Inilah kisah kiai kampung. Kebetulan kiai kampung ini menjadi
imam musholla dan sekaligus pengurus ranting NU di desanya. Suatu ketika
didatangi seorang tamu yang pernah mengenyam pendidikan di Timur Tengah. Tamu
itu begitu PD (Percaya Diri), karena merasa mendapat legitimasi akademik, plus
telah belajar Islam di tempat asalnya. Sedang yang dihadapi hanya kiai kampung,
yang lulusan pesantren salaf.
Tentu saja, tujuan
utama tamu itu mendatangi kiai untuk mengajak debat dan berdiskusi seputar
persoalan keagamaan kiai. Santri liberal ini langsung menyerang sang kiai:
“Sudahlah Kiai tinggalkan kitab-kitab kuning (turats) itu, karena itu hanya
karangan ulama kok. Kembali saja kepada al-Qur’an dan hadits,” ujar santri itu
dengan nada menantang. Belum sempat menjawab, kiai kampung itu dicecar dengan
pertanyaan berikutnya. “Mengapa kiai kalau dzikir kok dengan suara keras dan
pakai menggoyangkan kepala ke kiri dan ke kanan segala. Kan itu semua tidak
pernah terjadi pada jaman nabi dan berarti itu perbuatan bid’ah,” kilahnya
dengan nada yakin dan semangat.