Masih ingatkah kita cerita ibunda Aisyah Radhiyallahu anha di QS. An Nur? ribuan kali penceramah menyampaikannya, kenapa masih saja melupa? Saya sendiri juga lupa detailnya, saking kerasnya hati saya kali ya, sehingga setiap kebaikan yang mampir, langsung mental? Oleh karena itu perlu kiranya sedikit saya bukakan kembali ceritanya secara singkat. Harapannya supaya kita kapok dan 'ero wedi' terhadap ancaman kedzaliman yang serupa yang menimpa sang ibunda.
Sebelumnya, saya simpulkan dulu kesimpulan tulisan saya ini sbb : (alur mundur)
Pilihan bersikap anda seperti:
- Nabi SAW
- Sahabat yang terprovokasi
- Atau Orang munafiq kelompok Abdullah bin Salul?
Silahkan nanti dijawab dengan hati di kolom komentar.
Berikut ceritanya:
Waktu itu, ibunda Asyiah Ra diajak menemani perang oleh Rasul Saw setelah terpilih dengan system undian diantara isteri-isteri beliau. Suatu malam di perkemahan, ibunda ingin menunaikan hajat, lantas beliau diizinkan agar keluar rada malam saja. Ketika beliau menunaikan hajat, rombongan perang datang dan bergegas pergi meninggalkan tempat. Tanpa memastikan keberadaan ibunda di dalam keranjang tandu, rombongan membawanya saja.
Ketika kembali, sang ibunda merasa ditinggal. Namun beliau tetap di perkemahan karena pasti dijemput kembali. Akhirnya beliau ditemukan sahabat Shafwan bin Mu’aththal, dimana ibunda diisukan telah berzina dengannya oleh orang-orang munafiq pimpinan Abdullah bin Ubai bin Salul.
Sebenarnya bukan tuduhan zina secara terang-terangan, yang mereka lakukan adalah menyebarkan kalimat nyinyir, kecurigaan dan sindiran yang berlebihan. Sampai-sampai menciptakan badai suudzon dan buruk sangka diantara kaum muslimin terhadap ibunda. Tidak lain tujuannya adalah melemahkan eksistensi risalah yang dibawa baginda Nabi Saw dan memunculkan pertanyaan keragu-raguan, "Katanya Nabi, utusan Allah, ngurus isterinya saja gak becus". Militan sekali kan orang munafiq? Minat niru sifat mereka? Audzubillah.
Bahkan, saking dahsyatnya, sampai 3 orang sahabat mempercayai berita ini. Mereka adalah Misthah bin Utsatsah, putera bibi (khalah) Abu Bakr (Ash-Shiddiq), Hassan bin Tsabit, dan Hamnah bintu Jahsy radhiyallahu ‘anhum. Baginda Nabi Saw-pun sempat ngambek dan galau ke Aisyah, meski beliau sebenarnya tidak percaya.
Setelah fitnah berkecamuk dan kondisi galau selama sebulan, turunlah ayat haditsul ifk di QS. An Nur yang menjelaskan kesucian ibunda Aisyah dan membebaskannya dari isu dan tuduhan orang munafiq. Diantara kandungan isi ayat tersebut adalah:
ﻳَﻌِﻈُﻜُﻢُ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﺃَﻥ ﺗَﻌُﻮﺩُﻭﺍ ﻟِﻤِﺜْﻠِﻪِ ﺃَﺑَﺪًﺍ ﺇِﻥ ﻛُﻨﺘُﻢ ﻣُّﺆْﻣِﻨِﻴﻦَ
Artinya: Allah memperingatkan kamu agar (jangan) kembali berbuat yang seperti itu selama-lamanya, jika kalian adalah orang-orang yang beriman! .
Ini adalah ultimatum dahsyat Allah Swt kepada kita orang mukmin yang gemar bertindak membuat isu tanpa bisa dipertanggungjawabkan. Persis 'pleeek' sebagaimana perbuatan jahat orang munafiq sebagaimana diceritakan diatas. Apakah sampai disini ayat berhenti? Nehi-nehi, kata orang India yang bermakna tidak. Allah melanjutkan ultimatumNya:
ﺇِﻥَّ ﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﻳُﺤِﺒُّﻮﻥَ ﺃَﻥ ﺗَﺸِﻴﻊَ ﺍﻟْﻔَﺎﺣِﺸَﺔُ ﻓِﻲ ﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﺁﻣَﻨُﻮﺍ ﻟَﻬُﻢْ ﻋَﺬَﺍﺏٌ ﺃَﻟِﻴﻢٌ ﻓِﻲ ﺍﻟﺪُّﻧْﻴَﺎ ﻭَﺍﻟْﺂﺧِﺮَﺓِ
Artinya: Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar (berita) perbuatan yang amat keji itu tersiar di kalangan orang-orang yang beriman, bagi mereka azab yang pedih di dunia dan di akhirat.
Tidak main-main sudara-sudara! Ancaman penyebar berita keji adalah siksa yang pedih di dunia dan akhirat.
Apa gara-gara kita suka yang instan-instan siap saji, sehingga setelah menyebarkan berita keji, masih berani mempertanyakan siksa Allah Swt dalam hati kecilnya, "Mana siksa keji Allah di dunia buat saya? Perasaan biasa saja tuh hidup saya, gak ada yang berubah, gak merasa tersiksa?".
Akhirnya setelah menyebarkan berita keji kita masih saja merasa tidak bersalah, bahkan kita berlindung di balik pembenaran dalil dan ngeles lagi. Dimana kejujuran hati nurani kita?
Kata seorang ustadz, "Allah Swt membiarkanmu terus-terusan dalam keadaan merasa tidak bersalah (ketika berbuat salah) itulah siksa yang pedih didunia. Sehingga siksamu diakhirat semakin pedih". Saya termenung, dan ternyata iya juga, "Kalau Allah sayang pada saya, pasti menggerakkan hati saya untuk berubah dan berbaik diri dari kesalahan yang saya ngotot atau sengaja menghindar supaya tidak kelihatan salah".
Harus merenung dengan hati bersih tanpa menyisakan sedikit rasa benci pada siapapun memang.
Semoga ada sedikit kebaikannya. Mohon maaf jika tersinggung, toh ini juga menyinggung saya sendiri yang pernah kecelek menyebarkan dan merasa malu sendiri. Begitu juga, sakit banget rasanya dicubit ntuh! , makanya saya berusaha menahan diri untuk tidak mencubit orang lain. Kayaknya memang harus nunggu dicubit orang dulu supaya tau sakitnya dicubit yaa?
Yang saya tulis disini murni hukum syareat Islam yang saya fahami. Adapun jika di dalam hukum ilmu politik, ekonomi, sosial, kedokteran dll hukum isu dan menyebarkannya adalah boleh dan halal, urusan di tanggung sendiri. Semoga tulisan ini bisa difahami secara proporsional.
Kesimpulan jawaban dari judul tulisan ini -perlu ditegaskan kembali- adalah karena ada unsur mendzolimi dan merugikan nama baik dan harga diri orang lain. Dimana agama Islam sangat melindunginya. Waspada boleh, tentu tidak boleh berlebihan sampai berdusta dan menuduh.
Salam persaudaraan & perdamaian (ini salam ngajak damai ya, serius, bukan hanya sekedar 'just talk' yang asal-asalan saya tulis disetiap akhir tulisan saya.
Sumber : Mochamad Ihsan Ufiq
Tidak ada komentar:
Posting Komentar