Selasa, 05 Mei 2015

Mengasah Ketajaman Firasat

Adakah “indera keenam” itu? Bagaimana seseorang bisa mendapatkannya?
Suatu saat, Imam Syafi’i duduk di masjid bersama para muridnya. Di antara mereka ada al-Muzani dan Rabi’. Di waktu yang sama, ada lelaki terlihat mengitari orang-orang yang sedang tidur di masjid. Melihat itu, Imam Syafi’i berkata, “Rabi', beritahu orang itu, budak hitamnya, yang salah satu matanya terluka telah hilang.”

Rabi’ bergegas berdiri dan menghampiri orang itu. “Budak hitammu, yang salah satu matanya terluka, hilang?” tanya Rabi’.
“Benar,” jawab orang itu.
“Kemarilah,” ajak Rabi’.
Lelaki itu diajak Rabi’ menemui Imam Syafi’i yang sedang berada di salah satu bagian masjid.
“Di manakah budakku?” tanya orang itu pada Syafi’i.
“Pergilah, ia berada di penjara,” jawab Imam Syafi’i.
Orang itu lalu pergi ke rumah tahanan. Ternyata ia benar-benar mendapati budaknya di sana. Al-Muzani merasa heran. “Guru, beri tahu kami. Anda telah membuat kami bingung,” tanya dia penuh keheranan.
Imam Syafi’i menjawab, “Baik. Aku melihat seorang lelaki masuk dari pintu masjid dan berjalan mengitari orang-orang yang sedang tidur. Aku katakan dalam hati, dia pasti sedang mencari seseorang yang kabur. Kemudian, aku lihat ia mendekati orang-orang berkulit hitam, bukan orang berkulit putih. Aku katakan dalam hati, ia kehilangan budak hitam. Lalu, aku melihat ia mendekati orang dari arah mata sebelah kiri, aku katakan, salah satu mata budaknya itu terluka.”
“Lalu bagaimana kamu tahu budaknya ada di penjara?” tanya murid Imam Syafi’i yang lain.
Sang guru menjawab, “Yang biasa dilakukan seorang budak itu, bila lapar, mereka mencuri, dan bila kenyang, mereka berzina. Karena itu aku memprediksi ia telah melakukan salah satunya. Dan ternyata memang benar.
Demikianlah ketajaman firasat yang dimiliki oleh Imam Syafi’i. Kisah ini diriwayatkan oleh al-Baihaqi, dan dikutip oleh sejarawan al-Mubarakfuri dalam Tuhfah al-Ahwadzi (8/556-557).
Pada bagian lain, al-Mubarakfuri merilis kisah Qutaibah yang diriwayatkan oleh al-Hakim. Ia menuturkan, “Aku melihat Muhammad bin Hasan dan Syafi’i duduk di halaman Ka’bah. Seorang lelaki lewat. Lalu salah seorang dari keduanya (Muhammad dan Syafi’i) bertanya pada yang lain, ‘Kemarilah. Kita tebak apa pekerjaan orang yang lewat itu.’ Salah satu dari keduanya menjawab, ‘Tukang jahit.’ Sedang yang lain mengatakan, ‘Tukang kayu.’
Keduanya lalu menghampiri orang itu dan menanyai pekerjaannya. Ia menjawab, ‘Dulu aku tukang jahit, dan sekarang pekerjaanku sebagai tukang kayu.”
Inilah Ilmu Firasat
Kisah yang terjadi pada Imam Syafi’i itu disebut sebagai ilmu firasat (‘ilm al-firasah). Menurut bahasa, firasat adalah suatu pembuktian yang didasarkan pada ketelitian pengamatan. Sedang secara istilah, firasat berarti hadirnya suatu keyakinan dan kemampuan melihat hal-hal gaib. Pengertian ini disebutkan oleh al-Jurjani dalam at-Ta’rifat.
Sedang menurut ar-Raghib, firasat adalah penafsiran mengenai kondisi seseorang, bentuk, aura, dan ucapannya, sehingga bisa diketahui perangai, keutamaan, dan hal-hal buruk yang ada padanya. Pendek kalam, firasat adalah kemampuan seseorang untuk melihat hal-hal yang tersembunyi, meski ia berada di luar obyek itu.
Terkait eksistensi firasat, Allah SWT berfirman,
إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِلْمُتَوَسِّمِينَ
“Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (keuasaan Kami) bagi orang-orang yang memperhatikan tanda-tanda.” (QS. al-Hijr: 75).
Pakar tafsir dari kalangan sahabat, yaitu Ibnu Abbas, menegaskan bahwa yang dimaksud dalam ayat ini adalah orang-orang ahli firasat. Allah berfirman dalam ayat lain, “Kamu kenal mereka dengan melihat sifat-sifatnya.” (QS. Al-Baqarah: 273). Ayat lain yang menegaskan adanya firasat terdapat dalam Surat Muhammad ayat 30.
وَلَوْ نَشَاءُ لَأَرَيْنَاكَهُمْ فَلَعَرَفْتَهُمْ بِسِيمَاهُمْ وَلَتَعْرِفَنَّهُمْ فِي لَحْنِ الْقَوْلِ وَاللَّهُ يَعْلَمُ أَعْمَالَكُمْ
“Dan kalau Kami menghendaki, niscaya Kami tunjukkan mereka kepadamu sehingga kamu benar-benar dapat mengenal mereka dengan tanda-tandanya. Dan kamu benar-benar akan mengenal mereka dari kiasan-kiasan perkataan mereka dan Allah mengetahui perbuatan-perbuatan kamu.”
Dalam hadits yang disebutkan oleh Ibnu Atsir, Nabi menyatakan secara jelas,
إِتَّقُوْا فِرَاسَةَ الْمُؤْمِنِ فَإِنَّهُ يَنْظُرُ بِنُوْرِ اللهِ
“Waspadalah terhadap firasat seorang Mukmin, karena sesungguhnya dia memandang dengan cahaya Allah.” (HR Tirmidzi)
Jenis Firasat
Al-Quraibi dalam Tarikh Khulafa menjelaskan, firasat itu ada dua macam. Pertama, firasat berupa pikiran yang didapatkan seseorang dalam benaknya, yang ia sendiri tidak mengetahui sebab kemunculannya. Jenis pertama ini adalah bagian dari ilham, bahkan bagian dari wahyu. Orang yang mempunyai firasat ini dinamakan muhaddats, sebagaimana dinyatakan Nabi, “Jika ada di kalangan umat ini seorang muhaddats, maka ia adalah Umar.”
Dirawikan, dari lisan Umar, dengan tanpa ia sengaja, keluar kata-kata benar, meski kebenaran ini tidak sampai pada derajat kenabian. Beberapa kisah menunjukkan kualitas ilham yang dimiliki Sayyidina Umar itu.
Diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dari jalur sanad Salim ibn Abdullah, Abdullah ibn Umar menuturkan, “Aku tidak mendengar Umar mengatakan, ‘Aku menduga seperti ini,’ kecuali akan terjadi sesuatu sesuai dugaannya itu.”
Ibnu Umar melanjutkan kisahnya, “Suatu saat, Umar duduk. Tiba-tiba ada seorang lelaki tampan lewat. Umar lalu mengatakan, ‘Sangkaanku salah, atau orang ini berada dalam agamanya pada zaman jahiliyah, atau orang ini adalah dukun pada zaman Jahiliyah. Suruh orang itu kemari!”
Lelaki yang kemudian diketahui bernama Sawad bin Qarib itu kemudian diminta menghadap Umar. Ketika disebutkan profesinya, ia membenarkan prediksi Umar. “Benar, amirul mukminin, aku dulu adalah dukun orang-orang Jahiliyah,” jawab dia jujur.
Di masa hidup Nabi, Umar banyak memiliki pendapat yang kemudian dibenarkan oleh wahyu. Dia pernah mengusulkan, “Wahai Rasulullah, seandainya engkau menjadikan sebagian maqam Ibrahim (tempat berdiri Nabi Ibrahim sewaktu membangun Ka’bah, pen) sebagai tempat shalat. Tak lama setelah itu, turun ayat yang membenarkan, bahkan “mengutip” ucapan Umar bin Khaththab tersebut dalam Surat al-Baqarah ayat 125.
ilham adalah timbulnya keyakinan dalam hati, diberikan Allah pada sebagian hamba yang dipilih-Nya. Allah sematkan beberapa kandungan hikmah dan pemahaman dalam hati mereka. Hal ini diperkuat oleh hadis Rasulullah s.a.w. – yang artinya, “Sesungguhnya Allah menjadikan kebenaran pada lisan dan hati Umar.” (HR. Ahmad, Turmudzi, dan Ahmad)
Dalam riwayat Abu Hurairah, Rasulullah s.a.w. bersabda – yang artinya, “Pada umat sebelum kalian terdapat golongan muhaddats (orang yang diberi ilham), jika ada seorang muhaddats di kalangan umatku, ia adalah Umar.” (HR. Bukhari)
Arti kata muhaddats, menurut Ibnu Hajar, adalah orang yang dikaruniai ilham, yaitu orang yang sangkaannya benar. Dalam Musnad al-Hamidi disebutkan, muhaddats adalah orang yang mendapatkan ilham kebenaran yang diletakkan dalam lisannya.
Jenis firasat kedua didapatkan melalui percobaan dan pengalaman. Jenis ini bisa dipelajari dengan cara mengamati aura, bentuk, dan perilaku seseorang. Seperti dijelaskan sebelumnya, orang yang banyak memiliki firasat jenis ini adalah Imam Syafi’i.
Dalam Fath al-Qadir Syarh al-Jami’is Shaghir (1/143) disebutkan, “Orang yang bisa mengetahui hal itu, maka dia adalah orang yang punya pengetahuan dan kuat firasatnya. Sebagaimana disebutkan, dalam sejarah tokoh-tokoh Islam, orang yang populer memiliki ketajaman firasat ini adalah Imam Syafi’i.”
Perlu diperhatkan, firasat itu berbeda dengan sangkaan (zhan). Sangkaan bisa saja benar, namun bisa saja salah. Mengapa? Karena sangkaan itu kemungkinan muncul dari orang yang “hatinya bercahaya”, namun bisa saja muncul dari orang yang “hatinya gelap”. Sangkaan bisa muncul pula dari orang yang memilki hati suci, namun bisa saja muncul dari orang berhati kotor. Sedangkan firasat yang dimaksud ayat al-Qur’an dan hadits Nabi, hanya muncul dari orang yang memiliki hati bercahaya lagi suci.
Bagaimana Ilham Datang
Dalam hadits qudsi yang diriwayatkan Abu Hurairah dari Rasulullah SAW disebutkan,
ما تقرب إلي عبدي بشيء أحب إلي مما افترضت عليه، وما يزال عبدي يتقرب إلي بالنوافل حتى أحبه، فإذا أحببته كنت سمعه الذي يسمع به، وبصره الذي يبصر به، ويده التي يبطش بها، ورجله التي يمشي بها…رواه البخاري.
“Tidaklah seorang hambaku mendekatkan diri kepada-Ku dengan sesuatu ibadah yang lebih Aku cintai dari apa yang telah Aku wajibkan kepadanya. Dan hamba-Ku senantiasa mendekatkan diri kepada-Ku dengan kesunnahan-kesunnahan, sampai Aku mencintainya. Jika Aku mencintainya, maka Aku menjadi telinganya yang ia gunakan untuk mendengar, menjadi matanya yang ia gunakan untuk melihat, menjadi tangannya yang ia gunakan untuk memukul, dan menjadi kakinya yang ia gunakan untuk berjalan.” (HR. Bukhari)
Oleh karena itu, baik ilham maupun firasat, sama-sama membutuhkan kejernihan hati (tazkiyatun nafs). Ibnu Hajar dalam Fath al-Bari (7/50-51) menegaskan, jika terjadi sesuatu yang aneh pada diri seseorang, tidak dapat langsung dihukumi bahwa ia mendapatkan ilham. Namun, ‘keanehan’ itu harus dikoreksikan terlebih dahulu pada al-Qur’an dan Sunnah. Jika sesuai dengan keduanya, maka ia dihukumi telah mendapatkan ilham. Jika tidak, maka bukan.
Allah berfirman:
فَأَلْهَمَهَا فُجُورَهَا وَتَقْوَاهَا
“Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya.” (QS. Al-Syamsi: 8).
Ayat ini menjelaskan bahwa ilham itu bisa berupa suatu inspirasi yang baik, bisa pula berupa sesuatu yang jelek. Semuanya tergantung hati seseorang. Bila hatinya bersih, maka ia akan mudah mendapatkan ilham yang positif. Namun bila hatinya kotor oleh noda dosa dan penyakit-penyakit hati, maka ia berpotensi mendapatkan ilham atau pikiran negatif yang tidak benar.
Oleh karena itu, dalam ilmu tashawwuf, terdapat tingkatan-tingkatan orang yang membersihkan hatinya, sehingga ia sampai pada keistimewaan mampu mengungkap sesuatu yang tersembunyi. Tingkatan riyadhah atau mujahadah tersebut ada tiga, yaitu takhalli, tahalli, dan tajalli.
Tingkat pertama, takhalli (kosong), yakni membersihkan hatinya dari sifat-sifat kotor, seperti sombong, riya’ (pamer), syuhrah (ingin popular), ‘ujub (membanggakan diri sendiri), atau dari kotornya hati karena disebabkan noda-noda hitam akibat dosa yang dilakukan.
Inilah proses tazkiyatun nafs yang dijelaskan dalam al-Qur’an – yang artinya: “Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu.” (QS. Al-Syamsi: 9). Kesalahan manusia memang telah membekaskan noda yang dapat menutupi hati. Allah berfirman – yang artinya: “Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutupi hati mereka.” (QS. Al-Muthaffifin: 14)
Tingkat kedua, tahalli (berhias), yakni menghiasi hatinya dengan sifat-sifat terpuji, misalnya tawadhhu’ atau rendah hati, husnuzzhan billah – husnuzzhan bi ‘ibadillah (berprasangka baik pada Allah dan hamba Allah), serta menghiasi hati itu dengan ibadah-ibadah kepada Allah, baik yang wajib maupun yang sunnah. Proses ini dijelaskan misalnya dalam hadits qudsi riwayat Abu Hurairah yang telah disebutkan di atas.
Tingkat ketiga, tajalli (terungkap), di mana dengan hati yang bersih dari sifat-sifat kotor itu, dan sebaliknya terhiasi dengan sifat-sifat terpuji, seseorang akan dapat mengungkap sesuatu yang tak bisa diungkap oleh orang lain.
Allah SWT berfirman:
وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا وَإِنَّ اللَّهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِينَ.
“Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al-Ankabut: 69)
Keistimewaan ber-tajalli inilah yang telah diberikan Allah kepada para kekasih-Nya.
رب فافعنا ببركتهم واهدنا الحسنى بحرمتهم

Tidak ada komentar:

Posting Komentar