Pondok Pesantren Al-Khidmah asuhan
Kyai Musthafa Wira’i akhir-akhir ini menjadi buah bibir di kalangan masyarakat
muslim Nusantara. Orang-orang dari berbagai daerah di seantero negeri
berbondong-bondong memondokkan anaknya di sana. Meski baru berdiri sekitar
tujuh tahun, secepat kilat, Pesantren Al-Khidmah menjelma menjadi pesantren
besar dengan ribuan santri. Letaknya di pelosok negeri, namun setiap hari tak
pernah sepi. Jalan terjal tak beraspal, tak menjadi aral bagi mobil-mobil mewah
yang tengah berjalan menuju pesantren Al-Khidmah untuk menanam tunas-tunas
bangsa di ladang yang betul-betul subur, karena senantiasa tersirami oleh mata
air kearifan.
“Dul, sebenarnya, apa rahasia kyaimu
itu, sampai-sampai pesantren di pelosok desa bisa menjadi seramai ini?” Sembari
memegangi setir dan geleng-geleng kepala, Dr. Kholil menanyai keponakannya,
lantaran keheranan melihat antrian mobil mengular di jalan masuk menuju komplek
Pesantren Al-Khidmah. Kandidat professor universitas ternama ibukota itu hendak
memondokkan anaknya di sana, setelah kepincut dengan akhlak keponakannya, Abdul
Halim. Dul Halim, begitu Dr. Kholil memanggilnya, yang semula nakal minta ampun,
setelah mondok di sana sekitar 1 tahun, sekarang berubah 180 derajat menjadi
anak yang amat santun. Bersama keponakan dan anaknya, Dr. Kholil berkunjung ke
Pesantren Al-Khidmah untuk yang pertama kali, setelah sebelumnya, ia hanya
mendengar desas-desus nama besar pesantren dan juga pengasuhnya, Kyai Musthafa
Wira’i.
“Saya tidak tahu Paman. Yang saya
tahu, Kyai selalu berpesan kepada santrinya agar senantiasa berkhidmah dengan
akhlaqul karimah.” Bocah yang dulu petakilan itu menjawab pertanyaan pamannya dengan
menundukkan kepala. Dr. Kholil tidak menimpali jawaban Dul Halim dengan
pertanyaan lagi, meskipun rasa penasarannya semakin membuncah, tatkala mobil
yang disetirnya memasuki kompleks Pesantren Al-Khidmah.
Awalnya, Dr. Kholil mengira bahwa
Pesantren Al-Khidmah merupakan pesantren megah yang berdiri di tengah-tengah
pedesaan. Namun, dugaannya keliru. Tidak ada bangunan megah di kompleks
Pesantren Al-Khidmah, sama sekali tidak ada! Satu hal yang sangat bertolak
belakang dengan bayangan Dr. Kholil selama ini tentang kebesaran Pesantren
Al-Khidmah. Rumah Kyai Wira’i begitu sederhana, dikelilingi kamar-kamar
panggung berdinding anyaman bambu dan beratap daun rumbia, tempat dimana para
santri Al-Khidmah menghabiskan waktu untuk mengaji dan mencari makna. Sungguh
di luar dugaan!
Di depan bangunan-bangunan yang jauh
dari kata megah itu, di atas tanah lapang yang tak rata dan masih ditumbuhi
rerumputan liar, Dr. Kholil memarkirkan Grand Livina-nya bersama deretan
mobil-mobil lain yang tak kalah mewah. Dua koper besar dikeluarkan Dr. Kholil
dari dalam mobil, dan segera ia seret bersama Dul Halim yang menggendong tas
ransel ukuran sedang. Averroes, anak Dr. Kholil yang hendak mondok di Pesantren
Al-Khidmah, berjalan menguntit di belakang mereka berdua.
“Mohon maaf Pak, Kyai Wira’i ada di
rumah?” Setelah duduk dan meletakkan kopernya, Dr. Kholil bertanya kepada salah
seorang diantara puluhan wali santri yang juga tengah duduk di teras rumah
kyai.
“Iya Pak. Abah Kyai ada di rumah,
tapi sedang shalat jama’ah. Datang dari dari mana, Pak?” Wali santri itu balik
bertanya kepada Dr. Kholil.
“Saya dari Jakarta Pak.” Sambil
meluruskan kedua kaki yang pegal-pegal karena menempuh jarak ratusan kilo, Dr.
Kholil menjawab pertanyaan wali santri yang tengah berbincang-bincang dengannya
itu. “Mohon maaf, saya luruskan kaki saya Pak. Lha Bapak, asalnya darimana?”
“Oh, tidak apa-apa. Saya dari
Sulawesi Pak.”
“Sulawesi???” Tanya Dr. Kholil
terkaget-kaget. Memang, santri yang tinggal di Pesantren Al-Khidmah berasal
dari berbagai propinsi yang ada di Nusantara, bahkan beberapa ada yang berasal
dari mancanegara.
“Betul Pak, Kota Bau-Bau, Pulau
Buton, Sulawesi Tenggara. Saya kesini mau njenguk anak. Kasihan, kemarin
lebaran nggak pulang kampung.” Wali santri itu menjelaskan secara rinci dari
mana asalnya, dan juga tujuannya datang ke rumah Kyai Wira’i.
Tak lama kemudian, santri abdi
ndalem Kyai Wira’i datang untuk membukakan pintu, lalu mempersilahkan para tamu
untuk masuk ke dalam rumah sang kyai. Karena datang agak belakangan, rombongan Dr.
Kholil pun duduk disamping pintu, di belakang tetamu yang duduk bersap-sap
menghadap tirai pemisah ruang tamu dengan ruang dalam rumah Kyai Wira’i. Sambil
menunggu kedatangan Kyai Wira’i, para tamu satu persatu disuguhi makanan dan
minuman oleh santri-santri abdi ndalem Pesantren Al-Khidmah. Tiba-tiba, tirai
yang menjuntai diantara ruang tamu dan ruang keluarga Kyai Wira’i itu terbuka
secara perlahan-lahan. Semua mata tertuju kepadanya. Kyai Wira’i, sosok yang
dari tadi ditunggi oleh para tamu yang datang dari berbagai penjuru bumi
pertiwi itu akhirnya keluar. Seketika, seluruh tamu berdiri hormat dan
mengantri supaya dapat bersalaman langsung dengan Kyai Wira’i. Tak terkecuali
Dr. Kholil, Dul Halim dan Averroes, mereka pun sabar untuk mengantri.
Ketika datang giliran Dr. Kholil
untuk bersalaman dengan Kyai Wira’i, tiba-tiba Kyai Wira’i berseru.
“Masyaallaaah... Kang Kholil!”
Mendengar namanya disebut oleh Kyai
Wira’i, Dr. Kholil pun kaget bukan kepalang. Ternyata, Kyai Wira’i sudah
mengenal Dr. Kholil. Sambil mengernyitkan dahi karena merasa bingung atas apa
yang sedang dialaminya, Dr. Kholil membalas seruan Kyai Wira’i dengan penuh
tanda tanya. “Iya Kyai, saya Kholil. Bagaimana Kyai? Ada yang bisa saya bantu?”
Dan Kyai Wira’i pun memeluk
erat-erat Dr. Kholil, sembari mengulang-ulang ucapannya tadi. “Masyaallaaaah...
Kang Kholil... Masyaallaaah...”
Kandidat professor di bidang
pendidikan itu pun bertambah bingung. Dalam hati ia bertanya-tanya. “Apa
sebenarnya maksud Kyai Wira’i ini? Mengapa ia tiba-tiba memelukku? Dan,
darimana ia tahu namaku, padahal baru kali ini bertemu denganku?”
Kyai Wira’i lalu berucap kepada Dr.
Kholil sambil menepuk-nepuk bahunya. “Aku Topo, Kang... Mustopo Kang Kholil...”
Mendadak, suasana di dalam ruang tamu Kyai Wira’i menjadi benar-benar hening.
Dul Halim, Averroes, dan seluruh tamu yang sedang sowan Kyai Wira’i tercengang
dengan apa yang baru saja diucapkan oleh Kyai Wira’i.
Mendengar sebuah nama terucap dari
mulut Kyai Wira’i, sontak Dr. Kholil berteriak kencang karena haru. “Ya
Allaaaahhh... Kang Topo!” Tak terasa, bulir-bulir air mata keduanya mengalir
deras. Kyai Wira’i dan Dr. Kholil pun berpelukan begitu hangat. Seluruh tamu
kasak-kusuk bertanya-tanya tentang apa yang sebenarnya sedang terjadi di
hadapan mereka.
“Sudah 30 tahun kita tidak bertemu
Kang Kholiiil...” Ucap Kyai Wira’i dengan mata berkaca-kaca. Setelah melepaskan
pelukannya, Kyai Wira’i mempersilahkan Dr. Kholil untuk duduk. “Monggo..
Monggo.. Kang Kholil.. Silahkan duduk...!”
Tiba-tiba, ingatan Dr. Kholil melayang-layang
kembali pada 30 tahun silam, saat dimana ia bersama-sama dengan Kyai Wira’i
menimba ilmu kepada Kyai Mubarak di Pesantren Al-Barakat. Waktu itu, ia menjadi
lurah Pesantren Al-Barakat. Sering kali, ia memarahi Topo ---panggilan Kyai
Wira’i semasa nyantri di Pesantren Al-Barakat--- yang tidak pernah mengaji,
karena sibuk melayani Kyai Mubarok. Hari-hari Topo dihabiskan seutuhnya untuk
berkhidmah kepada sang kyai. Saking sibuknya melayani Kyai Mubarok, Topo lebih
sulit ditemui daripada kyainya sendiri.
Pagi-pagi benar, sebelum fajar
menyingsing, tatkala teman-teman santrinya masih tertidur pulas, Topo sudah
bangun untuk menimba air sumur guna memenuhi bak-bak kamar mandi, maupun
padasan tempat berwudhu kyai dan para santri. Setelah berjama’ah subuh, di kala
teman-teman santrinya mengaji al-Quran, ia malah mengayuh becak milik ndalem
Kyai Mubarok menuju pasar, untuk berbelanja kebutuhan pangan santri
sehari-hari. Sepulang dari pasar, di waktu teman-teman santrinya berangkat
mengaji kitab dan bermusyawarah di madrasah diniyyah milik pesantren, ia justru
menanak nasi dan memasak lauk-pauk untuk santri Kyai Mubarok yang jumlahnya
sekitar 200-an. Setelah nasi dan lauk pauk matang, ia langsung membersihkan
dapur sekaligus ndalem Kyai Mubarok. Sore hari, ketika teman-temannya sedang
sibuk mendaras hafalan Alfiyyah, ‘Imrithi, atau Jurumiyyah, Topo malah
menunggui ndalem Kyai Mubarok untuk menyambut dan melayani tamu-tamu yang
berkunjung kepada sang kyai. Malamnya, di waktu teman-teman santrinya bersama
masyarakat kampung mengaji kitab kuning kepada Kyai Mubarok, alih-alih ikut
mengaji, Topo justru lagi-lagi menyibukkan diri untuk membantu sang kyai,
menjamu para hadirin yang memadati ndalem Kyai Mubarok dengan membuatkan wedang
teh atau pun kopi. Praktis, Topo tidak pernah mengaji kitab sama sekali, karena
waktunya telah habis untuk mengabdikan dirinya kepada sang kyai.
Oleh karenanya, dahulu, sewaktu
masih menjadi pengurus Pesantren Al-Barakat, Dr. Kholil sering memarahi, bahkan
sampai membenci Topo, santri abdi ndalem yang terkenal tak pernah ngaji. Ia
benar-benar tak menyangka, Topo yang dulu begitu dibencinya itu kini menjadi
seorang kyai besar, calon pengasuh anak bungsunya Averroes. Tiba-tiba tergelar
dalam layar fikirannya, semua kenangan tentang Topo, termasuk kenangan buruknya
ketika ia pernah memaki-maki Topo di hadapan para santri. “Pooo, Topoooo?
Mondok nggak pernah ngaji, besok mau jadi apa kamu?” Langit hati Dr. Kholil
tengah bergemuruh, dirundung mendung rasa bersalah, dan disambar petir rasa malu
kepada Kyai Musthafa Wira’i. Hujan badai pun berkali-kali turun di bumi
sanubari sang calon professor itu.
Saat duduk sejenak, tak sengaja Dr.
Kholil melihat pigura foto Kyai Mubarok menggantung di dinding ruang tamu Kyai
Wira’i. Seketika, hatinya berkata sambil kedua matanya masih berlinang air
mata. “Benarlah... sungguh benar apa yang pernah dikatakan Kyai Mubarok puluhan
tahun yang lalu...” Memori lamanya lagi-lagi menayangkan sebuah kejadian nyata,
ketika ia bersama para pengurus pesantren menghadap Kyai Mubarok, untuk
melaporkan seorang santri yang tak pernah mengaji, supaya Kyai Mubarok berkenan
mengeluarkannya. “Santri yang tak pernah mengaji adalah penyakit bagi santri
lain, Kyai.” Tukas Dr. Kholil dengan penuh percaya diri, sewaktu ia masih menjadi
lurah pesantren. “Sudilah kiranya, Kyai berkenan mengeluarkannya, supaya
penyakit santri itu tidak menular kepada santri-santri lain.” Semua yang hadir
di ndalem Kyai Mubarok saat itu sudah tahu siapa yang tengah diperbincangkan,
tak lain dan tak bukan adalah Topo, yang memiliki nama lengkap Musthafa Wira’i.
Tanpa diduga-duga, Kyai Mubarok
menjawab. “Santri yang hendak kalian keluarkan itu calon kyai besar! Berkacalah
kalian, dan mengajilah kepadanya!” Tanpa sepatah kata lagi, Kyai Mubarok
langsung meninggalkan mereka dengan muka masam. Para pengurus Pesantren
Al-Barakat, lebih-lebih Dr. Kholil yang kala itu menjadi lurah pondok,
betul-betul tersentak dengan apa yang diucapkan oleh Kyai Mubarok. Dhawuh Kyai
Mubarok puluhan tahun yang lalu itu, seolah baru saja terdengar keras di
telinga Dr. Kholil. Begitulah, para kyai yang memiliki ketajaman mata batin,
ucapannya jauh lebih tajam dari tombak atau pun panah, karena mampu menembus
ruang dan waktu. Dr. Kholil semakin menangis terisak-isak. Ia merasa bahwa perkataan
kyainya dulu sungguh benar-benar haqq. Berulang-ulang kali, ia menghalau air
mata yang hendak membasahi pipi dengan jemari, supaya tangisnya tak diketahui
oleh orang banyak.
“Kang Kholil ini teman sepondok
saya...” Dengan santun, Kyai Wira’i memperkenalkan Dr. Kholil kepada para tamu.
“Beliau, dulu lurah pondok. Karena tidak pernah ngaji, saya sering dinasehati
beliau.” Para hadirin lantas mangut-mangut setelah mendengar penjelasan Kyai
Wira’i yang dibumbui senyuman hangat. Dr. Kholil yang tengah jadi bahan
pembicaraan merasa malu. Ia merasa tidak pantas, pernah menjadi teman sepondok
Kyai Wira’i tempo dulu.
“Gara-gara tidak pernah ngaji,
akhirnya saya terlalu lama di pondok. Dan baru tujuh tahun yang lalu saya
boyongan dari pesantren.” Ucap Kyai Wira’i kepada para tamu sambil mengalihkan
pandangannya kepada Dr. Kholil.
Betapa terperanjatnya Dr. Kholil
mendengar pernyataan teman sepondoknya dulu itu. Tiba-tiba ia menimpali
pernyataan Kyai Wira’i dengan penuh rasa penasaran. “Baru boyong 7 tahun yang
lalu? Berarti Panjenengan mondok di pesantren Kyai Mubarok selama 25 tahun
Kang?” Tanya Dr. Kholil mengira-ngira. Setelah tahu bahwa Kyai Wira’i adalah
sahabat lamanya, Dr. Kholil kini memanggilnya Kang, sebuah panggilan familiar
yang dipergunakan para santri untuk memanggil sahabat-sahabatnya.
“Betul Kang Kholil. Saya baru mondok
2 tahun, Panjenengan sudah boyong. Sebenarnya, saya masih betah di sana. Namun,
Kyai Mubarok malah menikahkan saya, dan menyuruh saya untuk pulang kampung.
Saat saya menolak berpisah dengan beliau, Kyai Mubarok malah menitipkan dua
santri barunya kepada saya, dan berkata: pulanglah, sudah saatnya kamu
dilayani. Man khadama, khudima. Siapa yang mau melayani, pasti akan dilayani.
Tanpa banyak pikir, sami’na wa atha’na, akhirnya saya pun pulang bersama istri
dan dua orang santri pemberian Kyai Mubarok. Lambat laun, santri-santri lain
berdatangan secara berbondong-bondong, Kang. Jadi, semua ini tak lain hanya
karena berkahnya Kyai Mubarok.” Ungkap Kyai Wira’i kepada para tamu, terkhusus
kepada sahabat lamanya, Dr. Kholil, sambil menunjuk ke arah foto Kyai Mubarok
yang menempel di dinding ruang tamu.
Para tamu tertegun mendengar tutur
cerita Kyai Wira’i. Dari tadi, mereka setia menyimak dengan seksama cerita yang
dikisahkan oleh pengasuh Pesantren Al-Khidmah itu. Sejenak kemudian, Kyai
Wira’i menanyai para tamu satu persatu, tentang maksud kedatangan mereka ke
kediaman beliau. Mereka pun menjawab pertanyaan Kyai Wira’i dengan jawaban yang
beraneka ragam. Ada yang bertujuan ingin memondokkan anaknya, bersilaturrahim,
memohon doa, meminta ijazah wirid, minta dicarikan jodoh, dan bahkan ada yang
ingin di-suwuk supaya lekas sembuh dari penyakit yang diderita. Setiap tamu
yang selesai mengutarakan hajat-nya kepada Kyai Wira’i langsung berpamitan
pulang. Hingga tiba lah saatnya Dr. Kholil untuk mengungkapkan maksud
kedatangannya kepada sahabat lamanya itu.
“Kang Musthafa Wira’i” Panggil Dr.
Kholil dengan penuh rasa hormat. “Saya kesini, hendak memondokkan anak saya,
Averroes ini. Mohon bimbingan dan doanya, Kang.” Kata Dr. Kholil sambil
memperkenalkan anaknya kepada Kyai Musthafa Wira’i. “Sana, sungkem sama Abah
Kyai, Nak.” Pinta Dr. Kholil kepada anak bungsunya yang hendak dipondokkan itu.
Sang buah hati yang ketika di rumah begitu sulit untuk diperintah itu tiba-tiba
saja menuruti apa kata ayahnya. Di sini lah, Dr. Kholil benar-benar merasakan
aura ke-kyai-an sahabat mondoknya dulu itu.
Tatkala menerima sembah sungkem dari
calon santrinya itu, Kyai Wira’i langsung mengusap ubun-ubun Averroes sembari
melangitkan doa-doa. Setelah itu, beliau menasehati Averroes. “lā yahshul
al-murādu illā bil-khidmah, segala yang dicita-citakan hanya dapat diraih
dengan khidmah, Nak. Orang yang mau berkhidmah, ibarat sedang membuat bahtera
Nuh. Ia harus siap diejek, dimaki, dicela dan dianggap gila karena menanam
pohon khidmah puluhan tahun lamanya hanya untuk dijadikan bahtera, di kala
tiada banjir datang mendera. Memang, prosesnya lama. Tetapi ketika datang
waktunya, semua akan tahu, siapa yang selamat, dan siapa yang justru tenggelam
dalam lautan maki dan cela. Ilmu adalah samudera, Nak. Sedangkan khidmah adalah
bahtera, yang membantu para santri menemukan mutiara. Sekalipun para pencari
ilmu telah menyelami samudera seorang diri, tanpa bahtera khidmah, ia akan kesulitan
menemukan mutiara yang indahnya tak terperi.”
Untaian nasehat Kyai Wira’i yang
ditujukan kepada Averroes itu malah melesat cepat bagai anak panah terlepas
dari busurnya, lalu menancap kuat di relung hati Dr. Kholil. Ia merasa
tertusuk-tusuk, karena pernah menganggap remeh urusan khidmah. Selama ini, ia
hanya mengejar ilmu dan gelar, namun lalai soal khidmah dan pengabdian. Ia
merasa harus berkaca, sebagaimana yang pernah dituturkan kyainya, dan belajar
kepada seorang santri yang dulu pernah diremehkannya. Kini, Dr. Kholil merasa,
bahwa selama ini ia hanya menyelami samudera seorang diri, tanpa memperdulikan
orang lain selamat atau tidak? Tenggelam atau tidak? Ilmunya yang begitu luas,
hanya bisa ia nikmati sendiri secara terbatas. Sedangkan orang lain, sama
sekali tak mampu merasakan manfaatnya, kecuali hanya kebesaran gelar yang acap
terucap, namun tak mampu tercecap apalagi tertancap. Sebaliknya, teman
santrinya yang pernah ia hujani dengan cela, telah mampu menikmati keberkahan
ilmunya, bersama banyak orang dalam bahtera kebahagiaan tiada tara. Dengan
khidmah, ilmu menjadi berkah. Dan dengan berkah, sedikit ilmu bisa melimpah
ruah.
Sambil menangis sesunggukan, Dr.
Kholil tiba-tiba menghampiri Kyai Wira’i dan memeluknya sekuat gunung, kemudian
berucap. “Kang Musthafa Wira’i, izinkanlah anakku berkhidmah kepadamu sepanjang
hayatmu. Biarkanlah ia turut serta menaiki bahtera khidmahmu. Supaya ia mampu
menemu untaian mutiara, hingga terdampar di daratan berkah dan ridha Sang
Pencipta.”
Setelah memasrahkan Averroes kepada
Kyai Wira’i, Dr. Kholil pun langsung kembali ke ibukota. Ia mulai tersadar akan
pentingnya arti khidmah. Lantas bergegaslah ia mengembangkan layar, berjuang
menjalankan bahtera khidmah dengan roda kemudi cinta dan dayung-dayung sabar,
demi menyelamatkan manusia dari badai petir dunia akhirat yang tiada henti
menyambar-nyambar.
*Ditulis beberapa hari setelah sowan
Kyai Hannan Pengasuh Pondok Pesantren Fathul Ulum Kwagean Kediri, dan Gus
Muslim Hannan, semoga Allah senantiasa menganugerahi beliau-beliau dengan
rahmat dan kasih sayangNya.
Landung Sari Malang, 03 Agustus 2016
(Disadur Dari Sebuah Cerpen Sahal Japara)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar