hati, diberikan Allah
pada sebagian hamba yang dipilih-Nya. Allah sematkan beberapa kandungan hikmah
dan pemahaman dalam hati mereka. Hal ini diperkuat oleh hadis Rasulullah s.a.w.
– yang artinya, “Sesungguhnya Allah menjadikan kebenaran pada lisan dan hati
Umar.” (HR. Ahmad, Turmudzi, dan Ahmad)
Dalam riwayat Abu Hurairah, Rasulullah s.a.w. bersabda – yang
artinya, “Pada umat sebelum kalian terdapat golongan muhaddats (orang yang
diberi ilham), jika ada seorang muhaddats di kalangan umatku, ia adalah Umar.”
(HR. Bukhari)
Arti kata muhaddats, menurut Ibnu Hajar, adalah orang yang
dikaruniai ilham, yaitu orang yang sangkaannya benar. Dalam Musnad al-Hamidi
disebutkan, muhaddats adalah orang yang mendapatkan ilham kebenaran yang
diletakkan dalam lisannya.
Jenis firasat kedua didapatkan melalui percobaan dan pengalaman.
Jenis ini bisa dipelajari dengan cara mengamati aura, bentuk, dan perilaku
seseorang. Seperti dijelaskan sebelumnya, orang yang banyak memiliki firasat
jenis ini adalah Imam Syafi’i.
Dalam Fath al-Qadir Syarh al-Jami’is Shaghir (1/143) disebutkan,
“Orang yang bisa mengetahui hal itu, maka dia adalah orang yang punya
pengetahuan dan kuat firasatnya. Sebagaimana disebutkan, dalam sejarah
tokoh-tokoh Islam, orang yang populer memiliki ketajaman firasat ini adalah
Imam Syafi’i.”
Perlu diperhatkan, firasat itu berbeda dengan sangkaan (zhan).
Sangkaan bisa saja benar, namun bisa saja salah. Mengapa? Karena sangkaan itu
kemungkinan muncul dari orang yang “hatinya bercahaya”, namun bisa saja muncul
dari orang yang “hatinya gelap”. Sangkaan bisa muncul pula dari orang yang
memilki hati suci, namun bisa saja muncul dari orang berhati kotor. Sedangkan
firasat yang dimaksud ayat al-Qur’an dan hadits Nabi, hanya muncul dari orang
yang memiliki hati bercahaya lagi suci.
Bagaimana Ilham Datang
Dalam hadits qudsi yang diriwayatkan Abu Hurairah dari
Rasulullah SAW disebutkan,
ما تقرب إلي عبدي بشيء أحب إلي مما افترضت عليه، وما يزال عبدي
يتقرب إلي بالنوافل حتى أحبه، فإذا أحببته كنت سمعه الذي يسمع به، وبصره الذي يبصر
به، ويده التي يبطش بها، ورجله التي يمشي بها…رواه البخاري.
“Tidaklah seorang hambaku mendekatkan diri kepada-Ku dengan
sesuatu ibadah yang lebih Aku cintai dari apa yang telah Aku wajibkan
kepadanya. Dan hamba-Ku senantiasa mendekatkan diri kepada-Ku dengan
kesunnahan-kesunnahan, sampai Aku mencintainya. Jika Aku mencintainya, maka Aku
menjadi telinganya yang ia gunakan untuk mendengar, menjadi matanya yang ia
gunakan untuk melihat, menjadi tangannya yang ia gunakan untuk memukul, dan
menjadi kakinya yang ia gunakan untuk berjalan.” (HR. Bukhari)
Oleh karena itu, baik ilham maupun firasat, sama-sama
membutuhkan kejernihan hati (tazkiyatun nafs). Ibnu Hajar dalam Fath al-Bari
(7/50-51) menegaskan, jika terjadi sesuatu yang aneh pada diri seseorang, tidak
dapat langsung dihukumi bahwa ia mendapatkan ilham. Namun, ‘keanehan’ itu harus
dikoreksikan terlebih dahulu pada al-Qur’an dan Sunnah. Jika sesuai dengan
keduanya, maka ia dihukumi telah mendapatkan ilham. Jika tidak, maka bukan.
Allah berfirman:
فَأَلْهَمَهَا فُجُورَهَا وَتَقْوَاهَا
“Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan
ketakwaannya.” (QS. Al-Syamsi: 8).
Ayat ini menjelaskan bahwa ilham itu bisa berupa suatu inspirasi
yang baik, bisa pula berupa sesuatu yang jelek. Semuanya tergantung hati
seseorang. Bila hatinya bersih, maka ia akan mudah mendapatkan ilham yang
positif. Namun bila hatinya kotor oleh noda dosa dan penyakit-penyakit hati,
maka ia berpotensi mendapatkan ilham atau pikiran negatif yang tidak benar.
Oleh karena itu, dalam ilmu tashawwuf, terdapat
tingkatan-tingkatan orang yang membersihkan hatinya, sehingga ia sampai pada
keistimewaan mampu mengungkap sesuatu yang tersembunyi. Tingkatan riyadhah atau
mujahadah tersebut ada tiga, yaitu takhalli, tahalli, dan tajalli.
Tingkat pertama, takhalli (kosong), yakni membersihkan hatinya
dari sifat-sifat kotor, seperti sombong, riya’ (pamer), syuhrah (ingin
popular), ‘ujub (membanggakan diri sendiri), atau dari kotornya hati karena
disebabkan noda-noda hitam akibat dosa yang dilakukan.
Inilah proses tazkiyatun nafs yang dijelaskan dalam al-Qur’an –
yang artinya: “Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu.” (QS.
Al-Syamsi: 9). Kesalahan manusia memang telah membekaskan noda yang dapat
menutupi hati. Allah berfirman – yang artinya: “Sekali-kali tidak (demikian),
sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutupi hati mereka.” (QS.
Al-Muthaffifin: 14)
Tingkat kedua, tahalli (berhias), yakni menghiasi hatinya dengan
sifat-sifat terpuji, misalnya tawadhhu’ atau rendah hati, husnuzzhan billah –
husnuzzhan bi ‘ibadillah (berprasangka baik pada Allah dan hamba Allah), serta
menghiasi hati itu dengan ibadah-ibadah kepada Allah, baik yang wajib maupun
yang sunnah. Proses ini dijelaskan misalnya dalam hadits qudsi riwayat Abu Hurairah
yang telah disebutkan di atas.
Tingkat ketiga, tajalli (terungkap), di mana dengan hati yang
bersih dari sifat-sifat kotor itu, dan sebaliknya terhiasi dengan sifat-sifat
terpuji, seseorang akan dapat mengungkap sesuatu yang tak bisa diungkap oleh
orang lain.
Allah SWT berfirman:
وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا وَإِنَّ
اللَّهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِينَ.
“Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami,
benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan
sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.” (QS.
Al-Ankabut: 69)
Keistimewaan ber-tajalli inilah yang
telah diberikan Allah kepada para kekasih-Nya.
رب فافعنا ببركتهم واهدنا الحسنى
بحرمتهم
Tidak ada komentar:
Posting Komentar