Jumat, 27 Februari 2015

Kisah Tempayan yang Bocor

Seorang tukang air memiliki dua tempayan besar, masing-masing bergantung pada kedua ujung sebuah pikulan yang dibawa menyilang pada bahunya. Satu dari tempayan itu retak, sedangkan tempayan satunya lagi tidak. Tempayan yang utuh selalu dapat membawa air penuh, walaupun melewati perjalanan yang panjang dari mata air ke rumah majikannya. Tempayan retak itu hanya dapat membawa air setengah penuh.
Hal ini terjadi setiap hari selama dua tahun. Si tukang air hanya dapat membawa satu setengah tempayan air ke rumah majikannya. Tentu saja si tempayan utuh merasa bangga akan prestasinya karena dapat menunaikan tugas dengan sempurna. Di pihak lain, si tempayan retak merasa malu sekali akan ketidaksempurnaanya dan merasa sedih sebab ia hanya dapat memberikan setengah dari porsi yang seharusnya ia dapat berikan.
Setelah dua tahun tertekan oleh kegagalan pahit ini, tempayan retak berkata kepada si tukang air, "Saya sungguh malu kepada diri saya sendiri dan saya mohon maaf yang sebesar-besarnya".
"Mengapa?" tanya si tukang air, "Mengapa kamu merasa malu ?" Saya hanya mampu, selama dua tahun ini, membawa setengah porsi air dari yang seharusnya dapat saya bawa. Adanya retakan pada sisi saya telah membuat air yang saya bawa bocor sepanjang jalan menuju rumah majikan kita. Karena cacatku itu, saya telah membuatmu rugi."
Si tukang air merasa kasihan kepada si tempayan retak, dan dalam belas kasihannya, ia menjawab," Jika kita kembali ke rumah majikan besok, aku ingin kamu memperhatikan sisi di sepanjang jalan."
Benar, ketika mereka naik ke bukit, si tempayan retak memperhatikan dan baru menyadari bahwa ada bunga-bunga indah di sepanjang sisi jalan dan itu membuatnya sedikit terhibur. Namun pada akhir perjalanan, ia kembali merasa sedih karena separuh air yang dibawanya telah bocor dan kembali tempayan retak itu meminta maaf kepada si tukang air atas kegagalannya.
Si tukang air berkata kepada tempayan itu, "Apakah kamu tidak memperhatikan adanya bunga-bunga di sepanjang jalan di sisimu ? tapi tidak ada bunga di sepanjang jalan di sisi tempayan lain yang tidak retak itu ?" Itu karena aku selalu menyadari akan cacatmu dan aku memanfaatkannya. Aku telah menanam benih-benih bunga di sepanjang jalan di sisimu dan setiap hari jika kita berjalan pulang dari mata air, kamu mengairi benih-benih itu. Selama dua tahun ini, aku telah dapat memetik bunga-bunga indah itu untuk menghias meja majikan kita. Tanpa adanya kamu , majikan kita tidak akan dapat menghias rumahnya seindah sekarang."
Jadi kadang kita berpikir bahwa kita tidak berguna, namun sebenarnya kita telah melakukan sesuatu yang sangat indah dan berguna tanpa kita sadari.

Kisah ini sekaligus bisa menjadi motivasi kita agar tidak berlarut-larut menyesali kekurangan, terus berusaha memperbaiki diri dan pantang menyerah dalam menghadapi apapun. Semua hal pasti ada hikmah yang kita belum tahu, hanya kepada Allah SWT kita berpasrah. Sikap tersebut merupakan pengejawentahan firman Allah SWT yang artinya :
“.. Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu. Allah Mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui”

(QS. al-Baqarah [2]: 216)

WaLlahu a'lam.

Kamis, 26 Februari 2015

Islam dan Fungsi Keadilan

Oleh: KH. Abdurrahman Wahid

Dalam tulisan-tulisan terdahulu, tampak jelas bahwa Islam tidak mementingkan bentuk kelembagaan, melainkan fungsi-fungsi lembaga. Karena itu, Islam tidak mengenal konsep tentang negara, melainkan tentang fungsi-fungsi negara. Dengan demikian, sebuah konsep negara bangsa (nation-state) menjadi sama nilainya dengan negara Islam. Pentingnya fungsi tersebut, akan dibicarakan dalam tulisan ini. Karenanya, prinsip pentingnya fungsi harus sudah dimiliki ketika membahas tulisan ini.

Sikap ini, tidak berarti Islam memusuhi konsep negara agama, termasuk konsep tentang Negara Islam, melainkan hanya menunjukkan betapa bentuk negara bukanlah sesuatu yang esensial dalam pandangan Islam, karena segala sumber-sumber tekstual (adillah naqliyah) tidak pernah membicarakan bentuk-bentuk negara. Yang selalu dibicarakan adalah berbagai fungsi dari sebuah negara, dan ini mengaharuskan kita untuk membuat telaahan secara mendalam mengenai konsep Negara Islam tersebut. Tanpa telaahan yang mendalam, kita akan bertindak gegabah dan bersikap emosional dalam menyusun konsep tersebut. Hal ini nyata-nyata bertentangan dengan petunjuk tekstual itu sendiri. Kitab suci Al-qur’an telah berfirman: “bertanyalah kepada yang mengerti, jika kalian tidak mengetahui masalah yang dibicarakan” (fa al-as’aluu ahla al-dzikri in kuntum laa ta’lamuun).

Sikap ini, harus di ambil dan dimiliki kaum muslimin, jika mereka ingin menegakkan agama dan menjunjung tinggi ajaran-ajaran-Nya. Sikap emosional itu sendiri, dalam jangka panjang akan sangat merugikan, sedangkan dalam jangka pendek akan menambah keruwetan dalam perjuangan kaum muslimin sendiri. Ini bukan berarti penulis menentang gagasan adanya partai Islam, bahkan menegaskan bahwa parai-partai tersebut harus membuat telaahan tentang Negara Islam, hingga gagasan tersebut benar-benar dapat diterima oleh akal yang sehat dan oleh hati nurani kita sendiri. Hanya dengan sikap seperti itulah, perjuangan kaum muslimin akan membawa hasil yang diharapkan, dan mampu membawa kaum muslimin tersebut kepada pemenuhan tujuan yang diharapkan: “negara yang baik, penuh dengan pengampunan Tuhan” (baldatun tayyibatun wa rabbun ghafur).

*****

Salah satu fungsi negara dalam pandangan Islam, adalah menegakkan keadilan. Firman Allah dalam kitab suci Al-qur’an berbunyi; “wahai orang-orang yang beriman, tegakkah keadilan dan jadilah saksi bagi Allah, walaupun mengenai diri kalian sendiri” (yaa ayyuha al-ladzina amanuu kuunu qawwamiina bi al-qishti syuhada’a lillahi walau ‘ala anfusikum). Jelas di sini, yang diminta adalah fungsi keadilan, bukannya bentuk penyelenggaraan keadilan oleh negara.

Jelas dari ayat ini, Islam lebih mementingkan penyelenggaraan keadilan, dan bukan bentuknya. Adakah keadilan itu mengambil bentuk ditetapkannya hukuman-hukuman pidana, ataukah berupa tender yang independen dan bebas dari permainan orang dalam (insider’s trading), tidaklah menjadi persoalan benar. Yang terpenting adalah berfungsinya keadilan dalam kehidupan sehari-hari. Ini yang harus dipegangi oleh umat Islam dalam menegakkan negara, jika diinginkan kesejahteraan bersama dapat diraih oleh seluruh warga bangsa.

Walaupun agak menyimpang dari pembahasan pokok ayat ini, dapat dikemukakan pendapat Al-‘athmawi, mantan ketua Mahkamah Agung (MA) Mesir, bahwa Hukum Pidana Islam mengenal prinsip menghindari dan menghukum (deterrence and punishment) terhadap/atas pelanggaran-pelanggaran pidana yang terjadi, karenanya setiap hukum yang memuat pinsip ini, termasauk hukum Pidana Barat (Napoleonic Criminal Law) yang berlaku di Mesir saat ini, sudah berarti melaksanakan hukum Pidana Islam tersebut. Memang, terjadi perdebatan sengit tentang pendapat Al-‘athmawi tersebut, tetapi penjelasan di atas menunjukkan besarnya kemungkinan yang dikandung oleh firman Allah di atas dalam penyelenggaraan negara yang sesauai dengan prinsip-prinsip Islam.

Dengan demikian, menjadi jelas bahwa dalam penyelenggaraan kehidupan bernegara, yang terpenting adalah bagaimana keadilan itu dapat diwujudkan, bukannya bentuk negara yang diinginkan. Maka, jelaslah Islam lebih mementingkan fungsi dan bukan bentuk negara, suatu hal yang sering kita lupakan. Karenannya, pembahasan kita selanjutnya lebih baik ditekankan pada fungsi penyelenggaraan pemerintahan dari pada bentuk negara yang diinginkan.

*****

Strategi yang demikian sederhana, ternyata tidak dimengerti banyak orang. Apakah sebabnya? Karena orang lebih mementingkan formalitas sesuatu dari pada fungsinya. Tetapi, Islam juga mempunyai formalitas lain, yaitu pentingnya permusyawaratan/rembugan. Kitab suci Al-qur’an menyatakan; “dan persoalan mereka haruslah di musyawarahkan oleh mereka sendiri” (wa amruhum syura bainahum), berarti secara formal Islam mengharuskan adanya demokrasi. Dalam sistem demokratik yang sebenarnya, suara penduduk yang memilih (voter’s voice) yang menentukan, dalam adagium bahasa latin disebutkan “vox populi vox dei” (suara rakyat adalah suara Tuhan), jelas menunjukkan betapa penting arti demokrasi bagi Islam. Kalau rakyat memilih bukan partai Islam yang memerintah, dengan sendirinya formalitas keadilan juga ikut terkena.

Dalam hal demikian, maka partai-partai Islam dan kaum muslimin haruslah menggunakan prinsip-prinsip yang terkandung dalam ajaran Islam, bukannya bentuk lahiriyyah. Dari pembahasan singkat tentang fungsi keadilan yang harus terwujud dalam pemerintahan sebuah negara, menjadi nyata bagi kita bahwa mereka yang tidak menginginkan Negara Islam, tetapi menuntut pelaksanaan keadilan yang nyata dalam kehidupan, berarti telah melaksanakan ajaran Islam. Karena itu, kita harus mementingkan arti penyelenggaraan keadilan dalam kehidupan kita, sebagai amanat yang harus kita perjuangkan habis-habisan. Justru mereka yang mementingkan formalitas Hukum Islam tetapi melupakan penyelenggaraan keadilan ini, harus dipertanyakan sudah memperjuangkan ajaran Islam-kah atau belum? Sederhana bukan?

Sumber: Duta Masyarakat Baru, Jakarta, 1 Juni 2002

Rabu, 25 Februari 2015

Sekelumit Kitab Faidhur Rahman Karya KH. Sholeh Darat, Semarang (Bagian 1)

      Prof. DR. HM. Muchoyyar, HS, MA (*) dalam pidato pengukuhan di IAIN Walisongo memaparkan, suatu hari KH. M. Shaleh Darat mengajar Agama Islam (tafsir Al-Qur'an) dengan bahasa Jawa di kalangan keluarga Bupati Demak. Diantara yang hadir pada majlis ta'lim itu Raden Ajeng Kartini yang masih keluarga dekat (Keponakan) dengan Kanjeng Bupati Demak.

      Begitu mengesankan ceramah agama tentang surat al-Fatihah yang disampaikan ulama Jawa ini sehingga R.A. Kartini memesan dan meminta secara khusus kitab terjemah tafsir al-Qur'an.

      Kartini mempelajarinya secara serius kado kitab terjemah tafsir al-Qur'an., hampir di setiap waktu luangnya. Kyai Sholeh telah membawa Kartini ke perjalanan transformasi spiritual. Pandangan Kartini tentang Islam semakin dalam. 

      Penulis mencoba menulis secara singkat Tafsir Al-Fatihah yang membuka pintu hati Kartini mempelajari Islam. Diterjemahkan dari Kitab Faidhur-Rahman. Kitab ini mulai ditulis pada tanggal 20 Rajab 1309 H, selesai ditulis pada tanggal  7 Muharram 1311 H atau 1893 M.

      Kiai Salah Darat memulai dengan tafsir bismillaahirrahmaanirrahiim. Semua makhluk mendapat sifat rahman Allah SWT. Maka semua makhluk seharusnya juga memiliki jiwa  atau sifat rahman (kasih sayang). Firman Allah ta’ala bil mu’miniina ra’uufun rahim (artinya dalam diri orang-orang mukmin itu terdapat jiwa belas kasihan dan penyayang). 

      Sebagaimana perilaku yang telah dicontohkan Allah, maka seyogyanya setiap orang mukmin memiliki sifat welas asih terhadap sesama. Wajib welas asih itu terhadap diri sendiri dan orang lain. Sifat welas kasih itu umum, dalam arti bisa keluar dari Allah dan sesama makhluk. Karena hewan juga punya welas kasih terhadap anaknya dengan menyuapinya makanan. 

      Adapun welas asihi  atau mengasihi diri sendiri itu meliputi 2 (dua) perkara:Pertama welas asih rohaninya. Dan kedua welas asih jasmaninya. Kesempurnaan manusia itu disebut insan kamil. Isyarat wujudnya insal kamil adalah Nabi Muhammad SAW. Sebagaimana firman Allah SWT Wamaa arsalnaaka illaa rahmatan lil ‘alamin (artinya tidak diutus engkau Muhammad kecuali sebagai rahmat bagi alam semesta) . 

      Semua manusia memuji Allah SWT dengan puji syukur :Alhamdulillahi. Ketahuilah sesungguhnya kalimat alhamdulillah itu kalimat yang mulia dan agung fadhilahnya atau keutamaannya. Memiliki filosofi tinggi dalam kehidupan. 

      Nikmat-nikmat yang diberikan Allah itu kepada hambaNya amatlah banyak, tidak terhitung. Maka akan sempurna kenikmatan seseorang meliputi jasman dan rohaninya. Berupa kenikmatan jasmani seperti harta benda, kesehatan, keamanan. Termasuk dalam makna bersyukur dengan anggota badan ialah sholat. Nikmat yang bersifat rohani antara lain: roh, akal, dan pikiran

      Dalam sebuah hikayat, Syaikh Sirri Asqatho menyampaikan waktu terjadi kebakaran besar di kota Baghdad, terbakar hampir semua toko dan rumah penduduknya, katanya:” Tokoku tidak terbakar, maka aku mengucapkan alhamdulillah, senang tokoku tidak terbakar, padahal toko orang lain banyak yang terbakar”, maka Sirri selama tiga puluh tahun taubat kepada Allah.. Ahli agama dan ahli muru'ah (orang yang bermartabat) tidak merasa senang tokonya tidak terbakar sedangkan toko orang lain terbakar. Maka katanya:”kemudian  saya selama tiga puluh tahun istighfar berdoa memohon ampun masalah tersebut.”.   

      Robbil ‘alamin Ar-Rahmaanirrohiim. Allah pencipta alam semesta  atau ‘aalamiin, semua itu diciptakan Tuhan yang terdiri dari berbagai-bagai jenis dan macam, seperti: alam manusia, alam hewan, alam tumbuh-tumbuhan, benda-benda mati dan sebagainya. Ar-Rahman adalah sifat kasih sayang Allah yang diberikan kepada semua makhluk-Nya. Sifat Allah yang Maha Pengasih ini dapat kita rasakan di setiap waktu, disetiap helaan nafas dan sepanjang hayat kita. Salah satu contoh kecil dari kasih Allah yang dapat kita rasakan itu adalah seperti nikmat hidup.  Kita semua di izinkan untuk hidup di bumi Allah, yang telah dilengkapi oleh Allah fasilitas yang menunjang kehidupan kita, seperti dikasih udara, air, api, tumbuhan dan binatang. 

      Ar-Rahiim adalah sifat kasih sayang Allah yang khusus hanya diberikan kepada mereka yang bertakwa. Kasih sayang ini berupa nikmat iman dan pahala yang diberikan Allah kepada mereka yang bertakwa atas amal perbuatan mereka. Pahala ini tidak akan pernah diberikan kepada mereka yang tidak bertakwa/ingkar, meskipun mereka melakukan amal perbuatan yang sama dengan orang yang bertakwa.


      Allah berfirman: Ana Ar-Rahiim Karena kalian ibadah kepadaKu meskipun sebentar, Aku welas kasih kepadamu dengan memasukkanmu ke surga yang mulia, langgeng sesuai amalmu. Makna ar-rahman adalah kemurahan Allah terhadap orang mukmin dan lainnya. Tidak ada makhluk yang dapat memberikan sehat/waras, taufiq, rizki, dan derajat. Karena sesungguhnya itu semua datang karena Allah. Manusia tidak bisa menjamin kewarasan dan anaknya bisa kaya. Berbeda maknanya dengan ar-rahim, yaitu welas kasih Allah khusus untuk orang mukmin yang diberikannya taufiq tha’at, taufiq shabar, makrifat tauhid, dll.  Ar Rahman adalah sifat Allah yang berarti pemberi nikmat kepada seluruh makhluk, dari mulai nikmat penciptaan sampai nikmat pemeliharaan. Ar-Rahim adalah sifat Allah yang berarti pemberi nikmat khusus berupa karunia iman dan taat beribadah.

Bersambung....

*Penulis adalah 
Pimpinan Pesantren Budaya Asmaulhusna (Sambua) Lasem

Rabu, 18 Februari 2015

7 Kitab Dasar yang Diajarkan di Pesantren

Sebagai Mahasiswa Universitas Menyan Indonesia, dalam menghalau virus Wahabi, harus tahu seluk-beluk suatu dalil, baik ayat Qur'an, Hadits maupun qoul-qoul Ulama. Untuk itu Mahasiswa Universitas Menyan Indonesia perlu mempelajari berbagai macam kitab yang biasanya jadi sumber rujukan keilmuannya. Biasanya di Indonesia, pesantren-pesantren Aswaja khususnya, selalu mempelajari berbagai macam kitab, yang kalau di masyarakat kita, dikenal dengan kitab kuning. Disebut demikian karena warna lembarannya berwarna kuning lapuk. Kitab-kitab tersebut berbahasa Arab dan dikarang oleh Masyayih yang keilmuannya mu'tabar dan sanad keilmuannya bersambung sampai Rasulullah SAW.

Dalam dunia pesantren khususnya pesantren salaf, kitab kuning tersebut menjadi rujukan utama. Yang menarik, kitab kuning yang diajarkan telah memiliki umur yang cukup lama, hingga ratusan tahun tetap terjaga keasliannya. Berikut akan kami share tujuh kitab dasar yang dipelajari di pesantren salaf dari berbagai macam cabang ilmu agama.

1. Kitab Al-Jurumiyah
    Salah satu kitab dasar yang mempelajari ilmu nahwu. Setiap santri yang menginginkan belajar kitab kuning wajib belajar dan memahami kitab ini terlebih dahulu. Karena tidak mungkin bisa membaca kitab kuning tanpa belajar kitab Jurumiyah, ppedoman dasar dalam ilmu nahwu. Adapun tingkatan selanjutnya setelah Jurumiyah adalah Imrithi, Mutamimah, dan yang paling tinggi adalah Alfiyah. Al-Jurumiyah dikarang oleh Syekh Sonhaji dengan memaparkan berbagai bagian di dalamnya yang sistematis dan mudah dipahami.

    2. Kitab  Amtsilah At-Tashrifiyah
      Jika nahwu adalah ibunya, maka shorof bapaknya. Begitulah hubungan kesinambungan antara dua jenis ilmu itu. Keduanya tak bisa dipisahkan satu sama yang lainnya dalam mempelajari kitab kuning. Salah satu kitab yang paling dasar dalam mempelajari ilmu shorof adalah Kitab Amtsilah Tashrifiyah yang dikarang salah satu ulama Indonesia, beliau KH. Ma’shum ‘Aly dari Jombang. Kitab tersebut sangat mudah dihafalkan karena disusun secara rapi dan bisa dilagukan dengan indah.
        3. Kitab Mushtholah Al-hadits
          Kitab dasar selanjutnya adalah Kitab Mushtholah Al-Hadits yang mempelajari ilmu mengenai seluk beluk ilmu hadits. Mulai dari macam-macam hadits, kriteria hadits, syarat orang yang berhak meriwayatkan hadits dan lain-lain dapat dijadikan bukti kevalidan suatu matan hadits. Kitab ini dikarang oleh al-Qodhi abu Muhammad ar-Romahurmuzi yang mendapatkan perintah dari Kholifah Umar bin Abdul Aziz karena pada waktu itu banyak orang yang meriwayatkan hadist-hadist palsu.

          4. Kitab Arba’in Nawawi
            Pada kitab yang telah disebutkan di atas merupakan kitab dasar dalam menspesifikasikan kedudukan hadits. Berbeda lagi dengan kitab matan hadits yang harus dipelajari di dunia pesantren, yaitu Kitab Arba’in Nawawi karangan Abu Zakariya Yahya bin Syaraf bin Murri Al Nizami An-Nawawi yang berisi 42 matan hadits. Selain itu beliau juga mengarang berbagai kitab antara lain Riyadhus Sholihin,  Al-Adzkar, Minhajut Tholibin, Syarh Muslim, dan lain-lain. Muatan tema yang dihimpun dalam kitab ini meliputi dasar-dasar agama, hukum, muamalah, dan akhlak

            5. Kitab At-Taqrib
              Fiqh merupakan hasil turunan dari Al-Quran dan Al-Hadist setelah melalui berbagai paduan dalam ushul fiqh. Kitab Taqrib yang dikarang oleh Al-Qodhi Abu Syuja’ Ahmad bin Husain bin Ahmad Al-Ashfahaniy adalah kitab fiqh yang menjadi rujukan dasar dalam mempelajari ilmu fiqh. Di atas Kitab Taqrib ada Kitab Fathul Qorib, Tausyaikh, Fathul Mu’in, dan semuanya itu syarah atau penjelasan dari At-Taqrib.

              6. Kitab Aqidatul Awam
                Hal mendasar dalam agama adalah kepercayaan atau aqidah. Apabila aqidah sudah mantap, kuat dan benar maka dalam menjalani syariat agama tidak akan menyeleweng dari aturan syariat yang telah ditentukan. Kitab dasar aqidah yang dipelajari dipesantren adalah kitab Aqidatul Awam karangan Syaikh Ahmad Marzuqi Al-Maliki berisi 57 bait nadzom. Kitab ini dikarang atas perintah Rasulullah yang mendatangi sang pengarang melalui mimpinya. Hingga beliau mampu menyelesaikan kitab tersebut sebagai acuan sumber literasi ilmu Aqidah di berbagai tempat.

                7. Kitab Ta’limul Muta’alim
                  Sepandai apapun manusia serta sebanyak apapun ilmu yang dikuasainya, semuanya tidak akan bisa menghasilkan sarinya ilmu tanpa adanya akhlaq. Hal dasar bagi para pencari ilmu agar ilmunya manfaat dan barokah adalah harus mengutamakan akhlaq. Kitab dasar yang menerangkan mengenai akhlaq di dunia pesantren adalah kitab Ta’limul-Muta’alim karangan Syaikh Burhanuddin Az-Zarnuji. Setiap awal proses belajar di pesantren sesuai adatnya pasti mempelajari kitab ini ataupun kitab lain yang seakar dengan Ta’limul Muta’alim, seperti kitab Adabul ‘alim wal Muta’alim karangan ulama’ besar Indonesia, Pahlawan Nasional sekaligus pendiri jam’iyah Nahdlatul Ulama, Hadratus Syekh KH Hasyim Asy’ari. Kedua kitab ini pun juga menjadi kurikulum wajib bagi pesantren yang ada di Indonesia bahkan hingga luar negeri.

                  Sungguh kaya khazanah ilmu pengetahuan Islam yang ada di dunia pesantren. Ada sekitar 200 judul kitab dipelajari di pesantren menurut data yang pernah dikemukakan oleh Gus Dur. Kalangan pesantren terus berupaya agar kebudayaan pesantren ini dapat eksis di tengah perubahan zaman dan globalisasi. Literasi kebudayaan salaf ini mampu menunjukkan kiprah para ulama sebagai warotsatul ambiya’ (pewaris para Nabi). Wallahua’lam bishshowab.


                  Penulis :
                  Faiz Ainur Razi, mahasiswa Unesa (Surabaya), alumni Pondok Pesantren Tebuireng
                  Diedit seperlunya untuk Universitas Menyan Indonesia oleh Fahmi Ali N. H.