Jumat, 03 April 2015

Indonesia Negara Kafir ?

Belakangan ini muncul beberapa kelompok yang menuding bahwa sistem pemerintahan Indonesia adalah kafir (nidlam al-kufr), karena mengadopsi sistem pemerintahan yang lahir di luar Islam. Tudingan itu tampaknya terlalu gegabah. Dalam kesempatan ini penulis ingin mengkaji persoalan tersebut dengan pikiran jernih, tidak emosional, dan mengedepankan maslahat. Pantaskah tudingan kafir dilayangkan hanya karena Indonesia menggunakan sistem demokrasi Pancasila?

Kalau kita membuka lembaran sejarah, justru sejak jaman sahabat, sistem politik dan pemerintahan umat Islam mengadopsi sistem yang lahir di luar Islam namun sejalan dengan ruh Islam dan maslahat umat. Hal itu terjadi di jaman pemerintahan Rasulullah SAW dan masa setelahnya, seperti jaman sahabat, Umayyah, Abbasiyah, Usmaniyah. Misalnya, Baginda Rasulullah SAW dalam piagam Madinah (shahifah Madinah) mempertahankan sistem tradisi dan peraturan adat berdasarkan klasifikasi kabilah (klan) Arab jahiliyah (Ibn Hisyam:2003:Vol II:111). Sayyidina Umar Ra, juga mengadopsi sitem diwan (administrasi negara untuk mengatur kebijakan ekonomi makro dan adminitrasi militer) dari kerajaan Syam (Ibn Khaldun:2004:304). Beliau juga berijtihad untuk “menjiplak” perangkat hukum seperti penjara. Dinasti Umayyah mempraktekkan perangkat pemerintahan seperti protokoler (hijabah) dari kerajaan Syam (Ibn Khaldun:2004:356). Dinasti Abbasiyah meniru sistem wizarah (kementarian) ala Persia, sehingga muncul gelar menteri dengan wewenang tertentu, yang belum pernah ada dalam dinasti sebelumnya (Ibn Khillikan:1971:Vol I:229).
Apa yang dilakukan Baginda Rasulullah SAW dan Sayyidina Umar Ra membuktikan bahwa sejak dahulu pemerintahan umat Islam selalu terbuka dengan sistem yang lahir di luar Islam. Keterbukaan tersebut senantiasa berkembang sesuai dengan kebutuhan jaman dan kemaslahatan umat. Itulah sebabnya, NU dalam Bahtsu al-Masail di Nusa Tenggara Barat (1997) dan di Lirboyo Jawa Timur (1999) memutuskan bahwa sistem yang lahir di luar Islam, semisal demokrasi --yang mengedepankan maslahat rakyat-- boleh diterapkan di Indonesia. Bukan berarti sistem ini paten, namun bisa dibenahi sesuai dengan tuntutan jaman dan kebutuhan masyarakat. Sehingga kritik dan masukan diperlukan dalam rangka menjaga maslahat negara dan umat.
Pembenahan sistem pemerintahan dan aparatnya merupakan aktifitas yang telah dicontohkan ulama Ahl as-Sunah wa al-Jama’ah jaman klasik dalam literatur politik. Sehingga bermunculan nasehat (dalam bentuk kitab) bagi pemerintah (nashaih al-muluk). Seperti, at-Tibr Masbuk fi Nashaih al-Muluk karya al-Ghazali dan Adab ad-Dunya wa ad-Din karya al-Mawardi. Karya nasehat ini adalah upaya ulama untuk ikut membenahi pemerintah. Dari sini penulis tidak setuju terhadap penyederhanaan al-Jabiry --seorang pemikir Arab kontemporer-- yang mengatakan literatur nasehat raja adalah bentuk ketidak mandirian konsep politik Islam, karena meniru tugas agamawan Zoroaster Persia yang menasehati para rajanya (al-Aql as-Siyasy al-Araby:2000).
Justru nasehat ini mempunyai fungsi dan motivasi mulia: memasukkan unsur etis dalam sistem politik Islam, dan hal tersebut juga penting dalam sistem hukum (fiqh). Sebab jika syariat diterapkan tanpa pendekatan etis (akhlaq), maka yang terjadi adalah diktatorisme syariat; bentuk-bentuk syariat yang dipahami secara radikal. Ruh akhlaq pun sirna, bak ditelan tanah atau terbang bersama udara. Hal ini yang membuat penulis tidak sependapat dengan kelompok Islam garis keras. Sebab mereka memahami Islam dari sisi letterlek teks keagamaan saja, sehingga syariat kehilangan dimensi etis dan spiritual.
Penerapan syariat tanpa dimensi akhlaq hanya akan menghilangkan gaya dakwah bi al-hikmah wa al-mauidlah al-hasanah wa al-mujadalah billaty hiya ahsan. Sebaliknya, akan bermunculan gaya dakwah yang bengis dengan teror bom bagi rakyat sipil tak berdosa. Padahal Nabi SAW sudah menegaskan, dalam pertempuran sekalipun, perempuan, anak kecil, orang tua, orang lemah tidak boleh dibunuh. Menghancurkan harta benda dan rumah ibadah, juga dilarang.
Maslahat Umat adalah Pondasi Negara
Memasukkan unsur etis dalam sistem politik merupakan sebuah keniscayaan. Sebab ini merupakan kunci pemerintah dalam membuka pintu kemaslahatan umat. Oleh karena itu pemerintahan dan politik tidak bisa dijalankan dengan pemahaman teks keagamaan an-sich nan radikal, tanpa melihat maslahat umat. Justru para sahabat kerap merancang kebijakan pemerintahan yang tidak berdasarkan teks letterlek (nash sharih), tapi berdasarkan kemaslahatan umat. Biasanya dalam ushul fiqih dikenal dengan istilah mashlahah mursalah (maslahat umum), urf shahih (tradisi yang benar), atau istihsan (sesuatu yang dianggap baik).
Hal itu, misalnya bisa dilihat dari aktifitas Sayyidina Abu Bakar Ra dalam mengumpulkan mushaf al-Qur’an yang berserakan, dan memerangi pembangkang yang tak mau berzakat. Sayyidina Umar Ra tidak memberikan zakat pada muallaf qulubuhum, mengadopsi sistem diwan, menggunakan penjara, tidak menerapkan potong tangan pada saat krisis ekonomi. Dan masih banyak contoh lain yang menegaskan bahwa kebijakan politik dan pemerintahan para sahabat tidak berdasarkan pada nash sharih (teks letterlek), tapi berpijak pada kemaslahatan yang sesuai dengan esensi ajaran Islam, seperti keadilan, kemanusiaan, kesetaraan, dan musyawarah. Berkaca dari perilaku sahabat, NU menganggap politik itu tidak bisa dijalankan dengan pemahaman teks an-sich yang radikal. Sebab itu bertentangan dengan gaya politik sahabat radliyallahu anhum. Bahkan NU menganggap harus selalu ada usaha yang sungguh-sungguh agar mampu memasukkan nilai-nilai islami dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat.
Sebab, tujuan inti berdirinya sistem pemerintahan dan politik untuk maslahat umat dan tegaknya keadilan. Sehingga kita memerlukan sebuah pemerintahan yang kuat, berwibawa, adil, dan membawa maslahat demi terciptanya kedamaian dan untuk menghindari peperangan berkepanjangan yang hanya merugikan umat Islam. Itulah sebabnya mengapa Al-Ghazali (1111M) maupun Ibn Taimiyah (1254 M), memperbolehkan kita hidup di bawah kekuasaan yang fajir (pendosa) sekalipun. Sebab bertahun-tahun bersama orang pemimpin fajir lebih baik daripada sehari tanpa pemimpin. Sebaliknya, berperang dan beraktifitas tanpa persetujuan pemimpin hanyalah tindakan Khawarij.
Tak heran jika al-Qur’an memuji beberapa negara yang tidak memeluk Islam tapi damai, tentram dan sejahtera. Misalnya, negeri Saba’. Atas dasar ini al-Ghazali lebih mementingkan keadilan dan kesejahteraan daripada sistem politik tertentu. Dalam kitab Tibr al-Masbuk hal. 41, ia menasehati semua pemerintah muslim, “... maka perlu kamu ketahui bahwa kemakmuran negeri dan kehancurannya disebabkan oleh pemimpinnya. Kalau pemimpinnya adil maka negeri akan makmur seperti di jaman (raja Persia) Ardsyir, Afridon, Bahram Kur, Kisra Anusyirwan. Sedangkan jika pemimpinnya dlalim maka negeri akan rusak berantakan seperti di jaman Dlahhak, Afrasiyan, Bardskan...). Dalam teks ini terlihat al-Ghazali tidak terlalu memusingkan bentuk pemerintahan. Terserah, mau pemerintahan Persia, Arab, atau lain sebagainya. Yang penting pemimpin harus adil dan membawa maslahat bagi umat.
Jadi, seharusnya kita keluar dari dikotomi istilah yang kaku; antara dar al-kufr (negara kafir) dan dar al-Islam (negara Islam). Mungkin lebih arif jika kita mencari alternatif istilah lain yang lebih fleksibel. Sebuah negara yang terbuka pada sistem luar, menerapkan keadilan, menjaga keamanan, mengedepankan maslahat, serta bisa mempraktekkan syariat Islam, akhlaq Islam, aqidah Islam, dengan damai dan santun: yaitu dar as-salam (negara damai). Itulah Indonesia.

Oleh: Robith Qoshidi Muhyiddin, Lc

Alumnus Universitas al-Azhar, Mantan aktifis PCI-NU Mesir, Anggota LBM NU Jember

Tidak ada komentar:

Posting Komentar