Tampilkan postingan dengan label persatuan; sosial; kehidupan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label persatuan; sosial; kehidupan. Tampilkan semua postingan

Rabu, 22 April 2015

Dan Para Petani Tembakau itu Memeluk Cak Nun

Akhirnya saya bersalaman dengan Cak Nun, Emha Ainun Najib itu, di ujung teras Pendopo Kabupaten Temanggung. Saya menyambutnya ketika turun dari Serena warna abu-abu,mencium tangannya, mengiringinya menuju ruang tamu bupati, dan menunggunya ketika dia berbicara dengan Pak Bupati, Pak Kapolres dan Pak Dandim. Kecuali rambut dan kumisnya yang memutih, tak ada yang berubah dari dia: wajahnya, senyumnya, cara berjalannya, masih sama dengan ketika kali pertama saya melihatnya lebih 25 tahun yang silam sewaktu dia berceramah di Kampus ITN, Malang.

Sabtu, 11 April 2015

Kronologi Awal Mula Khilafiyah

Awal mula terjadinya khilafiyah umat Islam adalah ketika Rasulullah wafat, oleh Syaikh Abdul Qahir bin Tahir bin Muhammad Al Baghdady dalam karyanya : Al Farqu Bainal Firaq hal 12 – 14 di urutkan kronologinya sebagai berikut :

Jumat, 03 April 2015

Indonesia Negara Kafir ?

Belakangan ini muncul beberapa kelompok yang menuding bahwa sistem pemerintahan Indonesia adalah kafir (nidlam al-kufr), karena mengadopsi sistem pemerintahan yang lahir di luar Islam. Tudingan itu tampaknya terlalu gegabah. Dalam kesempatan ini penulis ingin mengkaji persoalan tersebut dengan pikiran jernih, tidak emosional, dan mengedepankan maslahat. Pantaskah tudingan kafir dilayangkan hanya karena Indonesia menggunakan sistem demokrasi Pancasila?

Sabtu, 07 Maret 2015

Benarkah Gus Dur Sesat Dengan Paham Pluralismenya ?

Semasa hidup, Gus Dur terkenal sebagai sosok penuh kontroversi. Gaya komunikasinya luwes dan bias menyesuaikan dengan bahasa audiensi. Ketika bicara di hadapan khalayak akademik, bahasa yang digunakan adalah bahasa akademik, dan jika berceramah di hadapan masyarakat pedesaan, bicaranya dengan bahasa mereka. Begitu juga ketika bicara di pesantren. 

Selaku pengajar di Pesantren Ciganjur, tidak jarang saya mendengar ceramahnya yang berbeda dengan kesan di luar. Salah satu hal yang menarik perhatian saya adalah ketika dia mengatakan, ”Sebagai seorang muslim, saya harus yakin bahwa Islam adalah yang paling benar. Saya tidak mungkin menganggap agama orang lain sama-sama benarnya seperti agama saya. Bagaimana mungkin saya menganggap mereka bisa masuk surga seperti saya, la wong mereka menganggap kita-kita ini adalah kaum sesat yang harus diselamatkan.”.

Ungkapan tersebut memang tampak janggal jika disampaikan oleh Gus Dur, sosok yang dikenal sebagai Bapak Pluralisme. Namun begitulah kenyataannya. Ungkapan tersebut tampak begitu polos dan jujur. Merujuk pada pernyataan tersebut, pertanyaan yang muncul adalah konsep pluralisme seperti apa yang dijalani Gus Dur semasa hidupnya?
Bagaimanapun Gus Dur adalah anak biologis dan ideologis kaum santri tulen. Ayah, Ibu, dan kakeknya adalah pemimpin organisasi Islam tradisional terbesar diIndonesia. Mereka lahir dan dewasa dalam lingkungan pesantren, yang sangat kental dengan ajaran agama yang ketat. Meski begitu, Gus Dur dan ayahnya, KH. Wahid Hasyim adalah sosok pembaharu dalam tradisi pesantren dan menguasai khazanah pemikiran Islam klasik dan modern, serta memahami pemikiran Barat. Hingga wafat, Gus Dur juga selalu mengikuti perkembangan dunia kontemporer.
Pluralisme ala Gus Dur
Setidaknya ada tiga ayat Alquran yangselalu dikutip Gus Dur dalam ceramah diPesantren Ciganjur, yaitu: “Tidak ada paksaan dalam agama”; “Bagimu agamamu dan bagiku agamaku”; dan “Agama (yang diridai) di sisi Allah adalah Islam”. Dari ketiga ayat yang sering disampaikan tersebut menunjukkan bahwa Gus Dur memegang teguh dan bersikap konsistens terhadap agamanya, bahkan bisa dibilang, Gus Dur bersikap “intoleransi” dalam berteologi. Namun demikian dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara, Gus Dur menunjukkan sikap yang berbeda. Dia menunjukkan sikap menghormati terhadap pilihan agama dan keyakinan orang lain sebagai realisasi prinsip kebebasan dalam beragama dan berkeyakinan. 
Oleh karena itu, Gus Dur cenderung menunjukkan sikap reaktif terhadap siapa saja, baik individu atau lembaga yang berusaha menghalangi orang lain untuk mencari kebenaran yang diyakininya. Terkait kasus Ahmadiyah, misalnya, Gus Dur menyatakan bahwa Ahmadiyah adalah keliru. Akan tetapi mereka adalah warganegara sah yang harus dilindungi oleh undang-undang. Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa pembelaan dia terhadap kelompok Ahmadiyah lebih pada upaya melindungi kelompok-kelompok dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, bukan membenarkan ajarannya.
Gus Dur juga pernah berpendapat bahwa dirinya tidak setuju terhadap seorang muslim yang menyatakan agama orang lain adalah benar sebagaimana kebenaran agamanya. Beliau lebih suka mengatakan,“Semua agama mengajarkan kebaikan dan kebenaran sesuai keyakinannya".

Dari kedua pendapat tersebut,dia menunjukkan terdapat perbedaan substansial dalam beragama. Dia tidak mau terlibat terlalu jauh ke dalam urusan kebenaran yang diyakinani oleh orang lain tersebut. Sebab, menurut dia, setiap orang akan mempertanggungjawabkan keyakinannya sendiri-sendiri di hadapan Tuhan. Di sini Gus Dur memberi contoh kepada para tokoh muslim maupun non muslim, bagaimana harus bersikap dengan pemeluk agama lain dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dengan tanpa kehilangan identitas dirinya. Dia membedakan secara jelas mana wilayah privat dan mana wilayah publik.

Melalui pandangan dan sikap tersebut,konsep pluralisme yang dijalani oleh GusDur tampak berbeda dengan konsep pluralisme yang digunakan sebagai dasar MUI dalam menetapkan fatwa tentang Pluralisme, Liberalisme, dan Sekularisme. Konsep pluralisme yang dijalani Gus Dur bukan pluralisme dalam pengertian suatu paham yang mengakui semua agama benar.
Akan tetapi, konsep pluralisme yang dijalani Gus Dur lebih dekat pada konsep yang menyatakan bahwa dalam masyarakat terdapat kelompok-kelompok sosial yang mengatur diri sendiri dan saling berhubungan serta berdampingan, namun masing-masing kelompok tersebut mempunyai eksistensi yang berbeda, sebagaimana konsep yang diusulkan oleh J.S. Furnivall (1948) dan dikembangkan oleh L. Kuper dan M. G. Smith (1969). Konsep tersebut lebih terkait dalam pola kehidupan berbangsa dan bernegara secara umum, bukan spesifik dengan urusan agama. 
Dengan demikian, konsep pluralisme yang terkait secara khusus dengan masalah agama, sebagaimana yang digunakan MUI beberapa tahun lalu, perlu dibatasi dalam konsep yang spesifik, yaitu konsep ”pluralisme agama”, sehingga konsep pluralisme tidak mengalami kerancuan makna. Dengan memahami konsep pluralisme yang dijalani Gus Dur tersebut tampak bahwa Gus Dur tidak terjebak dalam konsep pluralisme sempit yang banyak disalahpahami masyarakat, khususnya masyarakat muslim di Indonesia.
Dengan pemahaman pluralisme yang demikian, Gus Dur tampak lebih mengutamakan keutuhan dan kedamaian bangsa dengan tanpa kehilangan identitas dan keyakinannya. Meski dia menganggap agama yang dianutnya paling benar, bukan berarti secara psikologis pergaulannya dengan semua pihak yang beragam latar belakang, baik sosial, budaya, ras, golongan,termasuk agama terhambat demi kemajuan peradaban bangsa. Justru dengan sikap demikian, kita dapat melihat kebesaran Gus Dur. Dia adalah sosok yang memang layak disemati sebagai Bapak Bangsa, Bapak Pluralisme, dan menerima gelar Pahlawan Nasional.
Sumber: Abu Asadillah, Santri Ciganjur

Kamis, 26 Februari 2015

Islam dan Fungsi Keadilan

Oleh: KH. Abdurrahman Wahid

Dalam tulisan-tulisan terdahulu, tampak jelas bahwa Islam tidak mementingkan bentuk kelembagaan, melainkan fungsi-fungsi lembaga. Karena itu, Islam tidak mengenal konsep tentang negara, melainkan tentang fungsi-fungsi negara. Dengan demikian, sebuah konsep negara bangsa (nation-state) menjadi sama nilainya dengan negara Islam. Pentingnya fungsi tersebut, akan dibicarakan dalam tulisan ini. Karenanya, prinsip pentingnya fungsi harus sudah dimiliki ketika membahas tulisan ini.

Sikap ini, tidak berarti Islam memusuhi konsep negara agama, termasuk konsep tentang Negara Islam, melainkan hanya menunjukkan betapa bentuk negara bukanlah sesuatu yang esensial dalam pandangan Islam, karena segala sumber-sumber tekstual (adillah naqliyah) tidak pernah membicarakan bentuk-bentuk negara. Yang selalu dibicarakan adalah berbagai fungsi dari sebuah negara, dan ini mengaharuskan kita untuk membuat telaahan secara mendalam mengenai konsep Negara Islam tersebut. Tanpa telaahan yang mendalam, kita akan bertindak gegabah dan bersikap emosional dalam menyusun konsep tersebut. Hal ini nyata-nyata bertentangan dengan petunjuk tekstual itu sendiri. Kitab suci Al-qur’an telah berfirman: “bertanyalah kepada yang mengerti, jika kalian tidak mengetahui masalah yang dibicarakan” (fa al-as’aluu ahla al-dzikri in kuntum laa ta’lamuun).

Sikap ini, harus di ambil dan dimiliki kaum muslimin, jika mereka ingin menegakkan agama dan menjunjung tinggi ajaran-ajaran-Nya. Sikap emosional itu sendiri, dalam jangka panjang akan sangat merugikan, sedangkan dalam jangka pendek akan menambah keruwetan dalam perjuangan kaum muslimin sendiri. Ini bukan berarti penulis menentang gagasan adanya partai Islam, bahkan menegaskan bahwa parai-partai tersebut harus membuat telaahan tentang Negara Islam, hingga gagasan tersebut benar-benar dapat diterima oleh akal yang sehat dan oleh hati nurani kita sendiri. Hanya dengan sikap seperti itulah, perjuangan kaum muslimin akan membawa hasil yang diharapkan, dan mampu membawa kaum muslimin tersebut kepada pemenuhan tujuan yang diharapkan: “negara yang baik, penuh dengan pengampunan Tuhan” (baldatun tayyibatun wa rabbun ghafur).

*****

Salah satu fungsi negara dalam pandangan Islam, adalah menegakkan keadilan. Firman Allah dalam kitab suci Al-qur’an berbunyi; “wahai orang-orang yang beriman, tegakkah keadilan dan jadilah saksi bagi Allah, walaupun mengenai diri kalian sendiri” (yaa ayyuha al-ladzina amanuu kuunu qawwamiina bi al-qishti syuhada’a lillahi walau ‘ala anfusikum). Jelas di sini, yang diminta adalah fungsi keadilan, bukannya bentuk penyelenggaraan keadilan oleh negara.

Jelas dari ayat ini, Islam lebih mementingkan penyelenggaraan keadilan, dan bukan bentuknya. Adakah keadilan itu mengambil bentuk ditetapkannya hukuman-hukuman pidana, ataukah berupa tender yang independen dan bebas dari permainan orang dalam (insider’s trading), tidaklah menjadi persoalan benar. Yang terpenting adalah berfungsinya keadilan dalam kehidupan sehari-hari. Ini yang harus dipegangi oleh umat Islam dalam menegakkan negara, jika diinginkan kesejahteraan bersama dapat diraih oleh seluruh warga bangsa.

Walaupun agak menyimpang dari pembahasan pokok ayat ini, dapat dikemukakan pendapat Al-‘athmawi, mantan ketua Mahkamah Agung (MA) Mesir, bahwa Hukum Pidana Islam mengenal prinsip menghindari dan menghukum (deterrence and punishment) terhadap/atas pelanggaran-pelanggaran pidana yang terjadi, karenanya setiap hukum yang memuat pinsip ini, termasauk hukum Pidana Barat (Napoleonic Criminal Law) yang berlaku di Mesir saat ini, sudah berarti melaksanakan hukum Pidana Islam tersebut. Memang, terjadi perdebatan sengit tentang pendapat Al-‘athmawi tersebut, tetapi penjelasan di atas menunjukkan besarnya kemungkinan yang dikandung oleh firman Allah di atas dalam penyelenggaraan negara yang sesauai dengan prinsip-prinsip Islam.

Dengan demikian, menjadi jelas bahwa dalam penyelenggaraan kehidupan bernegara, yang terpenting adalah bagaimana keadilan itu dapat diwujudkan, bukannya bentuk negara yang diinginkan. Maka, jelaslah Islam lebih mementingkan fungsi dan bukan bentuk negara, suatu hal yang sering kita lupakan. Karenannya, pembahasan kita selanjutnya lebih baik ditekankan pada fungsi penyelenggaraan pemerintahan dari pada bentuk negara yang diinginkan.

*****

Strategi yang demikian sederhana, ternyata tidak dimengerti banyak orang. Apakah sebabnya? Karena orang lebih mementingkan formalitas sesuatu dari pada fungsinya. Tetapi, Islam juga mempunyai formalitas lain, yaitu pentingnya permusyawaratan/rembugan. Kitab suci Al-qur’an menyatakan; “dan persoalan mereka haruslah di musyawarahkan oleh mereka sendiri” (wa amruhum syura bainahum), berarti secara formal Islam mengharuskan adanya demokrasi. Dalam sistem demokratik yang sebenarnya, suara penduduk yang memilih (voter’s voice) yang menentukan, dalam adagium bahasa latin disebutkan “vox populi vox dei” (suara rakyat adalah suara Tuhan), jelas menunjukkan betapa penting arti demokrasi bagi Islam. Kalau rakyat memilih bukan partai Islam yang memerintah, dengan sendirinya formalitas keadilan juga ikut terkena.

Dalam hal demikian, maka partai-partai Islam dan kaum muslimin haruslah menggunakan prinsip-prinsip yang terkandung dalam ajaran Islam, bukannya bentuk lahiriyyah. Dari pembahasan singkat tentang fungsi keadilan yang harus terwujud dalam pemerintahan sebuah negara, menjadi nyata bagi kita bahwa mereka yang tidak menginginkan Negara Islam, tetapi menuntut pelaksanaan keadilan yang nyata dalam kehidupan, berarti telah melaksanakan ajaran Islam. Karena itu, kita harus mementingkan arti penyelenggaraan keadilan dalam kehidupan kita, sebagai amanat yang harus kita perjuangkan habis-habisan. Justru mereka yang mementingkan formalitas Hukum Islam tetapi melupakan penyelenggaraan keadilan ini, harus dipertanyakan sudah memperjuangkan ajaran Islam-kah atau belum? Sederhana bukan?

Sumber: Duta Masyarakat Baru, Jakarta, 1 Juni 2002

Senin, 16 Februari 2015

Tarik Menarik Agama dan Negara

Oleh : KH. Abdurrahman Wahid
Sejarah Negara-Agama (Teokrasi) memang pernah menjadi bagian panjang dimana era kemajuan peradaban ummat manusia tumbuh, walau di sisi lain terdapat banyak catatan hitam yang menjadi rekam abadi bahwa tak selamanya Agama yang diyakini suci dapat benar-benar bertahan dalam sakralitasnya ketika menjadi bagian integral dari sebuah Negara (kekuasaan), dalam sejarah the dark age, agama (Kristen) yang dipasung oleh dogmatisasi gereja dituding menjadi sebab utama kemunduran barat, saat definisi “kebenaran” dimonopoli oleh otoritas Gereja, kehidupan masyarakat dipenuhi mitos yang menyebabkan mereka semakin larut dalam kejumudan.

Senin, 05 Agustus 2013

Islam, Antara Keshalehan Ritual & Keshalehan Sosial

Tim Sarkub Peduli, Gus Shampton, Ust. Mahbub

Islam diturunkan ke bumi ini adalah untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam, rosululloh SAW membawa risalahnya dengan penuh kasih sayang. Islam mengajar kan kepada kita untuk hidup secara berimbang, antara duniawi dan ukhrowi.

Dalam kenyataan hidup sehari-hari di masyarakat kita sering dibenturkan dengan persoalan yang mendasar dalam melaksanakan dakwah, kemiskinan dan keterting galan, kita sebagai seorang muslim harus pandai-pandai menyampaikan ajaran Islam secara proporsional di tengah-tengah masyarakat yang begitu komplek ini.

Sebuah pemahaman, yang dikatakan sholeh adalah orang yang tekun sholatnya, tidak pernah bolong puasanya ditambah dengan puasa-puasa sunnah, melaksana kan ibadah haji ke tanah suci berkali-kali, wiridannya selalu panjang, pemahaman agama (syariat) sangat mendalam. Pendek kata, keshalehan seseorang diukur de ngan serba legal formal sebagaimana kata ajaran. Dan biasanya, ada-ada saja orang yang merasa memiliki otoritas untuk menilai kadar keimanan seseorang. Ia menjadi semacam tim penilai dan pemeriksa keimanan orang lain.

Jumat, 21 Juni 2013

BERSATU: Berbangsa dan Bersuku Untuk Saling Mengenal

Keberadaan manusia di dunia ini tidak lepas dari adanya SANG MAHA PENCIPTA. Karena manusia ada bukan serta-merta ada, seperti halnya sebuah gelas, gelas tidak akan ada jika tidak ada seseorang yang menciptakannya. Demikian juga dengan manusia. Si pencipta gelas bisa dibuktikan secara kasat mata, namun tidak dengan keberadaan TUHAN. TUHAN tidak bisa dibuktikan secara visual, melainkan dengan kepercayaanlah TUHAN akan ada dan hadir di antara kita. TUHAN adalah maha-zat, adalah satu-satunya hal yang menjadikan semesta raya ini, CAUSA PRIMA! Dan hakikat TUHAN adalah sejati! Tidak pernah dilahirkan dan tidak pernah mati! TUHAN adalah zat yang MAHA SUCI, MAHA dari semua MAHA, dan TUHAN (dengan berbagai cara penyebutannya) bukan milik satu kelompok saja, satu agama tertentu saja. TUHAN ada sebelum dunia ini ada. Sebelum peradaban modern ada. Sebelum manusia-manusia yang mengaku beragama itu ada.