Mekanisme Kerja Otak - Kampus Menyan

Latest

Kampus Aswaja. Program Unggulan Tahlil, Ratib dan Maulid.

اللّهم صل على سيّدنا محمّد

Senin, 22 September 2025

Mekanisme Kerja Otak

Otak pikiran
Mengapa kabar buruk menyebar lebih cepat daripada kabar baik, Dan sayangnya, otak kita justru menikmatinya. 

Sebuah studi dari MIT menemukan bahwa berita negatif di media sosial menyebar 70 persen lebih cepat dibandingkan berita positif. Ini bukan hanya karena algoritma platform, tapi juga karena otak kita dirancang untuk lebih memperhatikan ancaman daripada peluang. Fenomena ini disebut negativity bias, dan ia bekerja tanpa kita sadari.

Di media sosial, kita melihat ini setiap hari. Postingan tentang skandal politik, konflik selebriti, atau bencana viral cenderung lebih banyak dibagikan dibandingkan kisah inspiratif atau pencapaian seseorang. Otak kita terpicu untuk berhenti scrolling hanya karena melihat sesuatu yang membuat kita marah atau cemas.

1. Mekanisme Bertahan Hidup Otak
     Otak manusia berevolusi untuk mendeteksi ancaman dengan cepat. Di zaman purba, fokus pada informasi negatif berarti peluang hidup lebih besar. Jika ada suara ranting patah, mereka yang langsung waspada selamat dari predator.

Di media sosial, mekanisme ini aktif setiap kali kita melihat konten konflik atau kontroversi. Meski tidak ada bahaya fisik, otak tetap menganggap informasi itu penting. Kita pun terjebak membaca komentar panjang lebar atau mengikuti drama online.

Kesadaran ini membantu kita mengambil jarak. Dengan mengurangi konsumsi berita negatif, kita bisa melatih otak mencari keseimbangan. Di logikafilsuf saya membahas teknik melatih atensi agar tidak terus terjebak dalam lingkaran konten negatif.

2. Emosi Negatif Lebih Kuat dari Positif
     Psikolog menemukan bahwa satu pengalaman negatif memiliki dampak emosional empat kali lipat dibandingkan pengalaman positif. Inilah sebabnya satu komentar jahat terasa lebih membekas daripada sepuluh pujian.

Di media sosial, hal ini membuat kita lebih tergerak oleh postingan yang membuat marah atau kecewa. Algoritma kemudian membaca respons kita dan memperbanyak konten serupa. Lingkaran ini membuat feed kita semakin dipenuhi hal-hal yang memicu emosi negatif.

Mengenali pola ini membantu kita mengendalikan apa yang kita konsumsi. Mengikuti akun yang memberi perspektif sehat bisa menjadi penyeimbang agar emosi tidak selalu diwarnai kemarahan atau kecemasan.

3. Dopamin dari Drama 
     Ironisnya, drama di media sosial memberikan pelepasan dopamin. Saat membaca konflik, otak merasa mendapatkan sesuatu yang penting. Ini membuat kita ketagihan pada emosi negatif tanpa sadar.

Contoh nyatanya adalah trending topik tentang perseteruan figur publik. Meski kita tidak terlibat, kita terus mengikuti perkembangannya, merasa seolah menjadi bagian dari cerita. Waktu produktif pun terbuang.

Mengganti konsumsi drama dengan diskusi yang lebih bernilai dapat memuaskan kebutuhan dopamin tanpa mengorbankan ketenangan mental. Konten mendalam yang saya bahas di logikafilsuf dapat membantu mengalihkan atensi ke hal-hal yang lebih membangun.

4. Konten Negatif Picu Rasa Superioritas
    Melihat orang lain gagal atau membuat kesalahan memicu rasa lebih baik pada diri kita. Ini yang disebut schadenfreude. Otak menafsirkan kesialan orang lain sebagai penguat ego.

Di media sosial, ini terlihat ketika orang beramai-ramai mengomentari kesalahan publik figur atau merayakan kegagalan selebriti. Rasa puas sesaat ini membuat kita terus mencari konten serupa.

Menyadari motif ini membuat kita bisa lebih berempati. Alih-alih ikut menghakimi, kita bisa memanfaatkan momen itu untuk refleksi dan memperbaiki diri.

5. Ketidakpastian Menarik Perhatian
     Otak lebih tertarik pada informasi yang belum selesai. Konten negatif seringkali menyajikan konflik yang belum tuntas, sehingga memancing kita terus mengikuti perkembangannya.

Misalnya, ketika ada kasus besar yang belum ada kepastian, kita terus memeriksa berita terbaru. Rasa penasaran ini mengalahkan kebutuhan kita untuk beristirahat.

Melatih diri untuk berhenti mencari pembaruan yang tidak perlu membantu menjaga fokus pada kehidupan nyata. Energi mental bisa dialihkan ke hal yang lebih produktif.

6. Konten Negatif Lebih Mudah Mengikat Memori
    Penelitian menunjukkan bahwa memori emosional negatif disimpan lebih kuat di hippocampus. Itulah sebabnya kita mengingat penghinaan lebih lama daripada pujian.

Media sosial mengeksploitasi hal ini dengan menghadirkan konten yang memicu amarah atau ketakutan, karena mereka tahu pengguna akan kembali lagi untuk melihat kelanjutan ceritanya.

Mengisi feed dengan konten edukatif atau inspiratif dapat membantu menyeimbangkan bias memori ini. Otak pun tidak hanya menyimpan kenangan buruk, tetapi juga hal-hal yang memberi semangat.

7. Algoritma Memperkuat Kecenderungan Negatif
    Meski otak kita sudah bias pada informasi negatif, algoritma media sosial memperkuat kecenderungan ini dengan menampilkan lebih banyak konten serupa. Akibatnya, kita merasa dunia lebih kacau daripada kenyataannya.

Contohnya saat satu kasus kriminal viral, kita merasa kejahatan meningkat padahal data menunjukkan sebaliknya. Perasaan ini menciptakan kecemasan kolektif yang sebenarnya tidak perlu.

Mengetahui cara kerja algoritma membantu kita mengendalikan apa yang kita lihat. Mengkurasi timeline dan membatasi waktu online adalah langkah sederhana untuk menjaga kesehatan mental.

Otak memang suka drama dan berita buruk, tetapi kita bisa melatihnya untuk tidak terus terjebak di dalamnya.

Sumber: FP Logika Filsuf


Baca Juga:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Salam Menyan...