Beliau adalah seorang mujtahid mutlaq sekaligus pendiri mazhab
Syafi’i, yang diikuti oleh mayoritas kaum Ahlussunnah wal-Jama’ah di Indonesia.
Beliau berkata tentang bid’ah:
اَلْمُحْدَثَاتُ ضَرْبَانِ: مَا اُحْدِثَ يُخَالِفُ كِتَابًا اَوْ
سُنَّةً اَوْ اِجْمَاعًا فَهُوَ بِدْعَةُ الضَّلاَلَةِ وَمَا اُحْدِثَ فِي
الْخَيْرِ لاَ يُخَالِفُ شَيْئًَا مِنْ ذَلِكَ فَهُوَ مُحْدَثَةٌُ غَيْرُ
مَذْمُوْمَةٍِ
Artinya: “Perkara yang baru terbagi menjadi dua bagian. Pertama
sesuatu yang menyalahi al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ atau Atsar (apa yang dilakukan
atau dikatakan sahabat tanpa ada di antara mereka yang mengingkari), inilah
bid’ah yang sesat. Kedua perkara yang baru yang baik dan tidak menyalahi
al-Qur’an, Sunnah, maupun Ijma’, inilah sesuatu yang baru yang tidak tercela.”
Dalam riwayat lain, yakni yang berasal dari al-Imam Abu Nu’aim
rahimahullah, juga disebutkan bahwa al-Imam al-Syafi’i rahimahullah berkata:
اَلْبِدْعَةُ بِدْعَتَانِ: مَحْمُوْدَةٌُ وَمَذْمُوْمَةٌُ، فَمَا
وَافَقَ السُّنَّةَ فَهُوَ مَحْمُوْدٌ، وَمَا خَالَفَهَا فَهُوَ مَذْمُوْمٌ
Artinya: “Bid’ah itu terbagi dua: bid’ah terpuji dan bid’ah
tercela. Bid’ah terpuji adalah yang sesuai dengan sunnah Nabi shallallahu
’alaihi wa sallam, sedangkan bid’ah tercela adalah yang menyelisihi sunnah Nabi
shallallahu ’alaihi wa sallam.”
Kalau kita perhatikan ungkapan al-Imam al-Syafi’i rahimahullah
di atas terlihat dengan jelas bahwa beliau membagi bid’ah ke dalam dua
kategori: bid’ah dhalalah (bid’ah sesat/tercela) dan bid’ah hasanah (bid’ah
terpuji/baik). Yang menjadi tolok ukur dalam membedakan mana bid’ah tercela dan
mana bid’ah terpuji adalah al-Qur’an, Sunnah Nabi shallallahu ’alaihi wa
sallam, Atsar para sahabat, dan Ijma’ para ulama. Jika sesuatu yang baru itu
bertentangan dengan al-Qur’an, Sunnah, Atsar dan Ijma’, maka ia tergolong bid’ah
dhalalah. Sedangkan apabila ia bersesuaian dengan hal-hal tersebut, maka ia
tergolong bid’ah hasanah, sekalipun belum pernah ada pada masa Rasulullah
shallallahu ’alaihi wa sallam.
Bahkan al-Imam al-Syafi’i rahimahullah menafikan nama bid’ah
terhadap sesuatu yang memiliki landasan syar’i meskipun belum pernah diamalkan
pada masa salaf.
Simaklah perkataan beliau berikut ini:
كُلُّ مَا لَهُ مُسْتَنَدٌ مِنَ الشَّرْعِ فَلَيْسَ بِبِدْعَةٍ
وَلَوْ لَمْ يَعْمَلْ بِهِ السَّلَفُ ِلأَنَّ تَرْكَهُمْ لِلْعَمَلِ بِهِ قَدْ
يَكُوْنُ لِعُذْرٍِ قَامَ لَهُمْ فِي الْوَقْتِ أَوْ لِمَا هُوَ أَفْضَلُ مِنْهُ
أَوْ لَعَلَّهُ لَمْ يَبْلُغْ جَمِيْعَهُمْ عِلْمٌ بِهِ -- الحافظ الغمار، إتقان
الصنعة في تحقيق معنى البدعة، ص/٥
Artinya: “Segala sesuatu yang memiliki dasar dari dalil-dalil
syar’i, maka bukan termasuk bid’ah meskipun belum pernah dilakukan pada masa
salaf. Karena sikap mereka yang meninggalkan hal tersebut terkadang karena ada
uzur yang terjadi pada saat itu, atau karena ada amaliah lain yang lebih utama,
dan atau barangkali hal itu belum terlintas di dalam pengetahuan mereka.”
Ketika al-Imam al-Syafi’i rahimahullah berkata demikian tentunya
Anda tidak akan berpikir bahwa ucapan itu tanpa dalil. Beliau adalah seorang
ulama yang pendapatnya paling banyak dianut oleh umat Islam. Namun rasanya
kurang tepat bila tidak kami sertakan di sini dalil-dalil yang menjadi landasan
pendapat al-Imam al-Syafi’i rahimahullah saat beliau membagi bid’ah menjadi dua
bagian seperti yang telah dijelaskan sebelumnya.
Dalil Pertama:
Hadits yang bersumber dari Aisyah radhiyallahu ‘anha yang
berkata bahwa Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
Artinya: “Barang siapa yang berbuat sesuatu yang baru dalam
syari'at ini yang tidak sesuai dengannya, maka ia tertolak.”
Dalil Kedua:
Hadits yang bersumber dari Jarir bin Abdillah al-Bajali
radhiyallahu ‘anhu yang berkata bahwa Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam
bersabda:
مَنْ سَنَّ فِي اْلإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا
وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُورِهِمْ
شَيْءٌ وَمَنْ سَنَّ فِي اْلإِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِّئَةً كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا
وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ
شَيْءٌ
Artinya: “Barang siapa merintis (memulai) dalam agama Islam
sunnah (perbuatan) yang baik maka baginya pahala dari perbuatan tersebut, juga
pahala dari orang yang melakukannya (mengikutinya) setelahnya tanpa berkurang
sedikitpun pahala mereka, dan barang siapa merintis dalam Islam sunnah
(perbuatan) yang buruk maka baginya dosa dari perbuatan tersebut, juga dosa
dari orang yang melakukannya (mengikutinya) setelahnya tanpa berkurang
dosa-dosa mereka sedikitpun.”
Coba perhatikan hadits tersebut. Tidakkah di dalamnya terdapat
kebolehan, bahkan anjuran agar setiap Muslim mengadakan (menciptakan) sunnah
hasanah (perbuatan baik). Ada janji Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam di dalam
hadits tersebut yang menyatakan bahwa seorang Muslim yang merintis perbuatan
baik di dalam agama ini, lalu ada orang lain yang mengikutinya, maka ia akan
memperoleh dua macam pahala: pahala karena ia telah merintis sebuah perbuatan
baik dan pahala karena ada orang lain yang mengikuti perbuatan baik yang
dirintisnya itu.
Sebaliknya, yang dilarang adalah merintis
(menciptakan/mengadakan) perbuatan buruk. Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam
mengancam orang-orang yang melakukan hal ini dengan dua macam dosa: dosa
rintisannya terhadap perbuatan buruk dan dosa karena ada orang yang mengikuti
perbuatan buruknya itu. Perlu diingat bahwa sunnah hasanah dan sunnah sayyiah
yang disebutkan dalam hadist tersebut tidaklah terikat hanya pada masa
kehidupan Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam saja, namun maknanya melingkupi
kedua jenis perbuatan tersebut sejak ditetapkannya syari’at itu hingga saat ini
dan masa yang akan datang.
Dalil Ketiga:
Hadits yang bersumber dari Abdurrahman bin Abd al-Qari
radhiyallahu ‘anhu yang berkata:
عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَبْدِ اْلقَارِيِّ أَنَّهُ قَالَ:
خَرَجْتُ مَعَ عُمَرَ بْنِ اْلخَطَّابِ رَضِىَ اللهُ عَنْهُ لَيْلَةً فِيْ
رَمَضَانَ إِلَى اْلمَسْجِدِ فَإِذَا النَّاسُ اََوْزَاعٌ مُتَفَرِّقُوْنَ
يُصَلِّي الرَّجُلُ لِنَفْسِهِ وَيُصَلِّي الرَّجُلُ فَيُصَلِّي بِصَلاَتِهِ
الرَّهْطُ فَقَالَ عُمَرُ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ: إِنِّي أَرَى لَوْ جَمَعْتُ
هَؤُلاَءِ عَلَى قَارِئٍٍ وَاحِدٍ لَكَانَ أَمْثَلَ ثُمَّ عَزَمَ فَجَمَعَهُمْ
عَلَى أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍِ ثُمَّ خَرَجْتُ مَعَهُ لَيْلَةً أُخْرَى وَالنَّاسُ
يُصَلُّوْنَ بِصَلاَةِ قَارِئِهِمْ قَالَ عُمَرُ: نِعْمَتِ اْلبِدْعَةُ هَذِهِ.
Artinya: “Abdurrahman bin Abd al-Qari berkata, “Suatu malam di
bulan Ramadhan aku pergi ke masjid bersama Umar bin Khaththab radhiyallahu
‘anhu. Ternyata orang-orang di masjid berpencar-pencar dalam sekian kelompok.
Ada yang shalat sendirian. Ada juga yang shalat menjadi imam beberapa orang.
Lalu Umar radhiyallahu ‘anhu berkata, “Aku berpendapat, andaikan mereka aku
kumpulkan dalam satu imam, tentu akan lebih baik.”
Lalu beliau mengumpulkan mereka pada Ubay bin Ka’ab radhiyallahu ‘anhu. Malam berikutnya, aku ke masjid lagi bersama Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu, dan mereka melaksanakan shalat bermakmum pada seorang imam. Menyaksikan hal itu, Umar radhiyallahu ‘anhu berkata, “Sebaik-baik bid’ah adalah ini.”
Lalu beliau mengumpulkan mereka pada Ubay bin Ka’ab radhiyallahu ‘anhu. Malam berikutnya, aku ke masjid lagi bersama Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu, dan mereka melaksanakan shalat bermakmum pada seorang imam. Menyaksikan hal itu, Umar radhiyallahu ‘anhu berkata, “Sebaik-baik bid’ah adalah ini.”
Hadits ini menjelaskan tentang ucapan Umar bin Khaththab
radhiyallahu ‘anhu yang mengatakan bahwa shalat Tarawih secara berjamaah terus
menerus selama bulan Ramadhan adalah bid’ah, namun tentunya bid’ah yang baik.
Berdasarkan pada tiga hadits di atas muncullah pendapat al-Imam
al-Syafi’i rahimahullah yang menegaskan bahwa bid’ah itu terbagi dua: bid’ah
dhalalah dan bid’ah hasanah. Sebenarnya terdapat banyak dalil yang menudukung
fatwa ini, namun bagi orang yang berakal, tiga dalil pun sudah cukup untuknya
guna mengakui kebenaran fatwa tentang bid’ah yang disampaikan oleh al-Imam
al-Syafi’i rahimahullah ini.
Walllahu a'lam...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Salam Menyan...