Jumat, 13 Maret 2015

Hujjah Syaikh Hasyim Asy'ari Menolak Faham Ibnu Taimiyyah

Imam Al Ghazali menceritakan sebuah kisah, bahwa disebuah perbukitan nan elok, berdirilah sebuah rumah nan indah dan sedap dipandang mata. Disekeliling rumah itu dirimbuni pelbagai pepohonan yang rindang. Halamannya penuh dengan rerumputan dan bunga-bunga yg menebar keharuman. Begitu mempesona dan memberikan rasa nyaman bagi siapapun yg menghuninya, karena dirawat dengan perawatan yg alami.
Di kesenjaan usianya, si empunya rumah tersebut berwasiat kepada anaknya agar senantiasa menjaga dan merawat pohon dan rumput-rumput itu sebaik mungkin. Begitu pentingnya, sampai-sampai ia berkata, “Selama engkau masih bertempat tinggal dirumah ini, jangan sampai pohon dan tanaman ini rusak, apalagi hilang”.
Ketika tiba saatnya si empunya rumah meninggal dunia, sang anak menjalankan apa yg telah diperintahkan oleh mendiang ayahnya dg sungguh-sungguh. Rumah itu betul-betul dirawat, demikian pula pohon dan rumputnya. Tidak hanya itu, si anak kemudian berinisiatif untuk mencari jenis tanaman lain yg menurutnya lebih indah dan lebih harum untuk ditanam di halaman rumah. Maka, rumah itu semakin menggoda untuk dilihat dan dinikmati.
Si anak berbunga bunga hatinya. Dibenaknya terlintas kebanggaan bahwa dirinya telah berhasil menjalankan amanah dengan menjaga pepohonan dan rerumputan yg menjadi penyejuk rumah lebih dari yg diperintahkan oleh orang tuanya. Bahkan akhirnya, tumbuhan baru yg ditanam si anak mengalahkan “rumput asli” baik dari segi keelokan maupun harumnya.
Namun yg patut disayangkan, tanaman dan rumput yang pernah diwasiatkan oleh ayahnya akhirnya ditelantarkan, sebab menurutnya sudah ada rumput dan tanaman lain yg lebih bagus, lebih sejuk dipandang, lebih harum dan sebagainya. Bahkan saat “rumput asli” tersebut rusak, tak ada rasa penyesalan dihati si anak. “Toh sudah ada tanaman dan rumput yg lebih bagus” pikirnya.
Tetapi anehnya, ketika “rumput asli” peninggalan orang tuanya itu rusak dan musnah tak tersisa, bukan kenyamanan dan ketentraman yg didapat. Karena ternyata, rumah tersebut lambat laun menjelma menjadi tempat istirahat yg menakutkan. Betapa tidak, rumah tersebut dimasuki berbagai macam ular, baik besar maupun kecil yang membuat si anak terpaksa harus meninggalkan rumah tersebut.
Mencermati kisah ini, Al Ghazali memaknai wasiat orang tua tersebut dengan dua hal.
Pertama, agar si anak dapat menikmati keharuman rumput yg tumbuh disekitar rumahnya. Dan makna ini dapat ditangkap dengan baik oleh nalar si anak.
Kedua, agar rumah tsb aman. Sebab aroma rumput dan tanamn tsb dapat mencegah masuknya ular kedalam rumah yg tentu berpotensi mengancam keselamatan penghuninya. Namun makna ini tidak ditangkap oleh nalar si anak. ( Qodliyyah al Tasawwuf al Munqidz Min al Dlolal, 140 ).

Relevansi
Kisah ini sangat relevan jika di analogikan dengan wasiat syaikh KH Hasyim Asy’ari untuk menghindari ajaran beberapa tokoh yg menurut beliau tidak layak untuk dijadikan panutan oleh ummat islam indonesia, karena banyak hal yg bertentangan dengan apa yg diyakini dan diamalkan oleh ummat islam indonesia yg dibawa oleh wali songo.
Kata Syaikh Hasyim Asy’ari, sebagaiman telah maklum bahwa kaum muslimin di indonesia khususnya tanah Jawa sejak dahulu kala menganut satu pendapat, satu madzhab dan satu sumber. Dalam fiqh, menganut madzhab Imam Syafi’i, dalam ushuluddin menganut madzhab Abu Hasan al Asy’ari dan Abu Manshur al Maturidi, dan dalam tasawuf menganut madzhab Imam Ghazali dan Al junaidi.
Kemudian pada tahun 1330 H, muncullah berbagai kelompok dan pendapat yg bertentangan serta tokoh yg kontroversial yg berasal dari Timur Tengah, khusunya dari Saudi.
Disamping itu, ada kelompok yg tetap konsisten dg ajaran ulama salaf dan berpedoman pada kitab kitab mu’tabaroh/representatif, mencintai ahlul bait, para auliya, dan para sholihin, bertabaruk kepada mereka, berziarah kubur, mebacakan talqin untuk mayyit, meyakini adanya syafa’at, bertawasul dll . ( Risalah Ahlussunnah Wal Jama’ah, 9, Risalah Sunnah Wal Bid’ah, 19) .
Salah satu nama yang disebut oleh KH Hasyim Asy'ari adalah Ibnu Taimiyyah, seorang ideolog faham Wahhabi. Wasiat Syaikh Hasyim Asy’ari tersebut bisa dimaknai dengan :

  1. Agar kaum muslimin khusunya warga nahdliyyin dalam mengamalkan ajaran islam, selalu berpegang kepada madzhab mu’tabaroh yg telah disepakati oleh para ulama.
  2. Menjaga aqidah ummat islam agar tidak terpengaruh atau dimasuki faham yg bertentangan dg ajaran ulama salaf yg sudah turun temurun diamalkan oleh ummat islam dunia khususnya indonesia dan nahdliyyin.

Kontroversi Ibnu Taimiyyah
Syaikh Abdullah al Abdari mengutip dari waliyulloh Imam al Iraqi yang menyatakan bahwa ada banyak pendapat Ibnu Taimiyyah yang menyalahi ijma' para ulama. Bahkan ada yang mengatakan sampai enam puluh masalah, baik dalam masalah ushul maupun furu' ( al Maqolat As-Suniyyah ,hal 13 ).
Diantara pendapat -pendapat Ibnu Taimiyyah yang kontroversial misalnya ia mengatakan bahwa :

  1. alam itu qodim sama dengan qodimnya Alloh Swt.
  2. dalam dzat Alloh terdapat sisi-sisi kehaditsan ( sama dengan makhluk) . 
  3. Alloh Swt memiliki Jisim. 
  4. Alloh Swt berbicara menggunakan huruf dan suara seperti manusia. 
  5. Alloh Swt naik dan turun sebagaimana turunnya manusia dari mimbar . 
  6. Dzat Alloh memiliki keterbatasan 
  7. Alloh Swt bisa di tunjuk arah dan tempatnya 
  8. tawasul dianggap syirik dan lain sebagainya        
( Maqolat Assuniyyah, hal. 79- 152).
Semoga kita sebagai warga Nahdliyyin bisa memahami dan mengamalkan apa-apa yang telah di wasiatkan oleh Guru Agung Syaikh Hasyim Asy'ari agar tetap senantiasa menjaga dan memelihara ajaran-ajaran Ahlussunnah Wal jama'ah dengan mengikuti para ulama salaf yang mu'tabar, serta mampu membendung faham Wahhabi yang di sokong oleh Saudi yang kini kian merajalela. Amin Ya Mujibassa'ilin birohmatika ya Arhamarrohimin.

Penulis : KH. Muhyiddin Abdu Asshomad


Tidak ada komentar:

Posting Komentar