Tampilkan postingan dengan label Gus Dur. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Gus Dur. Tampilkan semua postingan

Minggu, 23 Agustus 2015

Julukan Semar untuk Gus Dur

Almaghfurllah KH Chamim Jazuli (Gus Miek), tokoh sentral semaan Alquran Mantab, menyebut Gus Dur sebagai tokoh langka yang nyeleneh, kaya ide, dan mengabdikan sepenuh hidupnya untuk rakyat. Gus Miek menjuluki Gus Dur sebagai Semar, tokoh pewayangan berbadan tambun, berkulit hitam, perut buncit, dan berkuluk di kepala.
”Gus, panjenenangan kedah dados Semar. Indonesia butuh tokoh yang bisa menjadi pengayom dan melindungi segenap tumpah darah rakyat.” Begitu pesan Gus Miek berkali-kali setiap bertemu Gus Dur pada 1991-1992.
Saya sempat bertanya kepada Gus Miek, mengapa harus jadi Semar? Kan Gus Dur sudah menjadi ketua umum PB NU yang notabene adalah pemimpin umat yang mengabdikan diri untuk bangsa dan negara? 
Gus Miek menjawab, ”Gus Dur harus menjadi sesepuh bangsa, guru bangsa, bapak bangsa, pejuang rakyat jelata dan kaum tertindas. Gus Dur itu milik semua orang, bukan hanya warga NU. Karena itu, dia harus menjadi Semar.”
Filosofi Semar
Dari berbagai literatur, Semar digambarkan sebagai lambang dunia nyata, mahadewa di dunia bawah. Batara Guru itu mahadewa di dunia atas, penguasa kosmos. Batara Semar penguasa keos. Batara Guru penuh etiket sopan santun tingkat tinggi, Batara Semar sepenuhnya urakan.
Semar memiliki bentuk fisik yang sangat unik. Seolah-olah dia merupakan simbol penggambaran jagat raya. Tubuhnya yang bulat merupakan simbol bumi, tempat tinggal umat manusia dan makhluk lainnya.
Semar selalu tersenyum, tapi bermata sembap. Penggambaran itu merupakan simbol suka dan duka. Bentuk badan Semar juga paradoks, seperti perempuan tapi juga mirip lelaki, kombinasi ketegasan dan kelembutan. Semar adalah seorang hamba, rakyat jelata, buruk rupa, miskin, hitam legam.
Namun, di balik wujud lahir tersebut, tersimpan sifat-sifat mulia. Yakni, mengayomi, melayani umat tanpa pamrih, memecahkan masalah-masalah rumit, sabar, bijaksana, serta penuh humor. Semar adalah pengejawantahan ungkapan Jawa tentang kekuasaan, yakni ”manunggaling kawula-Gusti” (menyatunya hamba-raja).
Seorang pemimpin seharusnya menganut filsafat Semar. Pemimpin di Indonesia harus memadukan antara atas dan bawah, pemimpin dan yang dipimpin, yang diberi kekuasaan dan yang menjadi sasaran kekuasaan, serta kepentingan hukum negara dan kepentingan objek hukum.
Semar menghormati rakyat jelata lebih dari menghormati para dewa pemimpin itu. Semar tidak pernah mengentuti rakyat, tapi kerjanya membuang kentut ke arah para dewa yang telah salah bekerja menjalankan kewajibannya.
Semar itu hakikatnya di atas, tapi eksistensinya di bawah. Seorang pemimpin adalah sebuah paradoks (Kitab Hastabrata atau Delapan Ajaran Dewa). Dia majikan sekaligus pelayan, kaya tapi tidak terikat kekayaannya, tegas dalam keadilan untuk memutuskan mana yang benar dan mana yang salah, namun tetap berkasih sayang.
Ajaran tua tentang kekuasaan politik dimitoskan dalam diri Semar yang paradoks tersebut. Etika kekuasaan itu ada dalam diri tokoh Semar. Dia dewa tua, tapi menjadi hamba. Dia berkuasa, tapi melayani. Dia kasar di kalangan atas, tapi halus di kalangan bawah. Dia kaya raya penguasa semesta, tapi memilih memakan nasi sisa. Dia marah kalau kalangan atas bertindak tidak adil. Dia menyindir dalam bahasa metafora bila yang dilayani berbuat salah.
Tokoh Semar itulah yang mengejawantah ke diri Gus Dur sebagaimana yang diinginkan Gus Miek. Budayawan Dr Sindhunata dalam sebuah seminar di Jogjakarta (Kompas-Online, 1997) juga dengan sangat serius mengasosiasikan tokoh wayang Semar dengan Gus Dur, baik dari sikap-sikap politik maupun fisik.
Menjangkau Masa Depan
Gus Miek memang sejak lama bersahabat dengan Gus Dur, terutama ketika menjelang dan saat berlangsungnya Muktamar NU di Situbondo pada 1984. Bahkan juga dengan almaghfurlah KH Achmad Shiddiq, mantan rais aam PB NU. Saat Munas Ulama NU 1993, tiga tokoh yang juga dikenal sebagai waliyullah itu sering terlibat aktif berdiskusi soal masa depan bangsa.
Pemikiran spektakuler yang mereka hasilkan, antara lain, bentuk negara kesatuan republik Indonesia (NKRI) sudah final dan tidak bisa diganggu gugat. Indonesia harus utuh menjadi negara kesatuan yang wajib dipertahankan eksistensinya oleh setiap muslim. Hasil ijtihad lainnya yang kemudian diputuskan dalam muktamar ke-27 NU adalah Pancasila sebagai satu-satunya asas, yang diikuti dengan kembalinya NU ke khitah 26.
Karena dianggap sukses memimpin NU pada masa peralihan, dari politik praktis menjadi jam’iyah diniyah, Gus Miek kemudian meminta agar Gus Dur menjadi pengayom bangsa. Kelak, kata Gus Miek, bangsa ini mengalami problem besar yang menyentuh seluruh sendi dan aspek kehidupan. Saat itu, diperlukan tokoh yang mampu membawa bangsa keluar dari kemelut multidimensional.
Diperlukan tokoh yang punya pikiran kritis dan cerdas untuk mencari solusi. Gus Dur dianggap mampu oleh Gus Miek seperti halnya Semar. Itu juga diakui Greg Barton. Pemikiran Gus Dur bisa merambah jalan menuju masa depan. Mungkin, Gus Dur masih baru meletakkan dasar-dasar pemikiran di bidang kenegaraan, demokrasi, HAM, keagamaan, dan sebagainya. Kitalah yang harus meneruskan pikiran-pikiran besar itu.
Sumber : Sholihin Hidayat

Sabtu, 07 Maret 2015

Benarkah Gus Dur Sesat Dengan Paham Pluralismenya ?

Semasa hidup, Gus Dur terkenal sebagai sosok penuh kontroversi. Gaya komunikasinya luwes dan bias menyesuaikan dengan bahasa audiensi. Ketika bicara di hadapan khalayak akademik, bahasa yang digunakan adalah bahasa akademik, dan jika berceramah di hadapan masyarakat pedesaan, bicaranya dengan bahasa mereka. Begitu juga ketika bicara di pesantren. 

Selaku pengajar di Pesantren Ciganjur, tidak jarang saya mendengar ceramahnya yang berbeda dengan kesan di luar. Salah satu hal yang menarik perhatian saya adalah ketika dia mengatakan, ”Sebagai seorang muslim, saya harus yakin bahwa Islam adalah yang paling benar. Saya tidak mungkin menganggap agama orang lain sama-sama benarnya seperti agama saya. Bagaimana mungkin saya menganggap mereka bisa masuk surga seperti saya, la wong mereka menganggap kita-kita ini adalah kaum sesat yang harus diselamatkan.”.

Ungkapan tersebut memang tampak janggal jika disampaikan oleh Gus Dur, sosok yang dikenal sebagai Bapak Pluralisme. Namun begitulah kenyataannya. Ungkapan tersebut tampak begitu polos dan jujur. Merujuk pada pernyataan tersebut, pertanyaan yang muncul adalah konsep pluralisme seperti apa yang dijalani Gus Dur semasa hidupnya?
Bagaimanapun Gus Dur adalah anak biologis dan ideologis kaum santri tulen. Ayah, Ibu, dan kakeknya adalah pemimpin organisasi Islam tradisional terbesar diIndonesia. Mereka lahir dan dewasa dalam lingkungan pesantren, yang sangat kental dengan ajaran agama yang ketat. Meski begitu, Gus Dur dan ayahnya, KH. Wahid Hasyim adalah sosok pembaharu dalam tradisi pesantren dan menguasai khazanah pemikiran Islam klasik dan modern, serta memahami pemikiran Barat. Hingga wafat, Gus Dur juga selalu mengikuti perkembangan dunia kontemporer.
Pluralisme ala Gus Dur
Setidaknya ada tiga ayat Alquran yangselalu dikutip Gus Dur dalam ceramah diPesantren Ciganjur, yaitu: “Tidak ada paksaan dalam agama”; “Bagimu agamamu dan bagiku agamaku”; dan “Agama (yang diridai) di sisi Allah adalah Islam”. Dari ketiga ayat yang sering disampaikan tersebut menunjukkan bahwa Gus Dur memegang teguh dan bersikap konsistens terhadap agamanya, bahkan bisa dibilang, Gus Dur bersikap “intoleransi” dalam berteologi. Namun demikian dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara, Gus Dur menunjukkan sikap yang berbeda. Dia menunjukkan sikap menghormati terhadap pilihan agama dan keyakinan orang lain sebagai realisasi prinsip kebebasan dalam beragama dan berkeyakinan. 
Oleh karena itu, Gus Dur cenderung menunjukkan sikap reaktif terhadap siapa saja, baik individu atau lembaga yang berusaha menghalangi orang lain untuk mencari kebenaran yang diyakininya. Terkait kasus Ahmadiyah, misalnya, Gus Dur menyatakan bahwa Ahmadiyah adalah keliru. Akan tetapi mereka adalah warganegara sah yang harus dilindungi oleh undang-undang. Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa pembelaan dia terhadap kelompok Ahmadiyah lebih pada upaya melindungi kelompok-kelompok dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, bukan membenarkan ajarannya.
Gus Dur juga pernah berpendapat bahwa dirinya tidak setuju terhadap seorang muslim yang menyatakan agama orang lain adalah benar sebagaimana kebenaran agamanya. Beliau lebih suka mengatakan,“Semua agama mengajarkan kebaikan dan kebenaran sesuai keyakinannya".

Dari kedua pendapat tersebut,dia menunjukkan terdapat perbedaan substansial dalam beragama. Dia tidak mau terlibat terlalu jauh ke dalam urusan kebenaran yang diyakinani oleh orang lain tersebut. Sebab, menurut dia, setiap orang akan mempertanggungjawabkan keyakinannya sendiri-sendiri di hadapan Tuhan. Di sini Gus Dur memberi contoh kepada para tokoh muslim maupun non muslim, bagaimana harus bersikap dengan pemeluk agama lain dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dengan tanpa kehilangan identitas dirinya. Dia membedakan secara jelas mana wilayah privat dan mana wilayah publik.

Melalui pandangan dan sikap tersebut,konsep pluralisme yang dijalani oleh GusDur tampak berbeda dengan konsep pluralisme yang digunakan sebagai dasar MUI dalam menetapkan fatwa tentang Pluralisme, Liberalisme, dan Sekularisme. Konsep pluralisme yang dijalani Gus Dur bukan pluralisme dalam pengertian suatu paham yang mengakui semua agama benar.
Akan tetapi, konsep pluralisme yang dijalani Gus Dur lebih dekat pada konsep yang menyatakan bahwa dalam masyarakat terdapat kelompok-kelompok sosial yang mengatur diri sendiri dan saling berhubungan serta berdampingan, namun masing-masing kelompok tersebut mempunyai eksistensi yang berbeda, sebagaimana konsep yang diusulkan oleh J.S. Furnivall (1948) dan dikembangkan oleh L. Kuper dan M. G. Smith (1969). Konsep tersebut lebih terkait dalam pola kehidupan berbangsa dan bernegara secara umum, bukan spesifik dengan urusan agama. 
Dengan demikian, konsep pluralisme yang terkait secara khusus dengan masalah agama, sebagaimana yang digunakan MUI beberapa tahun lalu, perlu dibatasi dalam konsep yang spesifik, yaitu konsep ”pluralisme agama”, sehingga konsep pluralisme tidak mengalami kerancuan makna. Dengan memahami konsep pluralisme yang dijalani Gus Dur tersebut tampak bahwa Gus Dur tidak terjebak dalam konsep pluralisme sempit yang banyak disalahpahami masyarakat, khususnya masyarakat muslim di Indonesia.
Dengan pemahaman pluralisme yang demikian, Gus Dur tampak lebih mengutamakan keutuhan dan kedamaian bangsa dengan tanpa kehilangan identitas dan keyakinannya. Meski dia menganggap agama yang dianutnya paling benar, bukan berarti secara psikologis pergaulannya dengan semua pihak yang beragam latar belakang, baik sosial, budaya, ras, golongan,termasuk agama terhambat demi kemajuan peradaban bangsa. Justru dengan sikap demikian, kita dapat melihat kebesaran Gus Dur. Dia adalah sosok yang memang layak disemati sebagai Bapak Bangsa, Bapak Pluralisme, dan menerima gelar Pahlawan Nasional.
Sumber: Abu Asadillah, Santri Ciganjur

Kamis, 26 Februari 2015

Islam dan Fungsi Keadilan

Oleh: KH. Abdurrahman Wahid

Dalam tulisan-tulisan terdahulu, tampak jelas bahwa Islam tidak mementingkan bentuk kelembagaan, melainkan fungsi-fungsi lembaga. Karena itu, Islam tidak mengenal konsep tentang negara, melainkan tentang fungsi-fungsi negara. Dengan demikian, sebuah konsep negara bangsa (nation-state) menjadi sama nilainya dengan negara Islam. Pentingnya fungsi tersebut, akan dibicarakan dalam tulisan ini. Karenanya, prinsip pentingnya fungsi harus sudah dimiliki ketika membahas tulisan ini.

Sikap ini, tidak berarti Islam memusuhi konsep negara agama, termasuk konsep tentang Negara Islam, melainkan hanya menunjukkan betapa bentuk negara bukanlah sesuatu yang esensial dalam pandangan Islam, karena segala sumber-sumber tekstual (adillah naqliyah) tidak pernah membicarakan bentuk-bentuk negara. Yang selalu dibicarakan adalah berbagai fungsi dari sebuah negara, dan ini mengaharuskan kita untuk membuat telaahan secara mendalam mengenai konsep Negara Islam tersebut. Tanpa telaahan yang mendalam, kita akan bertindak gegabah dan bersikap emosional dalam menyusun konsep tersebut. Hal ini nyata-nyata bertentangan dengan petunjuk tekstual itu sendiri. Kitab suci Al-qur’an telah berfirman: “bertanyalah kepada yang mengerti, jika kalian tidak mengetahui masalah yang dibicarakan” (fa al-as’aluu ahla al-dzikri in kuntum laa ta’lamuun).

Sikap ini, harus di ambil dan dimiliki kaum muslimin, jika mereka ingin menegakkan agama dan menjunjung tinggi ajaran-ajaran-Nya. Sikap emosional itu sendiri, dalam jangka panjang akan sangat merugikan, sedangkan dalam jangka pendek akan menambah keruwetan dalam perjuangan kaum muslimin sendiri. Ini bukan berarti penulis menentang gagasan adanya partai Islam, bahkan menegaskan bahwa parai-partai tersebut harus membuat telaahan tentang Negara Islam, hingga gagasan tersebut benar-benar dapat diterima oleh akal yang sehat dan oleh hati nurani kita sendiri. Hanya dengan sikap seperti itulah, perjuangan kaum muslimin akan membawa hasil yang diharapkan, dan mampu membawa kaum muslimin tersebut kepada pemenuhan tujuan yang diharapkan: “negara yang baik, penuh dengan pengampunan Tuhan” (baldatun tayyibatun wa rabbun ghafur).

*****

Salah satu fungsi negara dalam pandangan Islam, adalah menegakkan keadilan. Firman Allah dalam kitab suci Al-qur’an berbunyi; “wahai orang-orang yang beriman, tegakkah keadilan dan jadilah saksi bagi Allah, walaupun mengenai diri kalian sendiri” (yaa ayyuha al-ladzina amanuu kuunu qawwamiina bi al-qishti syuhada’a lillahi walau ‘ala anfusikum). Jelas di sini, yang diminta adalah fungsi keadilan, bukannya bentuk penyelenggaraan keadilan oleh negara.

Jelas dari ayat ini, Islam lebih mementingkan penyelenggaraan keadilan, dan bukan bentuknya. Adakah keadilan itu mengambil bentuk ditetapkannya hukuman-hukuman pidana, ataukah berupa tender yang independen dan bebas dari permainan orang dalam (insider’s trading), tidaklah menjadi persoalan benar. Yang terpenting adalah berfungsinya keadilan dalam kehidupan sehari-hari. Ini yang harus dipegangi oleh umat Islam dalam menegakkan negara, jika diinginkan kesejahteraan bersama dapat diraih oleh seluruh warga bangsa.

Walaupun agak menyimpang dari pembahasan pokok ayat ini, dapat dikemukakan pendapat Al-‘athmawi, mantan ketua Mahkamah Agung (MA) Mesir, bahwa Hukum Pidana Islam mengenal prinsip menghindari dan menghukum (deterrence and punishment) terhadap/atas pelanggaran-pelanggaran pidana yang terjadi, karenanya setiap hukum yang memuat pinsip ini, termasauk hukum Pidana Barat (Napoleonic Criminal Law) yang berlaku di Mesir saat ini, sudah berarti melaksanakan hukum Pidana Islam tersebut. Memang, terjadi perdebatan sengit tentang pendapat Al-‘athmawi tersebut, tetapi penjelasan di atas menunjukkan besarnya kemungkinan yang dikandung oleh firman Allah di atas dalam penyelenggaraan negara yang sesauai dengan prinsip-prinsip Islam.

Dengan demikian, menjadi jelas bahwa dalam penyelenggaraan kehidupan bernegara, yang terpenting adalah bagaimana keadilan itu dapat diwujudkan, bukannya bentuk negara yang diinginkan. Maka, jelaslah Islam lebih mementingkan fungsi dan bukan bentuk negara, suatu hal yang sering kita lupakan. Karenannya, pembahasan kita selanjutnya lebih baik ditekankan pada fungsi penyelenggaraan pemerintahan dari pada bentuk negara yang diinginkan.

*****

Strategi yang demikian sederhana, ternyata tidak dimengerti banyak orang. Apakah sebabnya? Karena orang lebih mementingkan formalitas sesuatu dari pada fungsinya. Tetapi, Islam juga mempunyai formalitas lain, yaitu pentingnya permusyawaratan/rembugan. Kitab suci Al-qur’an menyatakan; “dan persoalan mereka haruslah di musyawarahkan oleh mereka sendiri” (wa amruhum syura bainahum), berarti secara formal Islam mengharuskan adanya demokrasi. Dalam sistem demokratik yang sebenarnya, suara penduduk yang memilih (voter’s voice) yang menentukan, dalam adagium bahasa latin disebutkan “vox populi vox dei” (suara rakyat adalah suara Tuhan), jelas menunjukkan betapa penting arti demokrasi bagi Islam. Kalau rakyat memilih bukan partai Islam yang memerintah, dengan sendirinya formalitas keadilan juga ikut terkena.

Dalam hal demikian, maka partai-partai Islam dan kaum muslimin haruslah menggunakan prinsip-prinsip yang terkandung dalam ajaran Islam, bukannya bentuk lahiriyyah. Dari pembahasan singkat tentang fungsi keadilan yang harus terwujud dalam pemerintahan sebuah negara, menjadi nyata bagi kita bahwa mereka yang tidak menginginkan Negara Islam, tetapi menuntut pelaksanaan keadilan yang nyata dalam kehidupan, berarti telah melaksanakan ajaran Islam. Karena itu, kita harus mementingkan arti penyelenggaraan keadilan dalam kehidupan kita, sebagai amanat yang harus kita perjuangkan habis-habisan. Justru mereka yang mementingkan formalitas Hukum Islam tetapi melupakan penyelenggaraan keadilan ini, harus dipertanyakan sudah memperjuangkan ajaran Islam-kah atau belum? Sederhana bukan?

Sumber: Duta Masyarakat Baru, Jakarta, 1 Juni 2002

Senin, 16 Februari 2015

Tarik Menarik Agama dan Negara

Oleh : KH. Abdurrahman Wahid
Sejarah Negara-Agama (Teokrasi) memang pernah menjadi bagian panjang dimana era kemajuan peradaban ummat manusia tumbuh, walau di sisi lain terdapat banyak catatan hitam yang menjadi rekam abadi bahwa tak selamanya Agama yang diyakini suci dapat benar-benar bertahan dalam sakralitasnya ketika menjadi bagian integral dari sebuah Negara (kekuasaan), dalam sejarah the dark age, agama (Kristen) yang dipasung oleh dogmatisasi gereja dituding menjadi sebab utama kemunduran barat, saat definisi “kebenaran” dimonopoli oleh otoritas Gereja, kehidupan masyarakat dipenuhi mitos yang menyebabkan mereka semakin larut dalam kejumudan.

Rabu, 11 Februari 2015

Mobil Tua Pendukung Kekuatan Mistis-Politik Gus Dur

Mobil Honda Accord bikinan tahun 1983 ini mangkrak tidak lagi digunakan. Tapi mobil tua ini pada paruh kedua dasawarsa 1990-an mencatat sejarah khusus dalam perjalanan hidup KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur dalam menapaki jejak ke tangga kekuasaan menjadi Presiden RI ke-4. Semenjak menjadi Ketua PBNU di Cipasung 1995, dapat dikata keselamatan Gus Dur terancam. 

Selasa, 30 Desember 2014

Gus Dur Santri Habib Ali Alhabsy Kwitang

Sayid Muhamad Alwi Almaliki & Gus Dur
Pada suatu ketika Habibana Al-Walid Habib Abdurrahman bin Ahmad Assegaf Bukit Duri Tebet memanggil muridnya yang paling senior yaitu KH. Fakhrurrozi Ishaq dan Habib Idrus Jamalullail mengenai hal penghinaan yang dilakukan kedua muballigh itu kepada Gus Dur yang pada saat itu telah menjadi Presiden RI ke-4.

Menurut penuturan Ustadz Anto Djibril yang ketika itu hadir di pengajian hari Senin pagi itu Al-Walid bertanya kepada jama'ah yang hadir, "Aina Rozi wa Idrus bin Alwi...?"

Selasa, 22 Oktober 2013

KH. Abdurrahman Wahid: ‘Islam Kaset’ dengan Kebisingannya

gambar dari kompas.com
SUARA bising yang keluar dari kaset biasanya dihubungkan dengan musik kaum remaja. Rock ataupun soul, iringan musiknya dianggap tidak bonafide kalau tidak ramai.

Kalaupun ada unsur keagamaan dalam kaset, biasanya justru dalam bentuk yang lembut. Sekian buah baladanya Trio Bimbo, atau lagu-lagu rohani dari kalangan gereja. Sudah tentu tidak ada yang mau membeli kalau ada kaset berisikan musik agama yang berdentang-dentang, dengan teriakan yang tidak mudah dimengerti apa maksudnya.

Tetapi ternyata ada “persembahan” berirama, yang menampilkan suara lantang. Bukan musik keagamaan, tetapi justru bagian integral dari upacara keagamaan: berjenis-jenis seruan untuk beribadat, dilontarkan dari menara-menara masjid dan atap surau.

Jumat, 16 Agustus 2013

Dialog Gus Dur vs Santri


Sebelum Gus Dur wafat, Beliau pernah berdialog dengan salah seorang santrinya, berikut isi dialog tersebut..

Santri : "Ini semua gara-gara Nabi Adam, ya Gus!"

Gus Dur : "Loh, kok tiba-tiba menyalahkan Nabi Adam, kenapa Kang."

Santri : "Lah iya, Gus. Gara-gara Nabi Adam dulu makan buah terlarang, kita sekarang merana. Kalau Nabi Adam dulu enggak tergoda Iblis kan kita anak cucunya ini tetap di surga. Enggak kayak sekarang, sudah tinggal di bumi, eh ditakdirkan hidup di Negara terkorup, sudah begitu jadi orang miskin pula. Emang seenak apa sih rasanya buah itu, Gus?"

Gus Dur : "Ya tidak tahu lah, saya kan juga belum pernah nyicip. Tapi ini sih bukan soal rasa. Ini soal khasiatnya."

Santri : "Kayak obat kuat aja pake khasiat segala. Emang Iblis bilang khasiatnya apa sih, Gus? Kok Nabi Adam bisa sampai tergoda?"