Selasa, 23 Juni 2015

Kisah Kesungguhan Ulama Menuntut Ilmu

Di dalam Shahih Muslim disebutkan keterangan dari Yahya bin Abi Katsir, yang mengatakan, “Ilmu itu tak didapat dengan bersantai-santai.” Syair berikut ini juga menuturkan hal yang sama:
Janganlah engkau duga
bahwa kemuliaan itu
bagaikan kurma yang engkau makan
Engkau tak akan mencapai kemuliaan
sampai engkau merasakan kesabaran

Panutan kita, Imam Syafi’i, pernah mengatakan, “Tidak mungkin orang yang menuntut ilmu ini (ilmu agama) de­ngan cepat bosan dan merasa puas akan beruntung, melainkan yang berun­tung adalah yang menuntutnya dengan menahan diri, merasakan kesempitan hidup, dan berkhidmat untuk ilmu.”
Beliau juga mengatakan, “Tidak akan beruntung orang yang menuntut ilmu ke­cuali yang menuntutnya dalam keadaan serba kekurangan. Aku dahulu mencari sehelai kertas pun sangat sulit. Tidak mungkin seseorang menuntut ilmu de­ngan keadaan serba ada dan harga diri yang tinggi kemudian ia beruntung.”
Ketika menceritakan biografi Imam Muslim, Abu ‘Amr bin Ash-Shalah ber­kata, “Wafatnya beliau memiliki sebab yang langka, yakni timbul karena kepe­dihan memikirkan ilmu.”
Begitulah, sedemikian besar perha­ti­an para ulama masa lalu terhadap ilmu, sehingga mereka rela menanggung ke­pa­yahan dalam memikirkannya sepan­jang hayat.
Tokoh sufi terkemuka yang sangat termasyhur, Sayyid Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani, juga mengalami masa-masa sulit yang luar biasa dalam menuntut ilmu. Dengarlah cerita yang ditutur­kan­nya:
“Aku memunguti selada, sisa-sisa sayuran, dan daun carob dari tepi kali dan sungai. Kesulitan yang menimpaku karena melambungnya harga yang ter­jadi di Baghdad, membuatku tidak ma­kan selama berhari-hari. Aku hanya bisa memunguti sisa-sisa makanan yang ter­buang untuk kumakan.
Suatu hari, karena sangat laparnya, aku pergi ke sungai dengan harapan men­dapatkan daun carob, sayuran, atau selainnya yang bisa kumakan. Tetapi tidaklah aku mendatangi suatu tempat melainkan ada orang lain yang telah men­dahuluinya. Ketika aku mendapat­kan­nya, aku melihat orang-orang miskin itu memperebutkannya. Maka, aku pun membiarkannya, karena mereka lebih mem­butuhkan.”
Seorang tokoh ulama, Syaikh Ibra­him bin Ya‘qub, menceritakan bagai­mana kondisi yang dialami Imam Ahmad bin Hanbal demikian: Imam Ahmad suatu saat shalat bersama Abdurrazzaq. Suatu hari beliau lupa dalam shalatnya. Maka Abdurrazzaq bertanya mengapa ia bisa lupa. Ia memberi tahu bahwa ia belum makan apa-apa sejak tiga hari.
Renungkanlah pula apa yang dikata­kan Sa‘id Nursi Badi‘uz-Zaman, tokoh ulama Turki abad ke-19 hingga ke-20 yang sangat termasyhur, ketika meng­gambarkan hakikat ilmu dan proses pen­capaiannya. Ia mengatakan, “Ketahui­lah, ilmu itu suatu keperluan yang lambat (tak segera dibutuhkan), cita-cita yang jauh, yang tidak dapat tercapai dengan anak panah, tidak terlihat di dalam tidur, tidak diwarisi dari orangtua dan paman. Melainkan bagaikan pohon yang tidak akan baik kecuali bila ditanam dan tidak dapat ditanam kecuali di dalam jiwa, ti­dak dapat diairi kecuali dengan belajar, dan tidak dapat menjadi baik kecuali de­ngan bersandar pada batu, senantiasa tak tidur malam (untuk belajar), sedikit tidur, menyambungkan malam dengan siang. Tak akan dapat mencapainya ke­cuali orang yang selalu menggunakan matanya.
Apakah seorang yang menyibukkan waktu siangnya dengan mengumpulkan harta dan menyibukkan waktu malam­nya berkumpul dengan wanita menyang­ka akan tampil sebagai seorang faqih? Tidak! Demi Allah, ia tak akan meraih itu sampai ia menuju kepada buku-buku catatannya, menemani tinta-tinta pena­nya, terus menuntut ilmu siang dan ma­lam, serta menerima kepahitan-kepahit­an karena sabar.”
Sumber : Habib Ali Abdurrahman Al-Habsyi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar