Rabu Wekasan yang “Keramat”
Pada hari Rabu terakhir bulan Shafar
(Hijriyah) animo masyarakat sedikit berubah, kesan mintik dan spiritual budaya
kuno begitu kentara, dari selembaran rajah-rajah (jimat) berbahasa arab yang
tersebar dari tangan ketangan, usungan tumpeng (ambeng:Jawa), dan doa khusus
pada hari yang kemudian terkenal dengan Rabu Wekasan adalah gambaran bahwa,
hari Rabu itu bukan hari biasa.
Tradisi-tradisi pada hari Rabu terakhir bulan
Shafar yang merata hampir di seluruh nusantara, khususnya di Jawa, dan ada
sampai sekarang, adalah ritual yang sudah turun-temurun dari ratusan tahun
lalu. Sakralitas pelaksaan upacara atau acara dalam menyambut Rabu Wekasan,
membuat “keangkeran” Rabo Wekasan makin menancap dibenak masyarakat.
Uniknya, ritual pada Rabu Wekasan itu berbeda
di setiap daerah. Itu kenapa, Rabu Wekasan terkenal menjadi Rabu Pungkasan
(Yogyakarta), Rebo Kasan (Sunda Banten), Rebbuh Bekasen (Madura) dan Rabu Bekas
di sebagian daerah. ini tidak lain karena aplikasi ritual dan keyakinan
masyarakat terhadap “Hari keramat” tersebut sangat tinggi.
Benarkah Allah menurunkan 320.000 ribu
bala’?
Dalam masalah ini, Tidak ada nash
Hadits khusus
untuk akhir Rabu bulan Shofar. Yang ada hanya nash Hadits dlo’if yang
menjelaskan bahwa, setiap hari Rabu terakhir dari setiap bulan adalah hari
naas/sial yang terus menerus sebagaimana disebutkan dalam kitab faidul
qodir hal.
64. Dan Hadits
dlo'if yang
diriwayatkan oleh At Thobroni ini
tidak bisa dibuat pijakan kepercayaan.
Namun, menarik ketika ada beberapa ulama
salaf yang termasuk tokoh sufi seperti Syaikh Ad Dairobi dalam kitabnya
Mujarrobat, Syaikh Al Buni dalam kitabnya Al Firdaus, Syaikh Nawawi Al Banteni
dalam kitabnya Nihayatus Zain halaman 63, Syaikh Al Kamil Farid Ad Din dalam
Kitabnya Jawahirul Khomsi halaman 50-51, Syaikh Imam Hamid Al Quds mufti sekaligus
Imam Masjidil Haram Mekah dalam kitabnya Kanzun Najah was Suruur, dan
beberapa ulama lain. Mengatakan bahwa, pada hari Rabu terakhir pada bulan
Shafar, Allah menurunkan 320.000 bala’. Mereka berpendapat kalau hari itu adalah
hari yang tersulit dalam satu tahun, itu kenapa beberapa ulama memberikan
amaliyah khusus untuk menjaga diri atau menolak bala’.
Walaupun amaliyah ini masih belum bisa
dikatagorikan landasan hujjah secara
syar’I, kitab Nihayatus Zain (menulis ayat-ayat khusus, yang kemudian ditaruh
dalam air untuk diminum), Mujarrobat dan Jawahirul Khomsi (sholat empat rokaat
dengan bacaan khusus) menerangkannya secara jelas, amaliyah yang menjadi solusi
ketika Rabu Wekasan tiba.
Sholat Rabu Wekasan disyariatkan?
Praktek sholat pada hari Rabu Wekasan,
ternyata sudah turun temurun dilakukan dibelbagai daerah. Tidak sedikit dari
kaum muslimin yang melakukannya secara berjamaah. Kaifiyah sholat
Rabu Wekasan ini “agak beda” dengan sholat pada umumnya. Yakni, sholat empat
rokaat dengan satu salaman, pada masing-masing rakaat setelah Al Fatihah,
membaca surat Al Kautsar 17 kali, surat Al Ikhlas 5 kali, Al Falaq 1kali, An
Nas 1 kali (pada setiap rakaat), setelah salam membaca doa khusus. Ritual ini
sebagaimana yang terdapat dalam kitab Jawahir
Al Khomis karya Syeikh
Al Kamil Farid Ad Din dan kitab Mujarobat karya Syaikh Ad Dairobi.
Namun, Syeikh Zainuddin murid dari Syeikh
Ibnu Hajar Al Maliki dalam kitab Irsyadul Ibadmengatakan
bahwa, sholat shafar termasuk Bid’ah madzmumah (tercela).
Maka bagi orang yang ingin melaksanakan sholat pada hari itu (bulan Shafar),
hendaknya berniat melaksanakan sholat sunnah mutlak (sholat yang tidak dibatasi
oleh waktu, sebab dan bilangan).
Hasil keputusan Bahtsul Masail PWNU Jatim
1980 M di PP Asem Bagus yang mengacu kepada pendapat atau fatwa dari Roisul
akbar NU Syaikh Hasyim Asy’ari pun mengatakan bahwa, melakukan sholat Shafar
(Rabu Wekasan) tidak boleh, karena tidak ada dalil dan masyru’ah dari
syara’.
Ritual Rabu Wekasan di belbagai daerah
A. Upacara
Rebo Pungkasan Wonokromo Plered ; Rabu Pungkasan (Rabu Wekasan) bagi masyarakat
Yogyakarta memiliki historis tinggi, upacara ritual yang rutin diadakan pada
Rabu akhir pada bulan Shafar di lapangan desa Wonokromo Plered Bantul
Yogyakarta ini berlangsung sejak 1784 M, ada juga mengatakan sudah ada sejak
tahun 1600 M. latar belakang dari upacara ini adalah pertemuan antara Sri
Sultan Hamengkubuwono I dengan Kiai Faqih Utsman, seorang
ulama yang menjadi penasehat spiritual Raja Ngayogyakarta sekaligus tabib (ahli pengobatan)
yang mampu menyembuhkan penyakit yang menyerang warga Wonokromo.
Tempat pertemuan di tempuran Kali Opak dan Kali Gajah Wong.
Di Bantul, Tradisi Rebo
Wekasan atau Rebo Pungkasan dilaksanakan sebagai wujud ungkapan rasa syukur
kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Puncak acara dalam tradisi ini adalah kirab
lemper(makanan yang terbuat dari beras ketan) raksasa berukuran tinggi 2,5
m dengan diameter 45 cm dari Masjid desa Wonokromo menuju Balai Desa Wonokromo. Kirab ini
diawali dengan barisan Kraton Yogyakarta, disusul lemper raksasa, dan kelompok
kesenian rakyat seperti sholawatan, kubrosiswo, rodat dan sebagainya. Lemper
raksasa tersebut dibagikan kepada para undangan yang hadir, sedangkan gunungan
makanan yang lain diperebutkan oleh masyarakat untuk dibawa pulang. Karena
dianggap mempunyai berkah bagi yang bisa membawa pulang. Pergelaran tradisi ini
juga diisi dengan pesta rakyat, berupa pasar malam dan pergelaran seni
tradisional.
B. Ritual
Rabu terakhir di Gresik lain lagi, tradisi yang sudah ada dari ratusan tahun
lalu itu lebih terlihat sebagai acara sebagaimana khaul atau acara pengajian
pada umumnya. Ini tak lain pada hari jadi, di Suci Gresik diadakan acara
selametan dan pengajian umum serta ajang silaturahmi. “Di Suci Gresik, acara
Rabu Wekasan adalah acara silaturahmi” begitu komentar tokoh yang tidak mau
disebutkan namanya. “Jadi ada hikmah besar yang dapat diambil manfaat dalam
perayaan Rabu Wekasan di sini” lanjut beliau.
C. Ngapem, Ngirap dan
Rebo Wekasan, adalah tradisi Saparan Cirebon. Ngapem,
berasal dari kata Apem, yakni kue yang terbuat dari tepung beras yang
difermentasi. Apem dimakan disertai dengan pemanis (Kinca) yang terbuat dari
gula jawa dan santan. Umumnya, masyarakat Cirebon sampai sekarang masih
melakukan ini dengan membagi-bagikan ke tetangga. Ini adalah ungkapan syukur
(Selametan) di bulan Sapar (Jawa)
agar kita terhindar dari malapetaka. Ngirab,
yang artinya bergerak atau menggerakkan sesuatu untuk membuang yang kotor, adalah
adat masyarakat Cirebon mandi di sungai Drajat (petilasan Sunan Kali Jaga).
Dengan menggunakan perahu, mereka ngalap berkah
di sungai yang konon tempat Sunan Kali Jaga membersihkan diri, pada Rebo
Wekasan saat berguru kepada Sunan Gunung Djati. Rebo Wekasan, ritual ini
biasanya terlihat ketika segerombolan anak-anak kecil berkopyah dengan sarung
yang dikalungkan ke badannya ,berkeliling dari rumah ke rumah masyarakat sambil
menyenandungkan nyanyian “Wur
Tawur nyi tawur, selamat dawa umur…” (Bu, bagikanlah sesuatu ke kami, semoga
selalu sehat, aman dan panjang umur..). Yang artinya, selamatlah Anda setelah
hari Rebo terakhir ini. Biasanya, si empu rumah akan menanyakan, “Sing
endi cung?” yang
akan dijawab oleh gerombolan tadi, dari pesantren, kampung atau daerah mereka
tinggal. Ritual unik itu berlangsung sesudah sholat Isya’ sampai Subuh.
D. Rabu
Wekasan di Jember diisi dengan antrian masyarakat mengabil air yang diyakini
memberi berkah. Ini terjadi di desa Wringin Agung Jombang Jember Jawa Timur,
pada hari Rabu terakhir bulan Shafar, masyarakat berduyun-duyun antri di sebuah
gentong mengambil air darinya, yang diberi piring bertuliskan rajah Arab.
Mereka yakin bisa menolak 313.000 bala’.
Di belbagai daerah lain, pada Rabu
Wekasan, masyarakat mengadakan selametan di
musholla dan masjid-masjid desa. Ada yang mengadakannya dengan membaca
istighosah, Yasinan, dan dzikir atau bacaan-bacaan pujian lainnya. Yang jelas,
orientasi mereka hanyalah aplikasi syukur kepada Allah, dan berdoa agar terjaga
dari mara bahaya.
Tentunya, ketika ritual dan tradisi berisi
amaliyah baik yang berkembang di tengah-tengah masyarakat selama tidak
bertentangan dengan Alqur’an, Hadits, Ijma’ dan Atsar bukanlah sebuah bid’ah
yang dlolalah.
Bahkan, menurut Imam Syafi’I, yang ditulis oleh Ibnu Hajar dalam kitab Syarah
Fathul Mubin mengatakan :
َما أَحْدَثَ وَخَالَفَ
كِتاَباً أَوْ سُنَّةً أَوْ إِجْمَاعًا أَوْ أَثَراً فهو البِدْعَة الضَالَّة،
وَما أحْدَثَ مِن الخَيْرِ ولم يُخَالِفْ شَيْئًا من ذَلِكَ فهو البِدْعَة
المَحْمُودَة
“Sesuatu yang bertentangan dengan Alqur’an,
Hadits, Ijma’ dan Atsar adalah bid’ah dlolalah (sesat), sedangkan amaliyah baik
yang tidak bertentangan dengan hal tersebut, maka ia adalah bid’ah yang
mahmudah (terpuji)”. Wallahu
a’lam.
Sumber : koncongopi.blogspot.com