Rabu Wekasan: Tradisi, Makna, dan Hukumnya dalam Islam - Kampus Menyan

Latest

Kampus Aswaja. Program Unggulan Tahlil, Ratib dan Maulid.

اللّهم صل على سيّدنا محمّد

Sabtu, 25 Juni 2016

Rabu Wekasan: Tradisi, Makna, dan Hukumnya dalam Islam

Apa Itu Rabu Wekasan?

Ritual rabu wekasan selamatan


Rabu Wekasan merupakan hari Rabu terakhir di bulan Safar dalam kalender Hijriyah. Masyarakat Indonesia, khususnya Jawa, menganggap hari ini memiliki kesakralan tersendiri. Tradisi ini telah berlangsung turun-temurun selama ratusan tahun di berbagai wilayah Nusantara.

Pada hari ini, masyarakat menunjukkan animo yang berbeda. Suasana mistik dan spiritual sangat terasa melalui berbagai aktivitas. Rajah-rajah berbahasa Arab beredar dari tangan ke tangan. Tumpeng atau ambeng disajikan sebagai bentuk ritual. Doa-doa khusus dipanjatkan karena hari ini dianggap bukan hari biasa.


Berbagai Nama Rabu Wekasan di Indonesia

Tradisi Rabu Wekasan memiliki nama berbeda di setiap daerah. Perbedaan nama ini mencerminkan keragaman budaya dan ritual lokal. Berikut berbagai sebutan untuk hari yang sama:

1. Rabu Pungkasan - sebutan masyarakat Yogyakarta
2. Rebo Kasan - istilah dari Sunda dan Banten
3. Rebbuh Bekasen - sebutan khas Madura
4. Rabu Bekas - nama di beberapa daerah lainnya

Keberagaman nama ini menunjukkan tingginya kepercayaan masyarakat terhadap kesakralan hari tersebut. Setiap daerah memiliki cara unik dalam melaksanakan ritual dan upacara peringatan.


Benarkah Ada 320.000 Bala yang Turun?

Pertanyaan tentang turunnya 320.000 bala menjadi topik yang sering diperdebatkan. Faktanya, tidak ada nash hadits khusus yang membahas akhir bulan Safar. Yang ada hanya hadits dhaif yang menyebutkan setiap Rabu terakhir dari setiap bulan adalah hari naas.

Hadits dhaif yang diriwayatkan At Thabarani dalam kitab Faidhul Qadir halaman 64 ini tidak dapat dijadikan landasan kepercayaan. Namun, beberapa ulama salaf memberikan perhatian khusus pada hari ini.


Pendapat Para Ulama Tentang Rabu Wekasan

Beberapa tokoh sufi dan ulama besar menyebutkan tentang turunnya bala di hari ini:
  • 1. Syaikh Ad Dairobi mencatatnya dalam kitab Mujarrobat
  • 2. Syaikh Al Buni menuliskannya dalam Al Firdaus
  • 3. Syaikh Nawawi Al Bantani menjelaskan dalam Nihayatus Zain halaman 63
  • 4Syaikh Al Kamil Farid Ad Din** membahas dalam Jawahirul Khomsi halaman 50-51
  • 5. Syaikh Imam Hamid Al Quds**, Mufti dan Imam Masjidil Haram, mencatatnya dalam Kanzun Najah was Suruur

Para ulama ini menyatakan bahwa pada Rabu terakhir bulan Safar, Allah menurunkan 320.000 bala. Mereka menganggap hari ini sebagai hari tersulit dalam setahun. Karena itu, beberapa ulama memberikan amalan khusus untuk menjaga diri dari malapetaka.


Hukum Shalat Rabu Wekasan Menurut Syariat

Praktik shalat khusus pada Rabu Wekasan sudah berlangsung turun-temurun di berbagai daerah. Tidak sedikit kaum muslimin yang melaksanakannya secara berjamaah. Tata cara shalat ini memiliki keunikan tersendiri.

Tata Cara Shalat Rabu Wekasan

Kaifiyah shalat ini berbeda dengan shalat pada umumnya:

- Shalat empat rakaat dengan satu salam
- Setiap rakaat membaca Al Fatihah
- Dilanjutkan surat Al Kautsar 17 kali
- Surat Al Ikhlas 5 kali
- Al Falaq 1 kali
- An Nas 1 kali
- Setelah salam membaca doa khusus

Tata cara ini tercatat dalam kitab Jawahir Al Khomis karya Syaikh Al Kamil Farid Ad Din. Kitab Mujarobat karya Syaikh Ad Dairobi juga mencatatnya.


Pendapat Ulama yang Menolak

Syaikh Zainuddin, murid Syaikh Ibnu Hajar Al Maliki, memberikan pendapat berbeda. Dalam kitab Irsyadul Ibad, beliau menyatakan bahwa shalat Safar termasuk bid'ah madzmumah atau bid'ah tercela.

Bagi yang ingin melaksanakan shalat pada hari itu, hendaknya berniat shalat sunnah mutlak. Shalat sunnah mutlak adalah shalat yang tidak dibatasi waktu, sebab, dan bilangan.


Keputusan Bahtsul Masail NU

Hasil keputusan Bahtsul Masail PWNU Jatim tahun 1980 M di PP Asem Bagus memberikan kesimpulan tegas. Keputusan ini mengacu pada fatwa Roisul Akbar NU Syaikh Hasyim Asy'ari.

Kesimpulannya: melakukan shalat Safar atau Rabu Wekasan tidak diperbolehkan. Alasannya karena tidak ada dalil dan masyru'ah dari syara'.


Tradisi Rabu Wekasan di Berbagai Daerah Indonesia

Rebo Pungkasan Wonokromo Plered Yogyakarta

Masyarakat Yogyakarta memiliki sejarah panjang dengan Rabu Pungkasan. Upacara ritual ini rutin diadakan di lapangan desa Wonokromo Plered Bantul sejak 1784 M. Beberapa sumber menyebutkan tradisi ini sudah ada sejak tahun 1600 M.

Latar belakang upacara ini adalah pertemuan bersejarah. Sri Sultan Hamengkubuwono I bertemu dengan Kiai Faqih Utsman, seorang ulama dan penasehat spiritual Raja Ngayogyakarta. Kiai Faqih Utsman juga seorang tabib yang mampu menyembuhkan penyakit warga Wonokromo. Pertemuan terjadi di tempuran Kali Opak dan Kali Gajah Wong.

Prosesi Rebo Pungkasan Bantul

Tradisi ini dilaksanakan sebagai ungkapan syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Puncak acara adalah kirab lemper raksasa dengan dimensi mengesankan. Lemper berukuran tinggi 2,5 meter dengan diameter 45 cm dibawa dari Masjid desa menuju Balai Desa Wonokromo.

Kirab dimulai dengan barisan Kraton Yogyakarta di depan. Lemper raksasa mengikuti di belakang. Kelompok kesenian rakyat seperti shalawatan, kubrosiswo, dan rodat menutup arak-arakan.

Lemper raksasa dibagikan kepada undangan yang hadir. Gunungan makanan lain diperebutkan masyarakat untuk dibawa pulang. Mereka percaya makanan ini membawa berkah. Pergelaran juga diisi pasar malam dan pertunjukan seni tradisional.

Ritual Rabu Wekasan di Gresik

Tradisi di Gresik memiliki karakter berbeda. Ritual yang sudah berlangsung ratusan tahun ini lebih mirip acara khaul atau pengajian umum. Di Suci Gresik, Rabu Wekasan menjadi momen selametan dan silaturahmi.

Seorang tokoh setempat menjelaskan bahwa acara ini adalah ajang silaturahmi. Hikmah besar dapat diambil dari perayaan Rabu Wekasan di daerah ini. Pendekatan yang dilakukan lebih menekankan aspek sosial dan kebersamaan.

Tradisi Saparan Cirebon

Cirebon memiliki tiga tradisi khas: Ngapem, Ngirap, dan Rebo Wekasan.

Ngapem: Berbagi Kue Apem

Ngapem berasal dari kata "apem", sejenis kue dari tepung beras fermentasi. Apem dimakan dengan kinca, pemanis dari gula jawa dan santan. Masyarakat Cirebon hingga kini membagi-bagikan apem ke tetangga sebagai ungkapan syukur di bulan Sapar agar terhindar dari malapetaka.

Ngirap: Mandi di Sungai Drajat

Ngirap artinya bergerak atau menggerakkan sesuatu untuk membuang yang kotor. Masyarakat Cirebon mandi di sungai Drajat, petilasan Sunan Kalijaga. Menggunakan perahu, mereka mengambil berkah di sungai tempat Sunan Kalijaga membersihkan diri saat berguru kepada Sunan Gunung Djati.

Rebo Wekasan: Tradisi Anak-Anak Berkeliling

Ritual ini terlihat ketika anak-anak berkopiah dengan sarung terkalungkan berkeliling rumah ke rumah. Mereka menyanyikan "Wur Tawur nyi tawur, selamat dawa umur..." yang bermakna doa keselamatan dan umur panjang.

Pemilik rumah biasanya bertanya, "Sing endi cung?" (Dari mana?). Anak-anak menjawab dari pesantren, kampung, atau daerah tempat tinggal mereka. Ritual unik ini berlangsung setelah Isya hingga Subuh.

Rabu Wekasan di Jember

Di desa Wringin Agung Jombang Jember, masyarakat berbondong-bondong mengantri di sebuah gentong. Mereka mengambil air yang diberi piring bertuliskan rajah Arab. Kepercayaan mereka: air ini bisa menolak 313.000 bala.

Tradisi Umum di Berbagai Daerah

Di banyak daerah lain, masyarakat mengadakan selametan di musholla dan masjid desa. Ada yang mengisi dengan istighosah, yasinan, dzikir, atau bacaan pujian lainnya. Orientasi utama mereka adalah mengungkapkan syukur kepada Allah dan berdoa agar terjaga dari bahaya.


Hukum Bid'ah dalam Tradisi Rabu Wekasan

Ritual dan tradisi yang berkembang di masyarakat perlu dikaji secara syariat. Selama tidak bertentangan dengan Al-Quran, hadits, ijma', dan atsar, amalan tersebut bukanlah bid'ah dhalalah.

Kaidah Bid'ah Menurut Imam Syafi'i

Imam Syafi'i memberikan kaidah yang ditulis Ibnu Hajar dalam Syarah Fathul Mubin:

"Sesuatu yang bertentangan dengan Al-Quran, hadits, ijma', dan atsar adalah bid'ah dhalalah (sesat). Sedangkan amalan baik yang tidak bertentangan dengan hal tersebut adalah bid'ah mahmudah (terpuji)."


Kesimpulan

Rabu Wekasan adalah tradisi yang mengakar kuat di masyarakat Indonesia. Meskipun memiliki keragaman pelaksanaan, inti dari tradisi ini adalah ungkapan syukur dan permohonan perlindungan kepada Allah.

Dari sisi syariat, para ulama memiliki pendapat berbeda tentang amalan khusus di hari ini. Penting bagi umat Islam untuk memahami landasan syar'i setiap amalan. Yang terpenting adalah menjaga niat ikhlas dan tidak meyakini secara mutlak hal-hal yang tidak memiliki dalil kuat.

Wallahu a'lam bishowab.



Simak: 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Salam Menyan...