Menurut Syekh Ibnu Atha’illah, dzikir adalah melepaskan diri dari kelalaian dengan selalu menghadirkan kalbu bersama al-Haqq (Allah). Pendapat lain mengatakan bahwa dzikir adalah mengulang-ulang nama Allah dalam hati maupun melalui lisan. Hal tersebut bisa dilakukan dengan mengingat lafal jalalah (Allah), sifat-Nya, hukum-Nya, perbuatan-Nya atau suatu tindakan yang serupa. Dzikir bisa pula berupa doa, mengingat para rasul-Nya, nabi-Nya,wali-Nya, dan orang-orang yang memiliki kedekatan dengan-Nya, serta bisa pula berupa takarub kepada-Nya melalui sarana dan perbuatan tertentu seperti membaca, mengingat, bersyair, menyanyi, ceramah, dan bercerita.
Sabtu, 31 Desember 2016
Senin, 26 Desember 2016
Memahami Isyarat Cinta ILAHI
Syekh Abdul Qadir Al-Jailani mengatakan, “Wahai anak muda! Waspadalah jika Allah melihat di dalam hatimu ada selain Diri-Nya. Waspadalah bahwa Allah melihat di dalam hatimu ada rasa takut kepada selain Diri-Nya, ada harapan kepada selain-Nya, dan ada kecintaan kepada selain kepada-Nya.
Maka, hendaklah engkau berusaha membersihkan kalbumu dari selain Diri-Nya. Hendaklah engkau tidak memandang kemudaratan ataupun manfaat kecuali bahwa itu datang dari Allah. Engkau selalu dalam rumah-Nya dan menjadi tamu-Nya.
Wahai anak muda! Ingatlah bahwa segala sesuatu yang kau lihat berupa wajah-wajah yang dipoles dan kau cintai adalah cinta yang semu, yang menyebabkanmu dikenai hukuman. Sebab, cinta yang benar dan tidak akan mengalami perubahan adalah cinta kepada Allah Azza wa Jalla.
Dialah yang seharusnya kau lihat dengan kedua mataharimu. Itulah cinta orang-orang Shiddiq yang dipenuhi limpahan keruhaniaan. Mereka tidak mencintai dengan keimanan, tetapi dengan keyakinan dan kesaksian. Hijab mereka tersingkap dari mataharimu sehingga engkau melihat perkara-perkara yang gaib. Engkau melihat apa yang tidak mungkin dapat mereka jelaskan!”
--Syekh Abdul Qadir Al-Jailani dalam Fath Ar-Rabbani via Tasawuf Underground
Rabu, 21 Desember 2016
Muslim Sejati Penopang Kepemimpinan Dunia Akherat (Bag.3)

Kriteria pemimpin
Para pakar telah lama menelusuri Al-Quran dan Hadits dan menyimpulkan minimal ada 4 kriteria yang harus dimiliki oleh seseorang sebagai syarat untuk menjadi pemimpin. Semuanya terkumpul di dalam 4 sifat yang dimiliki oleh para nabi/rasul sebagai pemimpin umatnya, yaitu:
(1). Shidiq, yaitu kebenaran dan kesungguhan dalam bersikap, berucap dan bertindak di dalam melaksanakan tugasnya. Lawannya adalah bohong.
(2). Amanah, yaitu kepercayaan yang menjadikan dia memelihara dan menjaga sebaik-baiknya apa yang diamanahkan kepadanya, baik dari orang-orang yang dipimpinnya, terlebih lagi dari Allah swt. Lawannya adalah khianat.
(3) Fathonah, yaitu kecerdasan, cakap, dan handal yang melahirkan kemampuan menghadapi dan menanggulangi persoalan yang muncul. Lawannya adalah bodoh.
(4). Tabligh, yaitu penyampaian secara jujur dan bertanggung jawab atas segala tindakan yang diambilnya (akuntabilitas dan transparansi). Lawannya adalah menutup-nutupi (kekurangan) dan melindungi (kesalahan).
Di dalam Al-Quran juga dijumpai beberapa ayat yang berhubungan dengan sifat-sifat pokok yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin, diantaranya terdapat dalam surat As-Sajdah (32): 24 dan Al-Anbiya (21): 73. Sifat-sifat dimaksud adalah:
(1). Kesabaran dan ketabahan. "Kami jadikan mereka pemimpin ketika mereka sabar/tabah". Lihat Q. S. As-Sajdah (32): 24. Kesabaran dan ketabahan dijadikan pertimbangan dalam mengangkat seorang pemimpin. Sifat ini merupakan syarat pokok yang harus ada dalam diri seorang pemimpin. Sedangkan yang lain adalah sifat-sifat yang lahir kemudian akibat adanya sifat (kesabaran) tersebut.
(2). Mampu menunjukkan jalan kebahagiaan kepada umatnya sesuai dengan petunjuk Allah swt. Lihat Q. S. Al-Anbiya (21): 73, "Mereka memberi petunjuk dengan perintah Kami". Pemimpin dituntut tidak hanya menunjukkan tetapi mengantar rakyat ke pintu gerbang kebahagiaan. Atau dengan kata lain tidak sekedar mengucapkan dan menganjurkan, tetapi hendaknya mampu mempraktekkan pada diri pribadi kemudian mensosialisasikannya di tengah masyarakat. Pemimpin sejati harus mempunyai kepekaan yang tinggi (sense of crisis), yaitu apabila rakyat menderita dia yang pertama sekali merasakan pedihnya dan apabila rakyat sejahtera cukup dia yang terakhir sekali menikmatinya.
(3). Telah membudaya pada diri mereka kebajikan. Lihat Q. S. Al-Anbiyaâ (21): 73, "Dan Kami wahyukan kepada mereka (pemimpin) untuk mengerjakan perbuatan-perbuatan baik dan menegakkan sholat serta menunaikan zakat". Hal ini dapat tercapai (mengantarkan umat kepada kebahagiaan) apabila kebajikan telah mendarah daging dalam diri para pemimpin yang timbul dari keyakinan ilahiyah dan akidah yang mantap tertanam di dalam dada mereka.
Sifat-sifat pokok seorang pemimpin tersebut sejalan dengan pendapat yang dikemukakan oleh Al-Mubarak seperti dikutip Hafidhuddin (2002), yakni ada 4 syarat untuk menjadi pemimpin: 1) Memiliki aqidah yang benar (aqidah salimah). 2) Memiliki ilmu pengetahuan dan wawasan yang luas (`ilmun wasi`un). 3) Memiliki akhlak yang mulia (akhlaqul karimah). 4) Memiliki kecakapan manajerial dan administratif dalam mengatur urusan-urusan duniawi.
Memilih pemimpin
Dengan mengetahui hakikat kepemimpinan di dalam Islam serta kriteria dan sifat-sifat apa saja yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin, maka kita wajib untuk memilih pemimpin sesuai dengan petunjuk Al-Quran dan Hadits.
Kaum muslimin yang benar-benar beriman kepada Allah dan beriman kepada Rasulullah saw dilarang keras untuk memilih pemimpin yang tidak memiliki kepedulian dengan urusan-urusan agama (akidahnya lemah) atau seseorang yang menjadikan agama sebagai bahan permainan/kepentingan tertentu. Sebab pertanggungjawaban atas pengangkatan seseorang pemimpin akan dikembalikan kepada siapa yang mengangkatnya (masyarakat tersebut). Dengan kata lain masyarakat harus selektif dalam memilih pemimpin dan hasil pilihan mereka adalah "cermin" siapa mereka. Hal ini sesuai dengan hadits Nabi saw yang berbunyi: "Sebagaimana keadaan kalian, demikian terangkat pemimpin kalian".
Dalam proses pengangkatan seseorang sebagai pemimpin terdapat keterlibatan pihak lain selain Allah, yaitu masyarakat. Karena yang memilih pemimpin adalah masyarakat. Konsekwensinya masyarakat harus mentaati pemimpin mereka, mencintai, menyenangi, atau sekurangnya tidak membenci. Sabda Rasulullah saw: "Barang siapa yang mengimami (memimpin) sekelompok manusia (walau) dalam sholat, sedangkan mereka tidak menyenanginya, maka sholatnya tidak melampaui kedua telinganya (tidak diterima Allah)".
Di lain pihak pemimpin dituntut untuk memahami kehendak dan memperhatikan penderitaan rakyat. Sebab dalam sejarahnya para rasul tidak diutus kecuali yang mampu memahami bahasa (kehendak) kaumnya serta mengerti (kesusahan) mereka. Lihat Q. S. Ibrahim (14): 4, "Kami tidak pernah mengutus seorang Rasul kecuali dengan bahasa kaumnya". dan Q. S. At-Taubah (9): 129, "Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, terasa berat baginya penderitaanmu lagi sangat mengharapkan kebaikan bagi kamu, sangat penyantun dan penyayang kepada kaum mukmin”.
Mengamati peristiwa yang terjadi pada saat ini (Peristiwa Ahok, kepala daerah DKI Jakarta), sangatlah berpengaruh pada hakikat kehidupan manusia yang memiliki keberagaman agama. Namun, kesalahan yang terjadi bukanlah mutlak kesalahan pribadi, bisa juga dipengaruhi oleh berbagai hal yang dianggap sakral. Pepatah mengatakan “Mulutmu bagaikan pedang yang tajam”. Maka berhati-hatilah dalam berucap dan bercakap. Karena kesalahan sekecil apapun tidak dapat mengembalikan kepercayaan dan keyakinan seseorang tehadap diri pribadi. Waktu pun terus berputar bagikan roda yang mengelilingi dunia. Kehidupan kita sangat dipengaruhi oleh mulut kita.
Semoga kita dapat menentukan pemimpin yang baik dan layak untuk memimpin. Jangan sampai kita terjerumus ke dalam sumur kenodaan dan kenistaan. Karena 1 kesalahan dapat menimbulkan kericuhan yang gempar dan sangat mempengaruhi masa depan bangsa kita sendiri,
Berbanggalah kita yang menganut ajaran agama islam. Karena saya pun bangga telah memilih agama yang benar, agama yang dibenarkan oleh Nabi Muhammad saw, agama yang dpercayai oleh Allah swt, yakni agama islam (ad din al islam). Di dalamnya telah terkandung banyak hal, diantaranya: keagamaan, ketauhidan, sejarah, kemasyarakatan, pengetahuan, perhitungan, pengajaran, pembelajaran, pendidikan anak, proses pertumbuhan dan perkembangan manusia, dan lain sebagainya.
Ditulis Oleh
Santi Purnamasari
Mahasiswa Fakultas Agama Islam
Di UNIPDU Peterongan Jombang
Penerima Beasiswa Sarkub Foundation
Muslim Sejati Penopang Kepemimpinan Dunia Akherat (Bag.2)
Hakikat kepemimpinan
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَىٰ أَوْلِيَاءَ ۘ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ ۚ وَمَن يَتَوَلَّهُم مِّنكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ ۗ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil
orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian mereka
adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa diantara kamu mengambil
mereka menjadi pemimpin, Maka Sesungguhnya orang itu Termasuk golongan mereka.
Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” (Q.S. Al-Maidah/5: 51) [1]
Pada ayat ini Allah SWT melarang orang-orang yang beriman,
agar jangan menjadikan orang-orang Yahudi dan Nasrani sebagai teman akrab yang
akan memberikan pertolongan
dan perlindungan, apalagi untuk dipercayai sebagai pemimpin. Selain dari ayat
ini masih banyak ayat-ayat yang lain dalam Al-Qur’aan yang menyatakan larangan seperti ini terhadap orang-orang Yahudi dan Nasrani. Diulangnya
berkali-kali larangan ini dalam beberapa ayat dalam Al-Qur’aan, menunjukkan
bahwa persoalannya sangat penting dan bila dilanggar akan mendatangkan bahaya
yang besar.[2]
(Depag, 1995-1996)
Dari ayat ini, al-Raziy memberitahukan bahwa orang beriman
ketika menjadi wali bagi orang kafir mengandung 3 macam:
1. Jika si Mukmin ridha dengan
kekafirannya dan berhubungan dengan karena ridha tadi, maka dilarang. Karena
membenarkan kekafiran menjadi kafir, rela adanya kekafiran adalah kafir.
Seorang yang beriman tidak dimungkinkan dengan sifat seperti ini.
2. Jika si Mukmin hanya ingin
berhubungan baik saja secara dhahir (tanpa meridhai adanya kekafiran), maka
(boleh) tidak dilarang.
3. Ia di tengah-tengah antara dua sikap
di atas, yaitu dengan menjadi wali kafir dengan cenderung saling tolong
menolong atas dasar kekerabatan maupun saling mencintai, disertai dengan
anggapan bahwa agama mereka salah. Sikap seperti ini tidak akan menjadikan kita
kafir namun lebih baik dihindari, karena menjadi wali mereka akan mendorong
kita menganggap baik cara-cara mereka dan ridha agama mereka, karena Allah SWT
memperingatkan dengan ayat:{ وَمَن يَفْعَلْ ذلك
فَلَيْسَ مِنَ الله فِي شَىْء }
“Barangsiapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah”.
Al-Quran dan Hadits sebagai pedoman hidup umat Islam sudah mengatur sejak awal bagaimana seharusnya kita memilih dan menjadi seorang pemimpin. Menurut Shihab (2002) ada dua hal yang harus dipahami tentang hakikat kepemimpinan. Pertama, kepemimpinan dalam pandangan Al-Quran bukan sekedar kontrak sosial antara sang pemimpin dengan masyarakatnya, tetapi merupakan ikatan perjanjian antara dia dengan Allah swt. Lihat Q. S. Al-Baqarah (2): 124, "Dan ingatlah ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat perintah dan larangan (amanat), lalu Ibrahim melaksanakannya dengan baik. Allah berfirman: Sesungguhnya Aku akan menjadikan engkau pemimpin bagi manusia. Ibrahim bertanya: Dan dari keturunanku juga (dijadikan pemimpin)? Allah swt menjawab: Janji (amanat) Ku ini tidak (berhak) diperoleh orang zalim".
Kepemimpinan adalah amanah, titipan Allah swt, bukan sesuatu yang diminta apalagi dikejar dan diperebutkan. Sebab kepemimpinan melahirkan kekuasaan dan wewenang yang gunanya semata-mata untuk memudahkan dalam menjalankan tanggung jawab melayani rakyat. Semakin tinggi kekuasaan seseorang, hendaknya semakin meningkatkan pelayanan kepada masyarakat. Bukan sebaliknya, digunakan sebagai peluang untuk memperkaya diri, bertindak zalim dan sewenang-wenang. Balasan dan upah seorang pemimpin sesungguhnya hanya dari Allah swt di akhirat kelak, bukan kekayaan dan kemewahan di dunia.
Karena itu pula, ketika sahabat Nabi SAW, Abu Dzarr, meminta suatu jabatan, Nabi saw bersabda: "Kamu lemah, dan ini adalah amanah sekaligus dapat menjadi sebab kenistaan dan penyesalan di hari kemudian (bila disia-siakan)" (H. R. Muslim). Sikap yang sama juga ditunjukkan Nabi saw ketika seseorang meminta jabatan kepada beliau, dimana orang itu berkata: "Ya Rasulullah, berilah kepada kami jabatan pada salah satu bagian yang diberikan Allah kepadamu.” Maka jawab Rasulullah saw: "Demi Allah Kami tidak mengangkat seseorang pada suatu jabatan kepada orang yang menginginkan atau ambisi pada jabatan itu" (H. R. Bukhari Muslim).
Kedua, kepemimpinan menuntut keadilan. Keadilan adalah lawan dari penganiayaan, penindasan dan pilih kasih. Keadilan harus dirasakan oleh semua pihak dan golongan. Diantara bentuknya adalah dengan mengambil keputusan yang adil antara dua pihak yang berselisih, mengurus dan melayani semua lapisan masyarakat tanpa memandang agama, etnis, budaya, dan latar belakang. Lihat Q. S. Shad (38): 22, "Wahai Daud, Kami telah menjadikan kamu khalifah di bumi, maka berilah putusan antara manusia dengan hak (adil) dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu".
Hal senada dikemukakan oleh Hafidhuddin (2003). Menurutnya ada dua pengertian pemimpin menurut Islam yang harus dipahami. Pertama, pemimpin berarti umara yang sering disebut juga dengan ulul amri. Lihat Q. S. An-Nisa/4: 5, "Hai orang-orang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri diantara kamu". Dalam ayat tersebut dikatakan bahwa ulil amri, umara atau penguasa adalah orang yang mendapat amanah untuk mengurus urusan orang lain. Dengan kata lain, pemimpin itu adalah orang yang mendapat amanah untuk mengurus urusan rakyat. Jika ada pemimpin yang tidak mau mengurus kepentingan rakyat, maka ia bukanlah pemimpin (yang sesungguhnya).
Kedua, pemimpin sering juga disebut khadimul ummah (pelayan umat). Menurut istilah itu, seorang pemimpin harus menempatkan diri pada posisi sebagai pelayan masyarakat, bukan minta dilayani. Dengan demikian, hakikat pemimpin sejati adalah seorang pemimpin yang sanggup dan bersedia menjalankan amanat Allah swt untuk mengurus dan melayani umat/masyarakat.
[1] Departemen
Agama RI. Al-Qur’an dan Terjamahnya. Jakarta: Intermassa, 1986
[2] Al- Qur’an dan Tafsirnya, Jilid II, juz 6,
Departemen Agama Republik Indonesia, Proyek Pengadaan Kitab Suci Al-Qur’an
1985/1986, 442-443.
Muslim Sejati Penopang Kepemimpinan Dunia Akherat (Bag.1)
Dunia
memiliki berbagai macam agama yang dianut oleh para penganutnya masing-masing,
yang dianggap panutan dan fitrah baginya. Indonesia merupakan Negara yang
berpenduduk mayoritas beragama Islam, bahkan memiliki penganut agama Islam
terbesar di dunia. Hal ini merupakan suatu
kebanggaan sekaligus suatu tantangan yang akan dihadapi
oleh bangsa Indonesia bahkan masyarakat dunia pada umumnya. Ini terjadi
sebagian besar masyarakat Indonesia belum memahami secara mendalam makna
yang terkandung di dalam agama Islam itu sendiri.
Islam
memiliki keistimewaan tersendiri ketika dibandingkan dengan ajaran lainnya.
Keistimewaan dimaksud diantaranya terkait dengan syariatnya yang tetap menjadi
rujukan kehidupan sekalipun zaman terus tergulir tanpa henti. Keadaan tersebut
amat berbeda jika dibandingkan dengan agama-agama lainnya. Karena agama lainnya
bersifat lokal, parsial dengan peruntukannya hanya untuk komunitas itu.
Islam
merupakan nama bagi agama Allah yang disampaikan oleh para Nabi dan Nabi
Muhammad. Islam sebagai agama akhir zaman bersifat mengayomi apa yang kurang
dan melebihbaguskan apa yang tetap masih dianggap berlaku.
“Islam
adalah agama damai yang mencintai kemanusiaan. Ia membawa rahmat dan kedamaian
bagi seluruh alam. Bahkan, walau dalam keadaan bermusuhan, Islam tetap
memerintahkan kejujuran tingkah laku dan perlakuan yang adil.” (M. Quraish
Shihab)
Islam
bukan sebuah agama baru, tetapi merupakan bagian yang integral dari kelanjutan agama-agama
besar yang telah diturunkan secara berkelanjutan dari seluruh kesejarahan
ummat. Berbagai rasul telah diutus dalam momen yang berbeda untuk menegakkan
agama yang universal sesuai dengan situasi dan kebutuhan zamannya. Islam erat
hubungannya dengan gerakan-gerakan lain yang dihadirkan untuk menegakkan eman
sipasi dan mengubah pola hidup manusia menjadi lebih sempurna disepanjang
sejarah.[1]
Berakar
dari pemaparan tentang Islam, dapat bermakna bahwa islam membawa kedamaian dan
menciptakan rasa damai dalam kehidupan. Bila kita menangkap pemahaman lebih
dalam tentang islam, bahwasannya islam selalu mengutamakan kerukunan dan
toleransi sebagaimana yang tertuang dalam Ideologi Negara, Pancasila. Selain
itu, islam juga membawa keselamatan atau terhindar dari bencana, baik bencana
hidup di dunia maupun di akhirat. Karena Allah menjamin mereka-mereka yang
menganut agama islam. “Allah menjanjikan kepada orang-orang mukmin, lelaki
dan perempuan, (akan mendapat) surga yang dibawahnya mengalir sungai-sungai,
kekal mereka di dalamnya, dan (mendapat) tempat-tempat yang bagus di surga
'Adn. dan keridhaan Allah adalah lebih besar; itu adalah keberuntungan yang
besar.” (Q.S. At-Taubah/09: 72)
Persatuan dan
kesatuan
Pancasila
telah melandasi adanya persatuan dan kesatuan antarsesama manusia. Persatuan
dan kesatuan itu terbentuk dengan saling menghormati dan menghargai termasuk
perbedaan agama, suku dan ras. Dengan adanya toleransi tersebut, maka bangsa
Indonesia memiliki kedamaian jiwa. Tak hanya itu, hidup rukun, saling meyayangi
juga terjalin dalam kehidupan mereka.
Terimplementaikannya
persatuan kesatuan dapat dipicu dengan mengerjakan ajaran-ajaran agama islam
yang berorientasi pada pembentukan perdamaian di tengah umat manusia. Antara
lain:
a)
Tidak berbuat
kedhaliman
Kedzaliman adalah sumber petaka yang dapat merusak stabilitas
perdamaian dunia. Penindasan, penyiksaan, pengerusakan, pengusiran,
imperialisme modern yang kerap terjadi pada negara-negara Muslim saat ini
membuahkan reaksi global melawan tindakan bejat itu dengan berbagai macam cara,
hingga perdamaian semakin sulit terwujud. Maka selayaknya setiap insan sadar
bahwa kedzaliman adalah biang kemunduran. Dengan demikian jika menghendaki
kehidupan yang damai maka tindakan kedzaliman harus dijauhi.
b)
Pembuktian
adanya persamaan derajat
Persamaan derajat diantara manusia merupakan salah satu hal yang
ditekankan dalam Islam. Tidak ada perbedaan antara satu gologan dengan golongan
lain, semua memiliki hak dan kewajiban yang sama. Kaya, miskin, pejabat,
pegawai, perbedaan kulit, etnis dan bahasa bukanlah alasan untuk
mengistimewakan kelompok atas kelompok. Dengan adanya persamaan derajat itu,
maka semakin meminimalisir timbulnya benih-benih kebencian dan permusuhan di
antara manusia, sehingga semuanya dapat hidup rukun dan damai.
c)
Menjunjung
tinggi keadilan
Islam sangat menekankan perdamaian dalam kehidupan sosial di tengah
masyarakat, keadilan harus diterapkan bagi siapa saja walau dengan musuh
sekalipun. Karena dengan ditegakkannya keadilan, maka tidak ada seorang pun
yang merasa dikecewakan dan didiskriminasikan sehingga dapat meredam rasa
permusuhan, dengan demikian konflik tidak akan terjadi.
d)
Memberikan kebebasan
Islam menjunjung tinggi kebebasan, terbukti dengan tidak adanya
paksaan bagi siapa saja dalam beragama, setiap orang bebas menentukan
pilihannya. Dengan adanya kebebasaan itu maka setiap orang puas untuk
menentukan pilihannya, tidak ada yang merasa terkekang hingga berujung pada
munculnya kebencian. Dengan kebebasan ini, jalan menuju kehidupan damai semakin
terbuka lebar.
e)
Membiasakan hidup
rukun dan saling tolong-menolong.
Islam juga menyeru kepada umat manusia untuk hidup rukun saling
tolong menolong dalam melakukan perbuatan mulia dan mengajak mereka untuk
saling bahu membahu menumpas kedzaliman di muka bumi ini, dengan harapan
kehidupan yang damai dan sejahtera dapat terwujud.
f)
Toleransi
Islam menganjurkan kepada umatnya saling toleransi atas segala
perbedaan yang ada, dalam rangka mencegah terjadinya pertikaian yang dapat
merugikan semua pihak.
g)
Meningkatkan
solidaritas sosial
Solidaritas sosial juga ditekankan oleh agama mulia ini untuk
ditanamkan kepada setiap individu dalam masyarakat, agar dapat memposisikan
manusia pada tempatnya serta dapat mengentaskan kefakiran, kebodohan dan
kehidupan yang tidak menentu. Maka Islam mewajibkan kepada orang yang mampu
untuk menyisihkan hartanya guna diberikan kepada mereka yang membutuhkan. Termasuk
8 golongan mustahiq: fakir, miskin, budak, amil, muallaf, ghorim, sabilillah,
fi sabilillah.
Selain
dibutuhkan toleransi dan menghormati antar sesama. Persatuan dan kesatuan juga
harus didukung dengan kepemimpinan yang efektif dan pemimpin yang layak untuk
dijadikan pemimpin. Sebagian orang berasumsi bahwa pemimpin itu boleh dari
kalangan beda agama, karena mereka menilik dari filsafat pancasila sila ke-3
“Persatuan dan Kesatuan” yakni dengan adanya toleransi.
Kini,
telah terjadi suatu kota yang dipimpin oleh pemimpin beda agama, sebut saja
kota DKI Jakarta. Kota ini banyak dibincangkan di masyarakat bahkan di media
cetak maupun media sosial. Apalagi berita yang paling menghangatkan (hot
news) tentang Gubernur DKI Jakarta menjadi tersangka penistaan agama,
dengan menyatakan bahwa surat al-maidah/05 ayat 51 telah membohongi seluruh
rakyat, yang mana pemimpin orang muslim tidak boleh dari orang non muslim.
(Kompas.com, 15/11/16)
Lanjutan Bag. 2
[1] Abadi, dalam Bashir A. Dabla, Dr. Ali syariati
dean, Metodologi Pemahaman Islam, terj. Bambang Gunawan, dalam jurnal
al-hikmah No. 4 Bandung., 1992
Minggu, 28 Agustus 2016
Bahtera Khidmah
Pondok Pesantren Al-Khidmah asuhan
Kyai Musthafa Wira’i akhir-akhir ini menjadi buah bibir di kalangan masyarakat
muslim Nusantara. Orang-orang dari berbagai daerah di seantero negeri
berbondong-bondong memondokkan anaknya di sana. Meski baru berdiri sekitar
tujuh tahun, secepat kilat, Pesantren Al-Khidmah menjelma menjadi pesantren
besar dengan ribuan santri. Letaknya di pelosok negeri, namun setiap hari tak
pernah sepi. Jalan terjal tak beraspal, tak menjadi aral bagi mobil-mobil mewah
yang tengah berjalan menuju pesantren Al-Khidmah untuk menanam tunas-tunas
bangsa di ladang yang betul-betul subur, karena senantiasa tersirami oleh mata
air kearifan.
“Dul, sebenarnya, apa rahasia kyaimu
itu, sampai-sampai pesantren di pelosok desa bisa menjadi seramai ini?” Sembari
memegangi setir dan geleng-geleng kepala, Dr. Kholil menanyai keponakannya,
lantaran keheranan melihat antrian mobil mengular di jalan masuk menuju komplek
Pesantren Al-Khidmah. Kandidat professor universitas ternama ibukota itu hendak
memondokkan anaknya di sana, setelah kepincut dengan akhlak keponakannya, Abdul
Halim. Dul Halim, begitu Dr. Kholil memanggilnya, yang semula nakal minta ampun,
setelah mondok di sana sekitar 1 tahun, sekarang berubah 180 derajat menjadi
anak yang amat santun. Bersama keponakan dan anaknya, Dr. Kholil berkunjung ke
Pesantren Al-Khidmah untuk yang pertama kali, setelah sebelumnya, ia hanya
mendengar desas-desus nama besar pesantren dan juga pengasuhnya, Kyai Musthafa
Wira’i.
“Saya tidak tahu Paman. Yang saya
tahu, Kyai selalu berpesan kepada santrinya agar senantiasa berkhidmah dengan
akhlaqul karimah.” Bocah yang dulu petakilan itu menjawab pertanyaan pamannya dengan
menundukkan kepala. Dr. Kholil tidak menimpali jawaban Dul Halim dengan
pertanyaan lagi, meskipun rasa penasarannya semakin membuncah, tatkala mobil
yang disetirnya memasuki kompleks Pesantren Al-Khidmah.
Awalnya, Dr. Kholil mengira bahwa
Pesantren Al-Khidmah merupakan pesantren megah yang berdiri di tengah-tengah
pedesaan. Namun, dugaannya keliru. Tidak ada bangunan megah di kompleks
Pesantren Al-Khidmah, sama sekali tidak ada! Satu hal yang sangat bertolak
belakang dengan bayangan Dr. Kholil selama ini tentang kebesaran Pesantren
Al-Khidmah. Rumah Kyai Wira’i begitu sederhana, dikelilingi kamar-kamar
panggung berdinding anyaman bambu dan beratap daun rumbia, tempat dimana para
santri Al-Khidmah menghabiskan waktu untuk mengaji dan mencari makna. Sungguh
di luar dugaan!
Di depan bangunan-bangunan yang jauh
dari kata megah itu, di atas tanah lapang yang tak rata dan masih ditumbuhi
rerumputan liar, Dr. Kholil memarkirkan Grand Livina-nya bersama deretan
mobil-mobil lain yang tak kalah mewah. Dua koper besar dikeluarkan Dr. Kholil
dari dalam mobil, dan segera ia seret bersama Dul Halim yang menggendong tas
ransel ukuran sedang. Averroes, anak Dr. Kholil yang hendak mondok di Pesantren
Al-Khidmah, berjalan menguntit di belakang mereka berdua.
“Mohon maaf Pak, Kyai Wira’i ada di
rumah?” Setelah duduk dan meletakkan kopernya, Dr. Kholil bertanya kepada salah
seorang diantara puluhan wali santri yang juga tengah duduk di teras rumah
kyai.
“Iya Pak. Abah Kyai ada di rumah,
tapi sedang shalat jama’ah. Datang dari dari mana, Pak?” Wali santri itu balik
bertanya kepada Dr. Kholil.
“Saya dari Jakarta Pak.” Sambil
meluruskan kedua kaki yang pegal-pegal karena menempuh jarak ratusan kilo, Dr.
Kholil menjawab pertanyaan wali santri yang tengah berbincang-bincang dengannya
itu. “Mohon maaf, saya luruskan kaki saya Pak. Lha Bapak, asalnya darimana?”
“Oh, tidak apa-apa. Saya dari
Sulawesi Pak.”
“Sulawesi???” Tanya Dr. Kholil
terkaget-kaget. Memang, santri yang tinggal di Pesantren Al-Khidmah berasal
dari berbagai propinsi yang ada di Nusantara, bahkan beberapa ada yang berasal
dari mancanegara.
“Betul Pak, Kota Bau-Bau, Pulau
Buton, Sulawesi Tenggara. Saya kesini mau njenguk anak. Kasihan, kemarin
lebaran nggak pulang kampung.” Wali santri itu menjelaskan secara rinci dari
mana asalnya, dan juga tujuannya datang ke rumah Kyai Wira’i.
Tak lama kemudian, santri abdi
ndalem Kyai Wira’i datang untuk membukakan pintu, lalu mempersilahkan para tamu
untuk masuk ke dalam rumah sang kyai. Karena datang agak belakangan, rombongan Dr.
Kholil pun duduk disamping pintu, di belakang tetamu yang duduk bersap-sap
menghadap tirai pemisah ruang tamu dengan ruang dalam rumah Kyai Wira’i. Sambil
menunggu kedatangan Kyai Wira’i, para tamu satu persatu disuguhi makanan dan
minuman oleh santri-santri abdi ndalem Pesantren Al-Khidmah. Tiba-tiba, tirai
yang menjuntai diantara ruang tamu dan ruang keluarga Kyai Wira’i itu terbuka
secara perlahan-lahan. Semua mata tertuju kepadanya. Kyai Wira’i, sosok yang
dari tadi ditunggi oleh para tamu yang datang dari berbagai penjuru bumi
pertiwi itu akhirnya keluar. Seketika, seluruh tamu berdiri hormat dan
mengantri supaya dapat bersalaman langsung dengan Kyai Wira’i. Tak terkecuali
Dr. Kholil, Dul Halim dan Averroes, mereka pun sabar untuk mengantri.
Ketika datang giliran Dr. Kholil
untuk bersalaman dengan Kyai Wira’i, tiba-tiba Kyai Wira’i berseru.
“Masyaallaaah... Kang Kholil!”
Mendengar namanya disebut oleh Kyai
Wira’i, Dr. Kholil pun kaget bukan kepalang. Ternyata, Kyai Wira’i sudah
mengenal Dr. Kholil. Sambil mengernyitkan dahi karena merasa bingung atas apa
yang sedang dialaminya, Dr. Kholil membalas seruan Kyai Wira’i dengan penuh
tanda tanya. “Iya Kyai, saya Kholil. Bagaimana Kyai? Ada yang bisa saya bantu?”
Dan Kyai Wira’i pun memeluk
erat-erat Dr. Kholil, sembari mengulang-ulang ucapannya tadi. “Masyaallaaaah...
Kang Kholil... Masyaallaaah...”
Kandidat professor di bidang
pendidikan itu pun bertambah bingung. Dalam hati ia bertanya-tanya. “Apa
sebenarnya maksud Kyai Wira’i ini? Mengapa ia tiba-tiba memelukku? Dan,
darimana ia tahu namaku, padahal baru kali ini bertemu denganku?”
Kyai Wira’i lalu berucap kepada Dr.
Kholil sambil menepuk-nepuk bahunya. “Aku Topo, Kang... Mustopo Kang Kholil...”
Mendadak, suasana di dalam ruang tamu Kyai Wira’i menjadi benar-benar hening.
Dul Halim, Averroes, dan seluruh tamu yang sedang sowan Kyai Wira’i tercengang
dengan apa yang baru saja diucapkan oleh Kyai Wira’i.
Mendengar sebuah nama terucap dari
mulut Kyai Wira’i, sontak Dr. Kholil berteriak kencang karena haru. “Ya
Allaaaahhh... Kang Topo!” Tak terasa, bulir-bulir air mata keduanya mengalir
deras. Kyai Wira’i dan Dr. Kholil pun berpelukan begitu hangat. Seluruh tamu
kasak-kusuk bertanya-tanya tentang apa yang sebenarnya sedang terjadi di
hadapan mereka.
“Sudah 30 tahun kita tidak bertemu
Kang Kholiiil...” Ucap Kyai Wira’i dengan mata berkaca-kaca. Setelah melepaskan
pelukannya, Kyai Wira’i mempersilahkan Dr. Kholil untuk duduk. “Monggo..
Monggo.. Kang Kholil.. Silahkan duduk...!”
Tiba-tiba, ingatan Dr. Kholil melayang-layang
kembali pada 30 tahun silam, saat dimana ia bersama-sama dengan Kyai Wira’i
menimba ilmu kepada Kyai Mubarak di Pesantren Al-Barakat. Waktu itu, ia menjadi
lurah Pesantren Al-Barakat. Sering kali, ia memarahi Topo ---panggilan Kyai
Wira’i semasa nyantri di Pesantren Al-Barakat--- yang tidak pernah mengaji,
karena sibuk melayani Kyai Mubarok. Hari-hari Topo dihabiskan seutuhnya untuk
berkhidmah kepada sang kyai. Saking sibuknya melayani Kyai Mubarok, Topo lebih
sulit ditemui daripada kyainya sendiri.
Pagi-pagi benar, sebelum fajar
menyingsing, tatkala teman-teman santrinya masih tertidur pulas, Topo sudah
bangun untuk menimba air sumur guna memenuhi bak-bak kamar mandi, maupun
padasan tempat berwudhu kyai dan para santri. Setelah berjama’ah subuh, di kala
teman-teman santrinya mengaji al-Quran, ia malah mengayuh becak milik ndalem
Kyai Mubarok menuju pasar, untuk berbelanja kebutuhan pangan santri
sehari-hari. Sepulang dari pasar, di waktu teman-teman santrinya berangkat
mengaji kitab dan bermusyawarah di madrasah diniyyah milik pesantren, ia justru
menanak nasi dan memasak lauk-pauk untuk santri Kyai Mubarok yang jumlahnya
sekitar 200-an. Setelah nasi dan lauk pauk matang, ia langsung membersihkan
dapur sekaligus ndalem Kyai Mubarok. Sore hari, ketika teman-temannya sedang
sibuk mendaras hafalan Alfiyyah, ‘Imrithi, atau Jurumiyyah, Topo malah
menunggui ndalem Kyai Mubarok untuk menyambut dan melayani tamu-tamu yang
berkunjung kepada sang kyai. Malamnya, di waktu teman-teman santrinya bersama
masyarakat kampung mengaji kitab kuning kepada Kyai Mubarok, alih-alih ikut
mengaji, Topo justru lagi-lagi menyibukkan diri untuk membantu sang kyai,
menjamu para hadirin yang memadati ndalem Kyai Mubarok dengan membuatkan wedang
teh atau pun kopi. Praktis, Topo tidak pernah mengaji kitab sama sekali, karena
waktunya telah habis untuk mengabdikan dirinya kepada sang kyai.
Oleh karenanya, dahulu, sewaktu
masih menjadi pengurus Pesantren Al-Barakat, Dr. Kholil sering memarahi, bahkan
sampai membenci Topo, santri abdi ndalem yang terkenal tak pernah ngaji. Ia
benar-benar tak menyangka, Topo yang dulu begitu dibencinya itu kini menjadi
seorang kyai besar, calon pengasuh anak bungsunya Averroes. Tiba-tiba tergelar
dalam layar fikirannya, semua kenangan tentang Topo, termasuk kenangan buruknya
ketika ia pernah memaki-maki Topo di hadapan para santri. “Pooo, Topoooo?
Mondok nggak pernah ngaji, besok mau jadi apa kamu?” Langit hati Dr. Kholil
tengah bergemuruh, dirundung mendung rasa bersalah, dan disambar petir rasa malu
kepada Kyai Musthafa Wira’i. Hujan badai pun berkali-kali turun di bumi
sanubari sang calon professor itu.
Saat duduk sejenak, tak sengaja Dr.
Kholil melihat pigura foto Kyai Mubarok menggantung di dinding ruang tamu Kyai
Wira’i. Seketika, hatinya berkata sambil kedua matanya masih berlinang air
mata. “Benarlah... sungguh benar apa yang pernah dikatakan Kyai Mubarok puluhan
tahun yang lalu...” Memori lamanya lagi-lagi menayangkan sebuah kejadian nyata,
ketika ia bersama para pengurus pesantren menghadap Kyai Mubarok, untuk
melaporkan seorang santri yang tak pernah mengaji, supaya Kyai Mubarok berkenan
mengeluarkannya. “Santri yang tak pernah mengaji adalah penyakit bagi santri
lain, Kyai.” Tukas Dr. Kholil dengan penuh percaya diri, sewaktu ia masih menjadi
lurah pesantren. “Sudilah kiranya, Kyai berkenan mengeluarkannya, supaya
penyakit santri itu tidak menular kepada santri-santri lain.” Semua yang hadir
di ndalem Kyai Mubarok saat itu sudah tahu siapa yang tengah diperbincangkan,
tak lain dan tak bukan adalah Topo, yang memiliki nama lengkap Musthafa Wira’i.
Tanpa diduga-duga, Kyai Mubarok
menjawab. “Santri yang hendak kalian keluarkan itu calon kyai besar! Berkacalah
kalian, dan mengajilah kepadanya!” Tanpa sepatah kata lagi, Kyai Mubarok
langsung meninggalkan mereka dengan muka masam. Para pengurus Pesantren
Al-Barakat, lebih-lebih Dr. Kholil yang kala itu menjadi lurah pondok,
betul-betul tersentak dengan apa yang diucapkan oleh Kyai Mubarok. Dhawuh Kyai
Mubarok puluhan tahun yang lalu itu, seolah baru saja terdengar keras di
telinga Dr. Kholil. Begitulah, para kyai yang memiliki ketajaman mata batin,
ucapannya jauh lebih tajam dari tombak atau pun panah, karena mampu menembus
ruang dan waktu. Dr. Kholil semakin menangis terisak-isak. Ia merasa bahwa perkataan
kyainya dulu sungguh benar-benar haqq. Berulang-ulang kali, ia menghalau air
mata yang hendak membasahi pipi dengan jemari, supaya tangisnya tak diketahui
oleh orang banyak.
“Kang Kholil ini teman sepondok
saya...” Dengan santun, Kyai Wira’i memperkenalkan Dr. Kholil kepada para tamu.
“Beliau, dulu lurah pondok. Karena tidak pernah ngaji, saya sering dinasehati
beliau.” Para hadirin lantas mangut-mangut setelah mendengar penjelasan Kyai
Wira’i yang dibumbui senyuman hangat. Dr. Kholil yang tengah jadi bahan
pembicaraan merasa malu. Ia merasa tidak pantas, pernah menjadi teman sepondok
Kyai Wira’i tempo dulu.
“Gara-gara tidak pernah ngaji,
akhirnya saya terlalu lama di pondok. Dan baru tujuh tahun yang lalu saya
boyongan dari pesantren.” Ucap Kyai Wira’i kepada para tamu sambil mengalihkan
pandangannya kepada Dr. Kholil.
Betapa terperanjatnya Dr. Kholil
mendengar pernyataan teman sepondoknya dulu itu. Tiba-tiba ia menimpali
pernyataan Kyai Wira’i dengan penuh rasa penasaran. “Baru boyong 7 tahun yang
lalu? Berarti Panjenengan mondok di pesantren Kyai Mubarok selama 25 tahun
Kang?” Tanya Dr. Kholil mengira-ngira. Setelah tahu bahwa Kyai Wira’i adalah
sahabat lamanya, Dr. Kholil kini memanggilnya Kang, sebuah panggilan familiar
yang dipergunakan para santri untuk memanggil sahabat-sahabatnya.
“Betul Kang Kholil. Saya baru mondok
2 tahun, Panjenengan sudah boyong. Sebenarnya, saya masih betah di sana. Namun,
Kyai Mubarok malah menikahkan saya, dan menyuruh saya untuk pulang kampung.
Saat saya menolak berpisah dengan beliau, Kyai Mubarok malah menitipkan dua
santri barunya kepada saya, dan berkata: pulanglah, sudah saatnya kamu
dilayani. Man khadama, khudima. Siapa yang mau melayani, pasti akan dilayani.
Tanpa banyak pikir, sami’na wa atha’na, akhirnya saya pun pulang bersama istri
dan dua orang santri pemberian Kyai Mubarok. Lambat laun, santri-santri lain
berdatangan secara berbondong-bondong, Kang. Jadi, semua ini tak lain hanya
karena berkahnya Kyai Mubarok.” Ungkap Kyai Wira’i kepada para tamu, terkhusus
kepada sahabat lamanya, Dr. Kholil, sambil menunjuk ke arah foto Kyai Mubarok
yang menempel di dinding ruang tamu.
Para tamu tertegun mendengar tutur
cerita Kyai Wira’i. Dari tadi, mereka setia menyimak dengan seksama cerita yang
dikisahkan oleh pengasuh Pesantren Al-Khidmah itu. Sejenak kemudian, Kyai
Wira’i menanyai para tamu satu persatu, tentang maksud kedatangan mereka ke
kediaman beliau. Mereka pun menjawab pertanyaan Kyai Wira’i dengan jawaban yang
beraneka ragam. Ada yang bertujuan ingin memondokkan anaknya, bersilaturrahim,
memohon doa, meminta ijazah wirid, minta dicarikan jodoh, dan bahkan ada yang
ingin di-suwuk supaya lekas sembuh dari penyakit yang diderita. Setiap tamu
yang selesai mengutarakan hajat-nya kepada Kyai Wira’i langsung berpamitan
pulang. Hingga tiba lah saatnya Dr. Kholil untuk mengungkapkan maksud
kedatangannya kepada sahabat lamanya itu.
“Kang Musthafa Wira’i” Panggil Dr.
Kholil dengan penuh rasa hormat. “Saya kesini, hendak memondokkan anak saya,
Averroes ini. Mohon bimbingan dan doanya, Kang.” Kata Dr. Kholil sambil
memperkenalkan anaknya kepada Kyai Musthafa Wira’i. “Sana, sungkem sama Abah
Kyai, Nak.” Pinta Dr. Kholil kepada anak bungsunya yang hendak dipondokkan itu.
Sang buah hati yang ketika di rumah begitu sulit untuk diperintah itu tiba-tiba
saja menuruti apa kata ayahnya. Di sini lah, Dr. Kholil benar-benar merasakan
aura ke-kyai-an sahabat mondoknya dulu itu.
Tatkala menerima sembah sungkem dari
calon santrinya itu, Kyai Wira’i langsung mengusap ubun-ubun Averroes sembari
melangitkan doa-doa. Setelah itu, beliau menasehati Averroes. “lā yahshul
al-murādu illā bil-khidmah, segala yang dicita-citakan hanya dapat diraih
dengan khidmah, Nak. Orang yang mau berkhidmah, ibarat sedang membuat bahtera
Nuh. Ia harus siap diejek, dimaki, dicela dan dianggap gila karena menanam
pohon khidmah puluhan tahun lamanya hanya untuk dijadikan bahtera, di kala
tiada banjir datang mendera. Memang, prosesnya lama. Tetapi ketika datang
waktunya, semua akan tahu, siapa yang selamat, dan siapa yang justru tenggelam
dalam lautan maki dan cela. Ilmu adalah samudera, Nak. Sedangkan khidmah adalah
bahtera, yang membantu para santri menemukan mutiara. Sekalipun para pencari
ilmu telah menyelami samudera seorang diri, tanpa bahtera khidmah, ia akan kesulitan
menemukan mutiara yang indahnya tak terperi.”
Untaian nasehat Kyai Wira’i yang
ditujukan kepada Averroes itu malah melesat cepat bagai anak panah terlepas
dari busurnya, lalu menancap kuat di relung hati Dr. Kholil. Ia merasa
tertusuk-tusuk, karena pernah menganggap remeh urusan khidmah. Selama ini, ia
hanya mengejar ilmu dan gelar, namun lalai soal khidmah dan pengabdian. Ia
merasa harus berkaca, sebagaimana yang pernah dituturkan kyainya, dan belajar
kepada seorang santri yang dulu pernah diremehkannya. Kini, Dr. Kholil merasa,
bahwa selama ini ia hanya menyelami samudera seorang diri, tanpa memperdulikan
orang lain selamat atau tidak? Tenggelam atau tidak? Ilmunya yang begitu luas,
hanya bisa ia nikmati sendiri secara terbatas. Sedangkan orang lain, sama
sekali tak mampu merasakan manfaatnya, kecuali hanya kebesaran gelar yang acap
terucap, namun tak mampu tercecap apalagi tertancap. Sebaliknya, teman
santrinya yang pernah ia hujani dengan cela, telah mampu menikmati keberkahan
ilmunya, bersama banyak orang dalam bahtera kebahagiaan tiada tara. Dengan
khidmah, ilmu menjadi berkah. Dan dengan berkah, sedikit ilmu bisa melimpah
ruah.
Sambil menangis sesunggukan, Dr.
Kholil tiba-tiba menghampiri Kyai Wira’i dan memeluknya sekuat gunung, kemudian
berucap. “Kang Musthafa Wira’i, izinkanlah anakku berkhidmah kepadamu sepanjang
hayatmu. Biarkanlah ia turut serta menaiki bahtera khidmahmu. Supaya ia mampu
menemu untaian mutiara, hingga terdampar di daratan berkah dan ridha Sang
Pencipta.”
Setelah memasrahkan Averroes kepada
Kyai Wira’i, Dr. Kholil pun langsung kembali ke ibukota. Ia mulai tersadar akan
pentingnya arti khidmah. Lantas bergegaslah ia mengembangkan layar, berjuang
menjalankan bahtera khidmah dengan roda kemudi cinta dan dayung-dayung sabar,
demi menyelamatkan manusia dari badai petir dunia akhirat yang tiada henti
menyambar-nyambar.
*Ditulis beberapa hari setelah sowan
Kyai Hannan Pengasuh Pondok Pesantren Fathul Ulum Kwagean Kediri, dan Gus
Muslim Hannan, semoga Allah senantiasa menganugerahi beliau-beliau dengan
rahmat dan kasih sayangNya.
Landung Sari Malang, 03 Agustus 2016
(Disadur Dari Sebuah Cerpen Sahal Japara)
Langganan:
Postingan (Atom)