Tampilkan postingan dengan label Tashowwuf. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Tashowwuf. Tampilkan semua postingan

Jumat, 26 Juni 2015

Reresik Wadah

Kalau kau ketik nama Katrin Bandel di google, kau akan temukan sosok tokoh sastra perempuan asal Jerman dengan berbagai karyanya. Di bulan Ramadhan 1436 ini, sebagai santriwati Al-Munawwir Krapyak, ia juga ikut ngaji berbagai kitab, bahkan hingga larut malam. Salah satu kitab yang ia kaji adalah Maraqil ‘Ubudiyyah yang diampu oleh Ustadz As’ad Syamsul ‘Arifin.
Kitab ini sangat populer di kalangan pesantren salaf Nusantara. Ditulis oleh Syaikh Nawawi Banten sebagai penjelasan (syarh) atas kitab Bidayatul Hidayah karya Imam al-Ghazali. Di dalam kitab ini, dijelaskan secara runtut dan praktis adab seorang muslim, baik dalam hal wirid (rutinitas ritual) setiap hari maupun akhlak (tata krama) dala,lm pergaulan.

Kamis, 12 Maret 2015

Tersesat Di Surga

Seorang pemuda, ahli amal ibadah datang ke seorang Sufi. Sang pemuda dengan bangganya mengatakan kalau dirinya sudah melakukan amal ibadah wajib, sunnah, baca Al-Qur’an, berkorban untuk orang lain dan kelak harapan satu satunya adalah masuk syurga dengan tumpukan amalnya. Bahkan sang pemuda tadi malah punya catatan amal baiknya selama ini dalam buku hariannya, dari hari ke hari.
“Saya kira sudah cukup bagus apa yang saya lakukan Tuan…”, Kata si pemuda dengan jumawa.
“Apa yang sudah anda lakukan?”, tanya si Sufi.
“Amal ibadah bekal bagi syurga saya nanti…”, kata si pemuda meledak-ledak.
“Kapan anda menciptakan amal ibadah, kok anda merasa punya?”, sahut sang Sufi.
Pemuda itu diam…lalu berkata, “Bukankah semua itu hasil jerih payah saya sesuai dengan perintah dan larangan Allah?”
“Siapa yang menggerakkan jerih payah dan usahamu itu?”
“Saya sendiri…hmmm….”, jawab sang pemuda itu sambil melipat tangannya.
“Jadi kamu mau masuk syurga sendiri dengan amal-amalmu itu?”
“Jelas dong tuan…”
Sang Sufi mengangguk-ngangguk paham, “Saya nggak jamin kamu bisa masuk ke syurga. Kalau toh masuk kamu malah akan tersesat disana…”
Pemuda itu terkejut bukan main atas ungkapan Sang Sufi. Pemuda itu antara marah dan diam, ingin sekali menampar muka sang sufi.
“Mana mungkin di syurga ada yang tersesat. Jangan-jangan tuan ini ikut aliran sesat…” kata pemuda itu menuding Sang Sufi.
“Kamu benar. Tapi sesat bagi syetan, petunjuk bagi saya….”
“Tolong diperjelas…”
“Begini saja, seluruh amalmu itu seandainya ditolak oleh Allah bagaimana?”
“Lho kenapa?”
“Siapa tahu anda tidak ikhlas dalam menjalankan amal anda?”
“Saya ikhlas kok, sungguh ikhlas. Bahkan setiap keikhlasan saya masih saya ingat semua…”
“Nah, mana mungkin ada orang yang ikhlas, kalau masih mengingat-ingat amal baiknya? Mana mungkin anda ikhlas kalau anda masih mengandalkan amal ibadah anda?
Mana mungkin anda ikhlas kalau anda sudah merasa puas dengan amal anda sekarang ini?”
Pemuda itu duduk lunglai seperti mengalami anti klimaks, pikirannya melayang membayang bagaimana soal tersesat di syurga, soal amal yang tidak diterima, soal ikhlas dan tidak ikhlas.
Dalam kondisi setengah frustrasi, Sang sufi menepuk pundaknya.
“Hai anak muda. Jangan kecewa, jangan putus asa. Kamu cukup istighfar saja. Kalau kamu berambisi masuk syurga itu baik pula. Tapi, kalau kamu tidak bertemu dengan Sang Tuan Pemilik dan Pencipta syurga bagaimana? Kan sama dengan orang masuk rumah orang, lalu anda tidak berjumpa dengan tuan rumah, apakah anda seperti orang linglung atau orang yang bahagia?”
“Saya harus bagaimana tuan…”
“Mulailah menuju Sang Pencipta syurga, maka seluruh nikmatnya akan diberikan kepadamu. Amalmu bukan tiket ke syurga. Tapi ikhlasmu dalam beramal merupakan wadah bagi ridlo dan rahmat-Nya, yang menarik dirimu masuk ke dalamnya…”
Pemuda itu semakin bengong antara tahu dan tidak.
“Begini saja, anak muda. Mana mungkin syurga tanpa Allah, mana mungkin neraka bersama Allah?”
Pemuda itu tetap saja bengong. Mulutnya melongo seperti kerbau.