Senin, 16 Februari 2015

Tarik Menarik Agama dan Negara

Oleh : KH. Abdurrahman Wahid
Sejarah Negara-Agama (Teokrasi) memang pernah menjadi bagian panjang dimana era kemajuan peradaban ummat manusia tumbuh, walau di sisi lain terdapat banyak catatan hitam yang menjadi rekam abadi bahwa tak selamanya Agama yang diyakini suci dapat benar-benar bertahan dalam sakralitasnya ketika menjadi bagian integral dari sebuah Negara (kekuasaan), dalam sejarah the dark age, agama (Kristen) yang dipasung oleh dogmatisasi gereja dituding menjadi sebab utama kemunduran barat, saat definisi “kebenaran” dimonopoli oleh otoritas Gereja, kehidupan masyarakat dipenuhi mitos yang menyebabkan mereka semakin larut dalam kejumudan.


Di kutub berbeda kaum Muslimin justru sedang hidup di era keemasan peradaban (the golden age), dalam frame Negara yang sama justru para penguasa Muslim (Khalifah) dapat memposisikan agama sebagai bagian penting yang mendorong perkembangan ilmu pengetahuan dengan pesat, kemajuan demi kemajuan dicapai, banyak lahir tokoh-tokoh muslim yang karya-karya dan penemuannya masih menjadi referensi primer dalam ilmu pengetahuan modern, hingga pada akhirnya sejarah Negara-Agama dalam peradaban Islam juga harus diakhiri oleh kemunduran, penyebabnya masih berkisar seputar adanya penyalahgunaan wewenang kekuasaan, stagnasi ilmu pengetahuan, meluasnya disintegrasi di internal ummat Islam karena pragmatisme politik, sikap primordialisme dan ekslusifisme yang semakin menguat, hingga faktor eksternal, yakni konfrontasi kekuatan politik dari luar, hingga akhirnya sejarah daulah Islam berakhir dengan pemisahan Negara dan Agama yang menjadi cikal-bakal faham sekulerisme dalam Islam yang terjadi di Turki pasca runtuhnya dinasti Turki Ustmani.

Konsep Negara

Sistem daulah (negara) yang terdapat dalam sejarah Islam setelah kepemimpinan Khulafa ar-rasyidin umumnya berpijak pada etnosentrisme, sehingga kekuasaan hanya berputar pada klan-klan tertentu yang secara tidak langsung menjadikan sistem kekuasaan menjadi sangat feodalistik, apalagi agama menjadi term yang melegitimasi setiap kebijakan dan keputusan penguasa. Negara-Agama memang memegang absolutisme (kekuasaan raja) sebagai doktrin yang harus diaminkan oleh masyarakat. Sehingga berkembang mitos bahwa keputusan politik raja adalah kehendak Tuhan yang harus ditaati, dipatuhi dan dijalankan, sehingga kritik terhadap Raja sekaligus diasosiasikan kepada kritik terhadap Tuhan. Dalam sejarah Islam hubungan Negara dan agama memang telah menjadi perdebatan panjang, bahkan ada kelompok yang mengklaim bahwa Islam adalah sebuah agama (din) juga sebagai negara (daulah), alasan mereka sering kali terdengar logis bagi mereka yang tidak memiliki pemahaman sejarah yang mumpuni, seperti yang saya telah jelaskan di atas, betapa Negara-Agama dalam realitas sejarahnya tak seideal yang sebagian orang kira selama ini, hubungan

Negara-Agama yang bersifat integralistik rentan melahirkan anarki dan tirani kekuasaan, sebagaimana adagium “Power tends to corrupt, absolute power corrupt absolutely” (kekuasaan cenderung menyeleweng, kekuasaan yang mutlak pasti akan melakukan penyelewengan), adagium ini setidaknya merupakan peringatan bahwa kekuasaan absolut baik dalam bentuk Aristokrasi, maupun Teokrasi dalam sejarahnya seringkali menindas masyarakat. Sekarang mari kita mengkaji, apakah Islam dapat menjadi sebuah ideologi, sebagaimana yang diyakini oleh kelompok tertentu selama ini?

Islam adalah sebuah ajaran paripurna yang diterima oleh Rasulullah Muhammad melalui proses pewahyuan yang berlangsung kurang lebih selama 23 tahun, dalam sejarahnya penyebaran Islam awal di Mekkah mendapat pertentangan keras dari sebagian besar suku Quraisy yang menguasai sumber-sumber ekonomi dan memiliki otoritas sosial-politik yang mapan, itu dipicu oleh spirit ajaran Islam yang mengajarkan tentang egalitarianisme, kesederajatan harkat dan martabat manusia, yang membedakan hanyalah soal tingkat ketakwaan. Islam sebagai agama yang diperuntukkan menjadi rahmat bagi semua manusia kapan dan dimanapun (salihun likulli zaman wa makan) akan mengalami sebuah dekadensi apabila dijadikan atau dipersepsikan sebagai sebuah ideologi, karena Islam sebagai sebuah ajaran (agama) tak akan pernah menjadi ideologi dan tak akan pernah direposisi derajat dan kedudukannya oleh ideologi manapun di dunia ini (Al-Islamu ya’lu wa la yu’la alaih).

Perlu difahami bahwa Ideologi adalah sebuah struktur yang berisi konsepsi dari konsensus yang dibuat oleh manusia, bangunan ideologi bisa berasal dari ajaran agama, kebudayaan ataupun pengayaan terhadap realitas yang terjadi dalam kondisi dan situasi pada masyarakat tertentu, konsepsi tersebut pada suatu masyarakat bisa saja menjadi aksioma yang dijadikan landasan bersama dalam hidup bernegara, seperti Pancasila bagi NKRI.

Karena kesadaran akan persatuan dalam berbangsa dan bernegara dengan realitas keindonesiaan yang plural-majemuk, sehingga tak mungkin konstitusi dan undang-undang menggunakan label agama tertentu secara formal, tetapi bagaimana spirit, nilai dan ajaran-ajaran agama terkandung dalam konstitusi Negara, tentunya setelah terlebih dahulu dilakukan pengkajian dan pengayaan dengan sungguh-sungguh, kemudian melahirkan sebuah formulasi konsep bernegara yang merupakan harmonisasi antara kepentingan Negara yang didalamnya terdapat bangsa dianugerahi kodrat pluralitas yang luar biasa dan kepentingan agama yang memiliki ajaran yang secara fundamental berbeda antara satu dengan lainnya, Agama Islam berasal Allah swt yang tentu tidak ada campur tangan manusia di dalamnya, yang kesempurnaan ajarannya direfleksikan oleh Rasulullah saw, pasca wafatnya Nabi Muhammad tugas Ummat Islam mengkaji dan menggali ajaran Islam melalui dua sumber primer Al-Qur’an dan Hadist, baik secara riwayah maupun dirayah.

Pada perkembangan selanjutnya lahirlah berbagai khazanah keilmuan, yang secara teoritis digagas oleh imam-imam mazhab dengan sangat apik dan dikembangkan oleh para Ulama setelahnya dari masa ke masa. Dalam proses memahami dan menghayati ajaran Islam, ada keniscayaan tafsir yang beragam, nah inilah asal mula terbentuknya Ideologi keagamaan. Jadi menjadikan Islam sebagai ideologi justru akan menyempitkan dan mendangkalkan Islam sebagai sebuah ajaran (agama). Karena ideologi sangat erat kaitannya dengan kepentingan Negara, sehingga jargon Ideologi Islam sebenarnya bertujuan untuk mempropagandakan Negara Islam (Khilafah Islamiyah) yang hari-hari ini begitu gencar dikampanyekan oleh penggiat formalisasi syariat dalam hukum dan perundang-undangan Negara, bahkan mereka  menginginkan terjadinya perombakan secara fundamental dan besar-besaran terhadap konsep dan sistem bernegara dan mengganti landasan bernegara dengan Syari’at Islam ala pemahaman mereka. Walaupun berbunyi sangat nyaring dan terkadang diterima oleh logika, namun harus difahami bahwa Ideologi keagamaan Ummat Islam telah mengalami fragmentasi sejak ratusan tahun yang lalu, sehingga produk-produk hukum (Fiqh) yang merupakan hasil Ijtihad terhadap hukum primer yang terdapat dalam Al-Qur’an dan Hadist berbeda-beda antara penganut mazhab yang satu dengan lainnya, bahkan mereka yang mengaku “bermazhab” kepada Al-Qur’an dan Sunnah sekalipun.

Semakin menjamurnya ideologi impor (transnasional) di tengah ummat Islam yang seringkali menafikan realitas ke-Indonesian yang plural, menjadikan Indonesia sebagai Negara berdaulat dengan ideologi Pancasila-nya mulai diusik eksistensinya, ini sekali lagi karena cara beragama sebagian Ummat Islam yang cenderung kaku dan ekslusif, juga akibat terjadinya pendangkalan pemahaman terhadap ajaran Islam, khususnya menyangkut relasi Agama dan Negara.

Hubungan agama dan Negara dalam bingkai NKRI terikat pada asas simbiosis-mutualistik (Pancasila), bukan relasi agama-negara yang integralistik (Teokrasi), maupun relasi agama-negara yang sekuleristik (demokrasi liberal). Agama membutuhkan negara sebagai institusi yang menjamin terciptanya kehidupan yang aman, damai, adil dan sejahtera sehingga ajaran agama dapat dilaksanakan oleh para penganutnya dengan sebaik-baiknya (walaupun tanpa kontrol negara), karena mana mungkin ajaran agama dapat dilaksanakan dengan baik dan benar jika tidak tercipta rasa aman dan damai di tengah-tengah masyarakat. Sedangkan negara membutuhkan agama sebagai basis nilai-nilai etis dan moralitas yang dapat menjadi spirit konstitusi dan hukum negara, selain tentunya hukum adat, serta menjadi sumber normatif yang menjadi pedoman dalam bermasyarakat dan bernegara ditengah kemajemukan.

Pernah dimuat di Rubrik Opini Tribun Timur Edisi 31 Oktober 2014

Sumber : Gusdurian.net

2 komentar: