Rabu, 25 November 2015

DZIKRUL MAUT

Alkisah seorang sahabat bernama Sya’ban RA. Ia adalah seorang sahabat yang tidak menonjol dibandingkan sahabat –sahabat yang lain.
Ada suatu kebiasaan unik dari beliau, yaitu setiap masuk masjid sebelum sholat berjamaah dimulai dia selalu beriktikaf di pojok depan masjid.
Dia mengambil posisi di pojok bukan karena supaya mudah senderan atau tidur, namun karena tidak mau mengganggu orang lain dan tak mau terganggu oleh orang lain dalam beribadah.

Kebiasaan ini sudah dipahami oleh sahabat bahkan oleh Rasulullah S.A.W bahwa Sya’ban RA selalu berada di posisi tersebut termasuk saat sholat berjamaah.
Suatu pagi saat sholat subuh berjamaah akan dimulai Rasulullah S.A.W mendapati bahwa Sya’ban RA tidak berada di posisinya seperti biasa.
Rasul S.A.W pun bertanya kepada jamaah yang hadir apakah ada yang melihat Sya’ban RA. Namun tak seorangpun jemaah yang melihat Sya’ban RA.
Sholat subuhpun ditunda sejenak untuk menunggu kehadiran Sya’ban RA. Namun yang ditunggu belum juga datang.
Khawatir sholat subuh kesiangan, Rasul S.A.W memutuskan untuk segera melaksanakan sholat subuh berjamaah.
Selesai sholat subuh, Rasul S.A.W bertanya apa ada yang mengetahui kabar dari Sya’ban RA.
Namun tak ada seorangpun yang menjawab. Rasul S.A.W bertanya lagi apa ada yang
mengetahui di mana rumah Sya’ban RA.
Kali ini seorang sahabat mengangkat tangan dan mengatakan bahwa dia mengetahui persis di mana rumah Sya’ban RA.
Rasulullah S.A.W yang khawatir terjadi sesuatu dengan Sya’ban RA meminta diantarkan ke rumah Sya’ban RA.
Perjalanan dengan jalan kaki cukup lama ditempuh oleh Rasul S.A.W dan rombongan sebelum sampai ke rumah yang dimaksud.
Rombongan Rasul S.A.W sampai ke sana saat waktu afdol untuk sholat dhuha ( kira-kira 3 jam perjalanan).
Sampai di depan rumah tersebut beliau S.A.W mengucapkan salam. Dan keluarlah seorang wanita sambil membalas salam tersebut.
“ Benarkah ini rumah Sya’ban RA? ” Rasul Shallallahu `alaihi Wa Sallam bertanya.
“Ya benar, saya istrinya” jawab wanita tersebut.
“ Bolehkah kami menemui Sya’ban RA, yang tadi tidak hadir saat sholat subuh di masjid? "
Dengan berlinangan air mata istri Sya’ban RA menjawab :
“ Beliau telah meninggal tadi pagi”
InnaliLahi wainna ilaihirojiun…
Subhanallah...
Satu – satunya penyebab dia tidak sholat subuh berjamaah adalah karena ajal sudah menjemputnya.
Beberapa saat kemudian istri Sya’ban RA bertanya kepada Rasul S.A.W :
“ Ya Rasul ada sesuatu yang jadi tanda tanya bagi kami semua, yaitu menjelang kematiannya dia berteriak tiga kali dengan masing –masing teriakan disertai satu kalimat. Kami semua tidak paham apa maksudnya”.
“ Apa saja kalimat yang diucapkannya? ” tanya Rasul S.A.W.
Di masing – masing teriakannya dia berucap kalimat :
“ Aduuuh kenapa tidak lebih jauh… "
“ Aduuuh kenapa tidak yang baru... “
“ Aduuuh kenapa tidak semua.…”
Rasul S.A.W pun melantukan ayat yang terdapat dalam surat Qaaf (50) ayat 22 yang artinya :
“ Sesungguhnya kamu berada dalam keadaan lalai dari (hal) ini, maka Kami singkapkan dari padamu hijab (yang menutupi) matamu, maka penglihatanmu pada hari itu amat tajam“
Saat Sya’ban RA dalam keadaan sakratul maut, perjalanan hidupnya ditayangkan ulang oleh Allah S.W.T. Bukan cuma itu, semua ganjaran dari perbuatannya diperlihatkan oleh Allah S.W.T
Apa yang dilihat oleh Sya’ban RA ( dan orang yang sakratul maut) tidak bisa disaksikan oleh yang lain.
Dalam pandangannya yang tajam itu Sya’ban RA melihat suatu adegan dimana kesehariannya dia pergi pulang ke Masjid untuk sholat berjamaah lima waktu.
Perjalanan sekitar 3 jam jalan kaki sudah tentu bukanlah jarak yang dekat. Dalam tayangan itu pula Sya’ban RA diperlihatkan pahala yang diperolehnya dari langkah –
langkah nya ke Masjid.
Dia melihat seperti apa bentuk sorga ganjarannya. Saat melihat itu dia berucap :
“ Aduuuh kenapa tidak lebih jauh…”
Timbul penyesalan dalam diri Sya’ban RA, mengapa rumahnya tidak lebih jauh lagi supaya pahala yang didapatkan lebih banyak dan sorga yang didapatkan lebih indah.
Dalam penggalan berikutnya Sya’ban RA melihat saat ia akan berangkat sholat berjamaah di musim dingin.
Saat ia membuka pintu berhembuslah angin dingin yang menusuk tulang. Dia masuk kembali ke rumahnya dan mengambil satu baju lagi untuk dipakainya. Jadi dia memakai dua buah baju.
Sya’ban RA sengaja memakai pakaian yang bagus (baru) di dalam dan yang jelek (butut) di luar.
Pikirnya jika kena debu, sudah tentu yang kena hanyalah baju yang luar, sampai di masjid dia bisa membuka baju luar dan solat dengan baju yang lebih bagus.
Dalam perjalanan ke tengah masjid dia menemukan seseorang yang terbaring kedinginan dalam kondisi yang mengenaskan.
Sya’ban RA pun iba, lalu segera membuka baju yang paling luar dan dipakaikan kepada orang tersebut dan memapahnya untuk bersama – sama ke masjid melakukan sholat berjamaah.
Orang itupun terselamatkan dari mati kedinginan dan bahkan sempat melakukan sholat berjamaah.
Sya’ban RA pun kemudian melihat indahnya sorga yang sebagai balasan memakaikan baju bututnya kepada orang tersebut.
Kemudian dia berteriak lagi :
“ Aduuuh kenapa tidak yang baru... “
Timbul lagi penyesalan di benak Sya’ban RA.
Jika dengan baju butut saja bisa mengantarkannya mendapat pahala yang begitu besar, sudah tentu ia akan mendapat yang lebih besar lagi seandainya ia memakaikan baju yang baru.
Berikutnya Sya’ban RA melihat lagi suatu adegan saat dia hendak sarapan dengan roti yang dimakan dengan cara mencelupkan dulu ke segelas susu.
Bagi yang pernah ke tanah suci sudah tentu mengetahui sebesar apa ukuran roti arab (sekitar 3 kali ukuran rata-rata roti Indonesia)
Ketika baru saja hendak memulai sarapan, muncullah pengemis di depan pintu yang meminta diberikan sedikit roti karena sudah lebih 3 hari perutnya tidak diisi makanan. Melihat hal tersebut, Sya’ban RA merasa iba .
Ia kemudian membagi dua roti itu sama besar, demikian pula segelas susu itu pun dibagi dua.
Kemudian mereka makan bersama –sama roti itu yang sebelumnya dicelupkan susu, dengan porsi yang sama.
Allah S.W.T kemudian memperlihatkan ganjaran dari perbuatan Sya’ban RA dengan sorga yang indah. Demi melihat itu diapun berteriak lagi:
“ Aduuuh kenapa tidak semua... ”
Sya’ban RA kembali menyesal. Seandainya dia memberikan semua roti itu kepada pengemis tersebut tentulah dia akan mendapat sorga yang lebih indah
Masya Allah...
Sya’ban RA bukan menyesali perbuatannya, tapi menyesali mengapa tidak optimal.
Sesungguhnya semua kita nanti pada saat sakratul maut akan menyesal tentu dengan kadar yang berbeda, bahkan ada yang meminta untuk ditunda matinya karena pada saat itu barulah terlihat dengan jelas konsekwensi dari semua perbuatannya di dunia.
Mereka meminta untuk ditunda sesaat karena ingin bersedekah. Namun kematian akan datang pada waktunya, tidak dapat dimajukan dan tidak dapat diakhirkan
Sering sekali kita mendengar ungkapan – ungkapan berikut:
“ Sholat Isya berjamaah pahalanya sama dengan sholat separuh malam”
“ Sholat Subuh berjamaah pahalanya sama dengan sholat sepanjang malam”
“ Dua rakaat sebelum Shubuh lebih baik dari pada dunia dan isinya”
Namun lihatlah Masjid tetap saja lengang dan terasa longgar. Seolah kita tidak percaya kepada janji Allah S.W.T
Mengapa demikian?
Karena apa yang dijanjikan Allah S.W.T itu tidak terlihat oleh mata kita pada situasi normal.
Mata kita tertutupi oleh suatu hijab.
Karena tidak terlihat, maka yang berperan adalah iman dan keyakinan bahwa janji Allah S.W.T tidak pernah meleset.
Allah S.W.T akan membuka hijab itu pada saatnya.
Saat ketika nafas sudah sampai ditenggorokan.
Sya’ban RA telah menginspirasi kita bagaimana seharusnya menyikapi janji Allah S.W.T tersebut.
Namun ternyata dia tetap menyesal sebagaimana halnya kitapun juga akan menyesal. Namun penyesalannya bukanlah sia –sia.
Penyesalannya karena tidak melakukan kebaikan dengan optimal.
Mudah-mudahan kisah singkat ini bermanfaat bagi kita semua dalam mengarungi sisa waktu yang diberikan Allah S.W.T kepada kita.
Dan mari kita berdo’a semoga Allah S.W.T memberi kita kekuatan untuk melakukan sebaik, bahkan lebih baik dari pada apa yang dilakukan oleh Sya’ban RA.
WaLlahua'lam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar