Jumat, 26 Juni 2015

Reresik Wadah

Kalau kau ketik nama Katrin Bandel di google, kau akan temukan sosok tokoh sastra perempuan asal Jerman dengan berbagai karyanya. Di bulan Ramadhan 1436 ini, sebagai santriwati Al-Munawwir Krapyak, ia juga ikut ngaji berbagai kitab, bahkan hingga larut malam. Salah satu kitab yang ia kaji adalah Maraqil ‘Ubudiyyah yang diampu oleh Ustadz As’ad Syamsul ‘Arifin.
Kitab ini sangat populer di kalangan pesantren salaf Nusantara. Ditulis oleh Syaikh Nawawi Banten sebagai penjelasan (syarh) atas kitab Bidayatul Hidayah karya Imam al-Ghazali. Di dalam kitab ini, dijelaskan secara runtut dan praktis adab seorang muslim, baik dalam hal wirid (rutinitas ritual) setiap hari maupun akhlak (tata krama) dala,lm pergaulan.

Bidayatul Hidayah, kata Kiai Ahmad saat mengupas kitab ini di Attauhidiyyah (Tegal), adalah sarana tepat untuk menguji nafsu. Mengapa? Karena kitab ini sangat kental dengan konsistensi ritual fisik, sebagaimana diwanti-wantikan oleh Imam Ghazali di bagian pembukaan. Kalau terasa berat, berarti hawa nafsu menang.
Sedangkan menurut Habib Ahmad, dahulu saat ngaji kitab ini di Al-Fachriyyah (Tangerang), Bidayatul Hidayah lebih berposisi sebagai petunjuk teknis daripada teoritis. Sehingga setiap orang yang mengaji kitab ini dituntut untuk siap mempraktekkan arahan Imam Ghazali dalam setiap babnya. Karena ini kitab praktek, bukan sekedar kitab teori.
“Ini kitab kecil, tapi besar. Ini kitab tipis, tapi berat,” ungkap beliau kala itu.
Ada tiga bagian di dalam kitab ini. Bagian pertama memaparkan berbagai bentuk dan tata cara ibadah mahdhah sehari-hari, mulai dari bangun tidur hingga tidur lagi, mulai dari bagaimana tata laksana teknis hingga doa yang dibaca dan makna yang dikandungnya. Bagian kedua memaparkan beragam bentuk maksiat hati dan anggota badan yang harus diwaspadai. Bagian terakhir tentang adab bergaul dengan Sang Pencipta dan sesama makhluk.
Bidayatul Hidayah secara harfiah bermakna ‘Permulaan Petunjuk’. Mengapa dinamakan demikan? Imam Ghazali dengan gamblang menjelaskan bahwa untuk mencapai puncak, maka seorang penempuh harus mendaki dari dasar. Untuk mencapai tujuan, seorang pejalan harus menapaki langkah awal. Tujuan yang dimaksud adalah ketakwaan, dan langkah awalnya adalah segala hal yang diterangkan di dalam Bidayatul Hidayah.
“Kalau ada ‘bidayah’ (permulaan), berarti ada ‘nihayah’ (pungkasan) juga dong, Pak?” tanyaku kepada Pak As’ad.
“Iya. Nihayah (pungkasan)-nya itu ya takwa. Suatu anugerah batiniah yang tak ternilai harganya. Dan itu merupakan rizki agung yang dikucurkan oleh Allah kepada hamba yang siap. Dan untuk mempersiapkan diri itulah seseorang harus ditata terlebh dahulu dengan bidayah (permulaan)-nya,” jawab beliau.
Maksudnya, takwa bukanlah hal yang bisa digapai dengan sekedar mempelajarinya. Ia hanya bisa digapai dengan lelaku lahir batin atau lazim disebut dengan ‘suluk’ (perjalanan spiritual), pelakunya disebut ‘salik’ (pejalan). Dalam rangka suluk inilah ritus ibadah lahir seorang hamba ditata sedemikian rupa, sehingga ia siap menjadi wadah yang bersih bagi anugerah batiniah berupa ketakwaan.
Ibaratnya, hati salik adalah wadah. Sedangkan takwa adalah kucuran anugerah. Takkan terkucur ketakwaan ke dalam wadah sebelum wadah tersebut dibersihkan terlebih dahulu dari berbagai kotoran. Suluk itulah upaya pembersihannya. Sebagaimana ketika kita akan menuangkan susu murni atau air jernih, tentu akan memperhatikan keadaan gelas. Bila gelas masih kotor, tentu akan kita bersihkan dahulu. Karena apabila air sejernih apapun dituangkan ke dalam gelas yang kotor, tentu air seisi gelas itupun menjadi keruh.
Ketika wadah sudah siap dan anugerah batiniah itu mengucur deras, itulah yang disebut sebagai ‘nihayah’ (pungkasan). Kondisi yang dirasakan para kekasih Allah ini tak bisa dilukiskan dengan kata-kata. Tidak bisa dituliskan, tidak gampang diceritakan.
Para waliyullah yang mencapai kondisi semacam inipun hanya bisa menceritakan ahwal (kondisi spiritual) mereka dengan isyarat. Yakni berupa bahasa yang tak mudah dipahami, entah ungkapan sastrawi berupa sajak-sajak tingkat tinggi atau yang lainnya. Sebut saja misalnya Jalaluddin Ar-Rumi dengan derai-derai sajak dalam Matsnawi, atau Ibnu ‘Athaillah As-Sakandari dengan untaian kebijaksanaannya dalam Al-Hikam.
Maka sebagai upaya persiapan wadah untuk menampung anugerah batin itulah kitab Bidayatul Hidayah ini ditulis. Kitab ini menjadi panduan teoritis dan praktis sebagai pemandu suluk dasar. Bagi salik yang ingin memperdalam lagi teori suluk, bisa merujuk pada Ihya’ ‘Ulumiddin atau Minhajul ‘Abidin.
Jika Bidayatul Hidayah fokus pada petunjuk teknis dan praktis, Minhajul ‘Abidin lebih luas menerangkan tahapan-tahapan yang pasti akan dilalui seorang salik. Dalam kitab ini, tahap-tahap tersebut disebut sebagai ‘aqabah’. Dalam istilah almarhum Mbah Kiai Zainal Abidin Munawwir, ‘aqabah’ ini diibaratkan sebagai ‘iring-iring putih’. Yakni layaknya lereng pegunungan yang licin dan mengkilat, terjal dan rawan perampok, sehingga setiap pejalan yang melaluinya harus selalu waspada.
Lalu apakah seorang salik harus menguasai berbagai teori suluk dan pengetahuan agama secara mendalam? Memang tidak harus. Namun hal ini bisa menjadi akselerasi. Tentu akan berbeda hasilnya antara salik yang ‘alim (menguasai teori) dengan yang tidak. Percepatannya berbeda, maka di sinilah ilmu menjadi sangat penting.
Sebut saja Syaikh Arsyad al-Banjari. Beliau adalah faqih (ahli fiqh) tulen yang konon menolak praktek-praktek tarekat. Namun begitu sekali saja bertemu guru mursyid (penuntun spiritual dalam ranah tarekat), percepatannya sangat dahsyat. Pagi beliau bai’at, malamnya sudah jadi wali. Atau sebut saja Syaikh Ibnu ‘Athaillah As-Sakandary. Awalnya beliau sangat anti terhadap pandangan-pandangan tasawuf, namun begitu bertemu mursyid sekaliber Abu al-‘Abbas al-Mursi, beliau malah menjadi tokoh besar dalam rantaian tarekat Syadziliyyah, dan kitab Al-Hikam susunannya menjadi sala satu rujukan penting dalam kajian tasawuf.
Tentu semua ini terjadi bila seseorang sudah masuk dalam semesta bimbingan seorang guru mursyid. Dalam khazanah Islam, sosok guru mursyid lazimnya ada di lingkaran tarekat. Apakah ada mursyid di luar lingkaran tarekat? Tentu saja ada. Ibaratnya, tarekat seperti ‘institusi formal’, sedangkan di luar itu adalah jalur-jalur non formal. Tapi memang jalur pendakian yang lebih aman adalah melalui ‘institusi’ tarekat, sehingga perjalanan spiritual seseorang bisa lebih menjalur.
Dalam tarekat-tarekat itulah sisi kepekaan rasa (dzauq) diasah ketika melakoni berbagai aturan syariat. Sehingga tata syariat itu tidak kering dan gersang, melainkan ‘basah’, subur menghijau. Misalnya tarekat ‘Alawiyyah yang ditempuh anak cucu keturunan Rasulullah di Hadhramaut Yaman. Disebutkan oleh Habib Abdurrahman bin Abdullah Bilfaqih dalam Ar-Rasyafaat, asas tarekat ini adalah ittiba’ (mengikuti) Quran dan sunah, pokoknya adalah shidqul iftiqor (benar-benar merasa butuh kepada Allah) dan syuhudul minnah (menyaksikan bahwa semuanya merupakan karunia Allah).
Sebagai bentuk ittiba’ kepada sunnah, apa yang mereka lakukan dalam tataran fisik betul-betul dimaksudkan untuk meniru kakek mereka, yakni Nabi Muhammad. Mulai dari bagaimana bersiwak dengan kayu arak, cara tidur dan makan, berbusana, berhias, dan segala hal dalam ranah lahir. Tentu diimbangi dengan upaya meniru beliau dari sisi batin. Di sinilah kita tidak bisa serta merta menjustifikasi dengan label arabisasi atau semacamnya. Karena landasan laku mereka adalah dzauq yang tak sekedar tata lahiriah.
Hal ini juga dilakukan oleh kiai-kiai sepuh kita. Lihat bagaimana beliau-beliau mengenakan busana, bersorban, tersenyum, menjamu tamu, hingga mendidik santri. Dari tingkah polah mereka, terasa betul adanya hawa kangen kepada Rasulullah, ada keseimbangan lelaku lahir berupa suluk dan lelaku batin berupa syauq (kerinduan).
Memang akan menjadi masalah bila hanya satu sisi yang ditempuh. Tentu akan terjadi ketimpangan saat aspek lahiriah tidak diimbangi dengan polesan batiniah. Maka muncullah keberislaman yang kering kerontang, sumuk nan gersang. Atau sebaliknya, otak atik kebatinan tanpa kepatuhan terhadap tata lahir, akan memunculkan praktek keagamaan yang wingit dan angker.
Untuk itulah pentingnya ada mursyid sebagai murobbiyur ruuh (guru pembimbing jiwa). Lalu bagaimana dengan orang yang tidak atau belum punya mursyid sebagai penunjuk jalan? Tak masalah, asalkan ia mau terus memperbanyak shalawat kepada Baginda Nabi Muhammad sebagai mursyid taam (mursyid yang paripurna) bagi segenap umatnya.
Bagi kaum muslimin yang hatinya merindukan keberislaman yang ‘tidak gersang’, maka suluk dengan tuntunan Bidayatul Hidayah adalah opsi tepat. Terutama bagi mereka yang merasa awam, atau bahkan muallaf semisal Mbak Katrin Bandel. Karena di sini, tata ritual fisik disesuaikan dengan kemampuan rata-rata salik dalam rangka mempersiapkan diri menggapai tahap spiritualitas selanjutnya.
Suluk lahir batin ini pulalah salah satu ciri pokok ‘wasathiyyah’ (moderat) dalam beragama. Jalan yang selamat dari dua titik ekstrim, yaitu pengabaian sebab terlalu longgar maupun sikap berlebihan sebab terlalu ketat. Sebagaimana bunyi syair yang dikutip Imam Ghazali di akhir kitab Bidayatul Hidayah ini;
‘Alayka bi awsathil umuuri fa innahaa # thariiqun ilaa nahjis shiraati qawiimu ~ Walaa takun fiihaa mufrithan aw mufarrithaa # fa inna kilaa khaalil umuuri dzamiimu
“…‘Alayka (iku tetep ing atase sira) bi awsathil umuuri (utawi netepi kelawan tengah-tengahe pira-pira perkara) fa innahaa (mangka temen sa’tuhune netepi tengah-tengahe perkara) # (iku) thariiqun (jalur) ilaa nahjis shiraati (maring sa’nggenahe dalan) qawiimu (kang jejeg opo jalur)
Walaa takun (lan aja ana sapa sira) fiihaa (ing dalem pira-pira perkara) (iku) mufrithan (wong kang ngengker) aw mufarrithaa (atawa wong kang ngeculke) # fa inna kilaa khaalil umuuri (mangka sa'tuhune loro-lorone tingkahe pira-pira perkara mau) (iku) dzamiimu (den cela).”
Nah, ‘wasathiyyah’ inilah sikap yang pas dalam menghadapi berbagai fenomena, isu, konflik, intrik, dan beragam dinamika zaman. Namun musti diingat bahwa sikap moderat dalam beragama ini harus dimulai dari diri kita masing-masing, terutama sebagai santri. Salah satu caranya adalah dengan melakoni suluk dan pembenahan adab. Inilah manhaj yang dipegang teguh pesantren-pesantren kita, kiai-kiai kita, teladan-teladan kita, di seluruh penjuru Nusantara, di Krapyak pada khususnya.
Dari obrolan singkat tentang suluk ini, maka Bulan Ramadhan adalah momen istimewa untuk reresik wadah. Wallahu a’lam. Salam.
Allahumma innaka ‘afuwwun kariim, tukhibbul ‘afwa fa’fu ‘annaa yaa kariim.

Krapyak, 6 Ramadhan 1436 / 23 Juni 2015
Sumber : Zia Ul Haq, Catatan lepas bincang singkat bersama Pak As'ad (Senin 22/6 2015) di kantor pusat Pesantren Al-Munawwir Krapyak

Tidak ada komentar:

Posting Komentar