Awal mula
terjadinya khilafiyah umat Islam adalah ketika Rasulullah wafat, oleh Syaikh
Abdul Qahir bin Tahir bin Muhammad Al Baghdady dalam
karyanya : Al Farqu Bainal Firaq hal 12 – 14 di urutkan kronologinya sebagai
berikut :
1. Awal ikhtilaf adalah ketika Rasulullah wafat,
sebagian orang meyakini bahwa beliau tidak wafat, tetapi Allah berkehendak
mengangkat beliau ke sisi-Nya sebagaimana Nabi Isa bin Maryam diangkat ke sisi-NYa,
Namun keyakinan ini bisa hilang ditepis oleh Sayyidina Abu Bakar As Shidiq Ra
dengan membacakan surat az Zumar ayat 30 :
إِنَّكَ مَيِّتٌ وَإِنَّهُمْ مَيِّتُونَ
“Sesungguhnya kamu akan mati dan
sesungguhnya mereka akan mati (pula)”.
Kemudian beliau berkata :
مَنْ كَانَ يَعْبُدُ مُحَمَّدًا فَاِنَّ مُحَمَّدًا قَدْ مَاتَ وَمَنْ
كَانَ يَعْبُدُ رَبَّ مُحَمَّدٍ فَاِنَّهُ حَيٌّ لاَ يَمُوْتُ
“ Barangsiapa yang menyembah Muhammad maka
sesungguhnya Muhammad telah meninggal, Dan barang siapa yang menyembah Tuhannya
Muhammad maka sesungguhnya Dia maha Hidup tidak akan Mati”.
2. Ikhtilaf kedua adalah ketika jenazah Nabi akan
dimakamkan, penduduk Makkah menginginkan agar Nabi dimakamkan di Makkah, karena
Makkah adalah tempat kelahirannya, diangkatnya Muhammad menjadi Rasul, tempat
keturunannya, dan tempat dimakamkan kakeknya yaitu Nabi Ismail AS. Sedangkan
penduduk Madinah menginginkan agar Nabi dimakamkan di Madinah, karena Madinah
sebagai tempat hijrahnya. Sedangkan yang lainnya berkeinginan agar di makamkan
di Baitul Maqdis Palestina disisi Makamnya Nabi Ibrahim Al Kholil As. Namun
khilaf tersebut bisa diatasi oleh Abu Bakar As Shidiq, beliau membacakan hadits
Nabi :
اَنَّ الاَنْبِيَاءَ يُدْفَنُوْنَ حَيْثُ يُقْبَضُوْنَ
“Bahwasanya Para Nabi dimakamkan dimana mereka
diwafatkan”
3. Ikhtilaf ketiga adalah tentang Imamah (pimpinan). Para
sahabat Anshor sepakat dengan baiat (kesepakatan) yang ada pada Sa’ad bin
Ubadah Al Khazraji, kemudian masyarakat Quraisy berpendapat bahwa Imamah harus
orang Quraisy , hal ini disepakati oleh sahabat Anshar sebagaimana sabda Nabi :
اَلاَئِمَةُ مِنْ قُرَيْشٍ
“Kepemimpinan harus dari bani Quraisy”.
Permasalahan ini menjadi khilaf yang berlanjut hingga
saat ini, karena Khawarij menyatakan bahwa boleh Imamah dari selain bani Quraisy.
4. Ikhtilaf keempat adalah tentang tanah fiddak dan
harta peninggalan Rasulullah, namun hal tersebut segera diputuskan oleh abu
bakar berlandaskan hadits nabi Saw :
اِنَّ الاَنْبِيَاءَ لاَ يُوْرَثُوْنَ
“Sesungguhnya harta para Nabi
tidak bisa di waris”
5. Ikhtilaf ke lima adalah tentang orang orang yang
enggan mengeluarkan zakat, kemudian para sahabat sepakat dengan pemikiran Abu Bakar
As Shidiq untuk memerangi mereka (membunuhnya). Yang kemudian dilanjutkan
dengan permasalah Tulaihah yang murtad dan kembali memeluk Islam pada masa
Sayyidina Umar RA, kemudian permasalahan Musailamah al Kadzab dan lainnya yang
mengaku menjadi Nabi yang kemudian di hukum mati. Dilanjutkan dengan membunuh
orang orang yang murtad.
6. Ikhtilaf selanjutnya terjadi setelah perang kepada
negara Rum dan negara asing (‘ajam), dan Allah memberikan kemenangan kepada
mereka. Mereka mulai berselisih tentang permasalahan furu’ (fiqih) seperti
masalah waris, kalalah, dsb.
7. Ikhtilaf selanjutnya terjadi pada masa akhir
pemerintahan Utsman bin Affan, dimana pada saat itu Utsman mengeluarkan beberapa
kebijakan yang oleh sebagian orang Islam dianggap kurang mendapat simpati dari
sebagian kaum muslimin, diantaranya ialah kurang pengawasan dan pengangkatan
terhadap beberapa pejabat penting dalam pemerintahan, sehingga para pelaksana
pemerintahan (para eksekutif) di lapangan tidak bekerja secara maksimal,
diperparah lagi dengan adanya sikap nepotisme dari keluarganya. Utsman banyak
menempatkan para pejabat tersebut dari kalangan keluarganya, sehingga banyak
mengundang protes dari kalangan umat Islam. Dan Inilah bermulanya fitnah yang
membuka kesempatan orang-orang yang berambisi untuk menggulingkan pemerintahan
Utsman. Karena fitnah ini semakin kencang sehingga mengakibatkan terbunuhnya
Sayyidina Utsman bin Affan.
8. Ikhtilaf selanjutnya adalah pada masa Sayyidina
Ali, tentang Perang Jamal, yaitu peperangan yang dipimpin oleh Sayyidah Aisyah
dan dibantu oleh Thalhah bin Abdullah, dan Zubair bin Awam beserta tentaranya
yang menentang pemerintahan Ali dikarenakan membiarkan komplotan pembunuh
Utsman berkeliaran. Dari perang ini Thalhah bin Abdullah, Zubair bin Awam
terbunuh dan Aisyah tertangkap dan dipulangkan ke Madinah. Tentara Aisyah
banyak yang melarikan diri dan menggabungkan diri dengan tentara Mu’awiyah di
Syam, yang sama-sama menentang Ali. Setelah Perang Jamal reda, berlanjutlah
perang Shiffin (37 H) yaitu perseteruan antara tentara Sayyidina Ali dengan
sahabat Mu’awiyah yang tidak mau mengakui kekhalifahan Ali bin Abi Thalib
sehingga terjadi peperangan, yang berakhir dengan tahkim antara kedua belah
pihak.
9. Dari tahkim diperang Shiffin ini, muncul kelompok
Khawarij (golongan yang keluar dan memisahkan diri dari Ali, karena dianggap
tidak berhukum kepada Allah, melainkan kepada manusia yaitu Abu Musa
al-‘Asy’ari dan ‘Amr bin al-‘Ash ), Syi’ah (Golongan yang tetap mendukung Sayyidina
Ali setelah terjadinya tahkim di Perang Shiffin) , Murji’ah (Golongan yang
menyatakan orang orang yang bertikai dari golongan Sayyidina Ali dan Muawiyah
adalah orang yang berdosa besar, sebab sesama muslim saling membunuh ) dan Ahlus
Sunnah wal Jama’ah
10. Penerjemahan buku buku filsafat kedalam bahasa Arab.
Banyak dari golongan tabi’in dan tabi’it tabiin mempelajari filsafat-filsafat
tersebut untuk mengkritisi filsafat-filsafat itu sendiri, dengan tujuan untuk
mempertahankan aqidah Islam. Dari sinilah muncul madzhab ushuliyah seperti Qodariyah, Jabariyah, Mu’tazilah.
Oleh : Ahmad Nur Hadi M.H.I
Tidak ada komentar:
Posting Komentar