Sabtu, 31 Desember 2016

Makna Dzikir Menurut Syech Ibnu Atho'ilah


Menurut Syekh Ibnu Atha’illah, dzikir adalah melepaskan diri dari kelalaian dengan selalu menghadirkan kalbu bersama al-Haqq (Allah). Pendapat lain mengatakan bahwa dzikir adalah mengulang-ulang nama Allah  dalam hati maupun melalui lisan. Hal tersebut bisa dilakukan dengan mengingat lafal jalalah (Allah), sifat-Nya, hukum-Nya, perbuatan-Nya atau suatu tindakan yang serupa. Dzikir bisa pula berupa doa, mengingat para rasul-Nya, nabi-Nya,wali-Nya, dan orang-orang yang memiliki kedekatan dengan-Nya, serta bisa pula berupa takarub kepada-Nya melalui sarana dan perbuatan tertentu seperti membaca, mengingat, bersyair, menyanyi, ceramah, dan bercerita.

Maka, dengan pemahaman seperti ini, mereka yang berbicara tentang kebenaran Allah, atau yang merenungkan keagungan, kemuliaan, dan tanda-tanda kekuasaan-Nya di langit dan di bumi, atau yang mengerjakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya sesungguhnya—dengan berbuat demikian—mereka sedang melakukan dzikir. Dzikir bisa dilakukan dengan lisan, kalbu, anggota badan, ataupun dengan ucapan yang terdengar orang. Orang yang berdzikir dengan menggabungkan semua unsur tersebut berarti telah melakukan dzikir secara sempurna.

Menurut Syekh Ibnu Atha’illah, dzikir lisan adalah dzikir dengan kata-kata semata, tanpa kehadiran kalbu (hudhur). Dzikir ini adalah dzikir lahiriah yang memiliki keutamaan besar seperti yang ditunjukkan oleh beberapa ayat Al-Quran, hadis, dan atsar.

Dzikir lisan terbagi dalam beberapa bagian. Ada yang terikat dengan waktu dan tempat, serta ada pula yang bebas (tidak ditentukan tempat dan waktunya). Dzikir yang terikat, misalnya bacaan ketika shalat dan setelah shalat, bacaan ketika haji, sebelum tidur, setelah bangun, sebelum makan, ketika menaiki kendaraan, dzikir di waktu pagi dan petang, dan seterusnya.

Sementara yang tidak terikat dengan waktu, tempat, ataupun kondisi, misalnya pujian kepada Allah seperti dalam untaian kalimat, “Subhana Allah wa al-hamdu li Allah wa la ilaha illa Allah wa Allah akbar wa la hawla wa la quwwata illa bi Allah al-‘aly al-‘azhim (Mahasuci Allah, segala puji bagi-Nya, tiada tuhan selain-Nya, dan Allah Mahabesar, tiada daya dan kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah Yang Mahatinggi dan Mahabesar).” Contoh lainnya adalah dzikir berupa doa seperti, “Rabbana la tu’akhidzna in nasina aw akhtha’na...,” atau munajat lainnya.

Selain itu, terdapat pula bacaan shalawat atas Nabi SAW yang akan memberi pengaruh lebih besar ke dalam kalbu para pemula daripada dzikir yang tidak disertai munajat. Sebab, orang yang bermunajat, kalbunya merasa dekat dengan Allah. Ia termasuk sarana yang memberikan pengaruh tertentu dan menghiaskan rasa takut pada kalbu.

Dzikir lisan ada yang bersifat ri’ayah misalnya ketika mengucapkan kalimat, “Allah bersamaku, Allah melihatku.” Ucapan tersebut mengandung usaha untuk menjaga kemaslahatan kalbu. Ia adalah dzikir untuk memperkuat kehadiran kalbu bersama Allah, memelihara etika di hadapan-Nya, menjaga diri dari sikap lalai, berlindung dari setan terkutuk, dan untuk bisa khusyuk dalam ibadah."

---Syekh Ibnu Atha’illah dalam Miftah al-Falah wa Misbah al-Arwah via Tasawuf Underground

Senin, 26 Desember 2016

Memahami Isyarat Cinta ILAHI

Syekh Abdul Qadir Al-Jailani mengatakan, “Wahai anak muda! Waspadalah jika Allah melihat di dalam hatimu ada selain Diri-Nya. Waspadalah bahwa Allah melihat di dalam hatimu ada rasa takut kepada selain Diri-Nya, ada harapan kepada selain-Nya, dan ada kecintaan kepada selain kepada-Nya.

Maka, hendaklah engkau berusaha membersihkan kalbumu dari selain Diri-Nya. Hendaklah engkau tidak memandang kemudaratan ataupun manfaat kecuali bahwa itu datang dari Allah. Engkau selalu dalam rumah-Nya dan menjadi tamu-Nya.

Wahai anak muda! Ingatlah bahwa segala sesuatu yang kau lihat berupa wajah-wajah yang dipoles dan kau cintai adalah cinta yang semu, yang menyebabkanmu dikenai hukuman. Sebab, cinta yang benar dan tidak akan mengalami perubahan adalah cinta kepada Allah Azza wa Jalla.

Dialah yang seharusnya kau lihat dengan kedua mataharimu. Itulah cinta orang-orang Shiddiq yang dipenuhi limpahan keruhaniaan. Mereka tidak mencintai dengan keimanan, tetapi dengan keyakinan dan kesaksian. Hijab mereka tersingkap dari mataharimu sehingga engkau melihat perkara-perkara yang gaib. Engkau melihat apa yang tidak mungkin dapat mereka jelaskan!”

--Syekh Abdul Qadir Al-Jailani dalam Fath Ar-Rabbani via Tasawuf Underground

Rabu, 21 Desember 2016

Muslim Sejati Penopang Kepemimpinan Dunia Akherat (Bag.3)




Kriteria pemimpin

Para pakar telah lama menelusuri Al-Quran dan Hadits dan menyimpulkan minimal ada 4 kriteria yang harus dimiliki oleh seseorang sebagai syarat untuk menjadi pemimpin. Semuanya terkumpul di dalam 4 sifat yang dimiliki oleh para nabi/rasul sebagai pemimpin umatnya, yaitu:
(1). Shidiq, yaitu kebenaran dan kesungguhan dalam bersikap, berucap dan bertindak di dalam melaksanakan tugasnya. Lawannya adalah bohong.
(2). Amanah, yaitu kepercayaan yang menjadikan dia memelihara dan menjaga sebaik-baiknya apa yang diamanahkan kepadanya, baik dari orang-orang yang dipimpinnya, terlebih lagi dari Allah swt. Lawannya adalah khianat.
(3) Fathonah, yaitu kecerdasan, cakap, dan handal yang melahirkan kemampuan menghadapi dan menanggulangi persoalan yang muncul. Lawannya adalah bodoh.
(4). Tabligh, yaitu penyampaian secara jujur dan bertanggung jawab atas segala tindakan yang diambilnya (akuntabilitas dan transparansi). Lawannya adalah menutup-nutupi (kekurangan) dan melindungi (kesalahan).

Di dalam Al-Quran juga dijumpai beberapa ayat yang berhubungan dengan sifat-sifat pokok yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin, diantaranya terdapat dalam surat As-Sajdah (32): 24 dan Al-Anbiya (21): 73. Sifat-sifat dimaksud adalah:

(1). Kesabaran dan ketabahan. "Kami jadikan mereka pemimpin ketika mereka sabar/tabah". Lihat Q. S. As-Sajdah (32): 24. Kesabaran dan ketabahan dijadikan pertimbangan dalam mengangkat seorang pemimpin. Sifat ini merupakan syarat pokok yang harus ada dalam diri seorang pemimpin. Sedangkan yang lain adalah sifat-sifat yang lahir kemudian akibat adanya sifat (kesabaran) tersebut.

(2). Mampu menunjukkan jalan kebahagiaan kepada umatnya sesuai dengan petunjuk Allah swt. Lihat Q. S. Al-Anbiya (21): 73, "Mereka memberi petunjuk dengan perintah Kami". Pemimpin dituntut tidak hanya menunjukkan tetapi mengantar rakyat ke pintu gerbang kebahagiaan. Atau dengan kata lain tidak sekedar mengucapkan dan menganjurkan, tetapi hendaknya mampu mempraktekkan pada diri pribadi kemudian mensosialisasikannya di tengah masyarakat. Pemimpin sejati harus mempunyai kepekaan yang tinggi (sense of crisis), yaitu apabila rakyat menderita dia yang pertama sekali merasakan pedihnya dan apabila rakyat sejahtera cukup dia yang terakhir sekali menikmatinya.

(3). Telah membudaya pada diri mereka kebajikan. Lihat Q. S. Al-Anbiyaâ (21): 73, "Dan Kami wahyukan kepada mereka (pemimpin) untuk mengerjakan perbuatan-perbuatan baik dan menegakkan sholat serta menunaikan zakat". Hal ini dapat tercapai (mengantarkan umat kepada kebahagiaan) apabila kebajikan telah mendarah daging dalam diri para pemimpin yang timbul dari keyakinan ilahiyah dan akidah yang mantap tertanam di dalam dada mereka.

Sifat-sifat pokok seorang pemimpin tersebut sejalan dengan pendapat yang dikemukakan oleh Al-Mubarak seperti dikutip Hafidhuddin (2002), yakni ada 4 syarat untuk menjadi pemimpin: 1) Memiliki aqidah yang benar (aqidah salimah). 2) Memiliki ilmu pengetahuan dan wawasan yang luas (`ilmun wasi`un). 3) Memiliki akhlak yang mulia (akhlaqul karimah). 4) Memiliki kecakapan manajerial dan administratif dalam mengatur urusan-urusan duniawi.


Memilih pemimpin

Dengan mengetahui hakikat kepemimpinan di dalam Islam serta kriteria dan sifat-sifat apa saja yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin, maka kita wajib untuk memilih pemimpin sesuai dengan petunjuk Al-Quran dan Hadits.

Kaum muslimin yang benar-benar beriman kepada Allah dan beriman kepada Rasulullah saw dilarang keras untuk memilih pemimpin yang tidak memiliki kepedulian dengan urusan-urusan agama (akidahnya lemah) atau seseorang yang menjadikan agama sebagai bahan permainan/kepentingan tertentu. Sebab pertanggungjawaban atas pengangkatan seseorang pemimpin akan dikembalikan kepada siapa yang mengangkatnya (masyarakat tersebut). Dengan kata lain masyarakat harus selektif dalam memilih pemimpin dan hasil pilihan mereka adalah "cermin" siapa mereka. Hal ini sesuai dengan hadits Nabi saw yang berbunyi: "Sebagaimana keadaan kalian, demikian terangkat pemimpin kalian".

Dalam proses pengangkatan seseorang sebagai pemimpin terdapat keterlibatan pihak lain selain Allah, yaitu masyarakat. Karena yang memilih pemimpin adalah masyarakat. Konsekwensinya masyarakat harus mentaati pemimpin mereka, mencintai, menyenangi, atau sekurangnya tidak membenci. Sabda Rasulullah saw: "Barang siapa yang mengimami (memimpin) sekelompok manusia (walau) dalam sholat, sedangkan mereka tidak menyenanginya, maka sholatnya tidak melampaui kedua telinganya (tidak diterima Allah)".

Di lain pihak pemimpin dituntut untuk memahami kehendak dan memperhatikan penderitaan rakyat. Sebab dalam sejarahnya para rasul tidak diutus kecuali yang mampu memahami bahasa (kehendak) kaumnya serta mengerti (kesusahan) mereka. Lihat Q. S. Ibrahim (14): 4, "Kami tidak pernah mengutus seorang Rasul kecuali dengan bahasa kaumnya". dan Q. S. At-Taubah (9): 129, "Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, terasa berat baginya penderitaanmu lagi sangat mengharapkan kebaikan bagi kamu, sangat penyantun dan penyayang kepada kaum mukmin”.

Mengamati peristiwa yang terjadi pada saat ini (Peristiwa Ahok, kepala daerah DKI Jakarta), sangatlah berpengaruh pada hakikat kehidupan manusia yang memiliki keberagaman agama. Namun, kesalahan yang terjadi bukanlah mutlak kesalahan pribadi, bisa juga dipengaruhi oleh berbagai hal yang dianggap sakral. Pepatah mengatakan “Mulutmu bagaikan pedang yang tajam”. Maka berhati-hatilah dalam berucap dan bercakap. Karena kesalahan sekecil apapun tidak dapat mengembalikan kepercayaan dan keyakinan seseorang tehadap diri pribadi. Waktu pun terus berputar bagikan roda yang mengelilingi dunia. Kehidupan kita sangat dipengaruhi oleh mulut kita.

Semoga kita dapat menentukan pemimpin yang baik dan layak untuk memimpin. Jangan sampai kita terjerumus ke dalam sumur kenodaan dan kenistaan. Karena 1 kesalahan dapat menimbulkan kericuhan yang gempar dan sangat mempengaruhi masa depan bangsa kita sendiri,

Berbanggalah kita yang menganut ajaran agama islam. Karena saya pun bangga telah memilih agama yang benar, agama yang dibenarkan oleh Nabi Muhammad saw, agama yang dpercayai oleh Allah swt, yakni agama islam (ad din al islam). Di dalamnya telah terkandung banyak hal, diantaranya: keagamaan, ketauhidan, sejarah, kemasyarakatan, pengetahuan, perhitungan, pengajaran, pembelajaran, pendidikan anak, proses pertumbuhan dan perkembangan manusia, dan lain sebagainya.



Ditulis Oleh 
Santi Purnamasari
Mahasiswa Fakultas Agama Islam
Di UNIPDU Peterongan Jombang
Penerima Beasiswa Sarkub Foundation



Muslim Sejati Penopang Kepemimpinan Dunia Akherat (Bag.2)

Hakikat kepemimpinan

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَىٰ أَوْلِيَاءَ ۘ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ ۚ وَمَن يَتَوَلَّهُم مِّنكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ ۗ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa diantara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, Maka Sesungguhnya orang itu Termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” (Q.S. Al-Maidah/5: 51)  [1]

Pada ayat ini Allah SWT melarang orang-orang yang beriman, agar jangan menjadikan orang-orang Yahudi dan Nasrani sebagai teman akrab yang akan memberikan pertolongan dan perlindungan, apalagi untuk dipercayai sebagai pemimpin. Selain dari ayat ini masih banyak ayat-ayat yang lain dalam Al-Qur’aan yang menyatakan larangan seperti ini terhadap orang-orang Yahudi dan Nasrani. Diulangnya berkali-kali larangan ini dalam beberapa ayat dalam Al-Qur’aan, menunjukkan bahwa persoalannya sangat penting dan bila dilanggar akan mendatangkan bahaya yang besar.[2] (Depag, 1995-1996)

Dari ayat ini, al-Raziy memberitahukan bahwa orang beriman ketika menjadi wali bagi orang kafir mengandung 3 macam:
1.  Jika si Mukmin ridha dengan kekafirannya dan berhubungan dengan karena ridha tadi, maka dilarang. Karena membenarkan kekafiran menjadi kafir, rela adanya kekafiran adalah kafir. Seorang yang beriman tidak dimungkinkan dengan sifat seperti ini.
2.  Jika si Mukmin hanya ingin berhubungan baik saja secara dhahir (tanpa meridhai adanya kekafiran), maka (boleh) tidak dilarang.
3. Ia di tengah-tengah antara dua sikap di atas, yaitu dengan menjadi wali kafir dengan cenderung saling tolong menolong atas dasar kekerabatan maupun saling mencintai, disertai dengan anggapan bahwa agama mereka salah. Sikap seperti ini tidak akan menjadikan kita kafir namun lebih baik dihindari, karena menjadi wali mereka akan mendorong kita menganggap baik cara-cara mereka dan ridha agama mereka, karena Allah SWT memperingatkan dengan ayat:{ وَمَن يَفْعَلْ ذلك فَلَيْسَ مِنَ الله فِي شَىْء } “Barangsiapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah”.

Al-Quran dan Hadits sebagai pedoman hidup umat Islam sudah mengatur sejak awal bagaimana seharusnya kita memilih dan menjadi seorang pemimpin. Menurut Shihab (2002) ada dua hal yang harus dipahami tentang hakikat kepemimpinan. Pertama, kepemimpinan dalam pandangan Al-Quran bukan sekedar kontrak sosial antara sang pemimpin dengan masyarakatnya, tetapi merupakan ikatan perjanjian antara dia dengan Allah swt. Lihat Q. S. Al-Baqarah (2): 124, "Dan ingatlah ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat perintah dan larangan (amanat), lalu Ibrahim melaksanakannya dengan baik. Allah berfirman: Sesungguhnya Aku akan menjadikan engkau pemimpin bagi manusia. Ibrahim bertanya: Dan dari keturunanku juga (dijadikan pemimpin)? Allah swt menjawab: Janji (amanat) Ku ini tidak (berhak) diperoleh orang zalim".

Kepemimpinan adalah amanah, titipan Allah swt, bukan sesuatu yang diminta apalagi dikejar dan diperebutkan. Sebab kepemimpinan melahirkan kekuasaan dan wewenang yang gunanya semata-mata untuk memudahkan dalam menjalankan tanggung jawab melayani rakyat. Semakin tinggi kekuasaan seseorang, hendaknya semakin meningkatkan pelayanan kepada masyarakat. Bukan sebaliknya, digunakan sebagai peluang untuk memperkaya diri, bertindak zalim dan sewenang-wenang. Balasan dan upah seorang pemimpin sesungguhnya hanya dari Allah swt di akhirat kelak, bukan kekayaan dan kemewahan di dunia.

Karena itu pula, ketika sahabat Nabi SAW, Abu Dzarr, meminta suatu jabatan, Nabi saw bersabda: "Kamu lemah, dan ini adalah amanah sekaligus dapat menjadi sebab kenistaan dan penyesalan di hari kemudian (bila disia-siakan)" (H. R. Muslim). Sikap yang sama juga ditunjukkan Nabi saw ketika seseorang meminta jabatan kepada beliau, dimana orang itu berkata: "Ya Rasulullah, berilah kepada kami jabatan pada salah satu bagian yang diberikan Allah kepadamu.” Maka jawab Rasulullah saw: "Demi Allah Kami tidak mengangkat seseorang pada suatu jabatan kepada orang yang menginginkan atau ambisi pada jabatan itu" (H. R. Bukhari Muslim).

Kedua, kepemimpinan menuntut keadilan. Keadilan adalah lawan dari penganiayaan, penindasan dan pilih kasih. Keadilan harus dirasakan oleh semua pihak dan golongan. Diantara bentuknya adalah dengan mengambil keputusan yang adil antara dua pihak yang berselisih, mengurus dan melayani semua lapisan masyarakat tanpa memandang agama, etnis, budaya, dan latar belakang. Lihat Q. S. Shad (38): 22, "Wahai Daud, Kami telah menjadikan kamu khalifah di bumi, maka berilah putusan antara manusia dengan hak (adil) dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu".

Hal senada dikemukakan oleh Hafidhuddin (2003). Menurutnya ada dua pengertian pemimpin menurut Islam yang harus dipahami. Pertama, pemimpin berarti umara yang sering disebut juga dengan ulul amri. Lihat Q. S. An-Nisa/4: 5, "Hai orang-orang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri diantara kamu". Dalam ayat tersebut dikatakan bahwa ulil amri, umara atau penguasa adalah orang yang mendapat amanah untuk mengurus urusan orang lain. Dengan kata lain, pemimpin itu adalah orang yang mendapat amanah untuk mengurus urusan rakyat. Jika ada pemimpin yang tidak mau mengurus kepentingan rakyat, maka ia bukanlah pemimpin (yang sesungguhnya).

Kedua, pemimpin sering juga disebut khadimul ummah (pelayan umat). Menurut istilah itu, seorang pemimpin harus menempatkan diri pada posisi sebagai pelayan masyarakat, bukan minta dilayani. Dengan demikian, hakikat pemimpin sejati adalah seorang pemimpin yang sanggup dan bersedia menjalankan amanat Allah swt untuk mengurus dan melayani umat/masyarakat.



[1] Departemen Agama RI. Al-Qur’an dan Terjamahnya. Jakarta: Intermassa, 1986
[2] Al- Qur’an dan Tafsirnya, Jilid II, juz 6, Departemen Agama Republik Indonesia, Proyek Pengadaan Kitab Suci Al-Qur’an 1985/1986, 442-443.

Muslim Sejati Penopang Kepemimpinan Dunia Akherat (Bag.1)

Dunia memiliki berbagai macam agama yang dianut oleh para penganutnya masing-masing, yang dianggap panutan dan fitrah baginya. Indonesia merupakan Negara yang berpenduduk mayoritas beragama Islam, bahkan memiliki penganut agama Islam terbesar di dunia.  Hal ini merupakan suatu kebanggaan sekaligus suatu tantangan yang akan dihadapi oleh bangsa Indonesia bahkan masyarakat dunia pada umumnya. Ini terjadi sebagian besar masyarakat Indonesia belum memahami secara mendalam makna yang terkandung di dalam agama Islam itu sendiri.

Islam memiliki keistimewaan tersendiri ketika dibandingkan dengan ajaran lainnya. Keistimewaan dimaksud diantaranya terkait dengan syariatnya yang tetap menjadi rujukan kehidupan sekalipun zaman terus tergulir tanpa henti. Keadaan tersebut amat berbeda jika dibandingkan dengan agama-agama lainnya. Karena agama lainnya bersifat lokal, parsial dengan peruntukannya hanya untuk komunitas itu.
Islam merupakan nama bagi agama Allah yang disampaikan oleh para Nabi dan Nabi Muhammad. Islam sebagai agama akhir zaman bersifat mengayomi apa yang kurang dan melebihbaguskan apa yang tetap masih dianggap berlaku.

“Islam adalah agama damai yang mencintai kemanusiaan. Ia membawa rahmat dan kedamaian bagi seluruh alam. Bahkan, walau dalam keadaan bermusuhan, Islam tetap memerintahkan kejujuran tingkah laku dan perlakuan yang adil.” (M. Quraish Shihab)

Islam bukan sebuah agama baru, tetapi merupakan bagian yang integral dari kelanjutan agama-agama besar yang telah diturunkan secara berkelanjutan dari seluruh kesejarahan ummat. Berbagai rasul telah diutus dalam momen yang berbeda untuk menegakkan agama yang universal sesuai dengan situasi dan kebutuhan zamannya. Islam erat hubungannya dengan gerakan-gerakan lain yang dihadirkan untuk menegakkan eman sipasi dan mengubah pola hidup manusia menjadi lebih sempurna disepanjang sejarah.[1]

Berakar dari pemaparan tentang Islam, dapat bermakna bahwa islam membawa kedamaian dan menciptakan rasa damai dalam kehidupan. Bila kita menangkap pemahaman lebih dalam tentang islam, bahwasannya islam selalu mengutamakan kerukunan dan toleransi sebagaimana yang tertuang dalam Ideologi Negara, Pancasila. Selain itu, islam juga membawa keselamatan atau terhindar dari bencana, baik bencana hidup di dunia maupun di akhirat. Karena Allah menjamin mereka-mereka yang menganut agama islam. “Allah menjanjikan kepada orang-orang mukmin, lelaki dan perempuan, (akan mendapat) surga yang dibawahnya mengalir sungai-sungai, kekal mereka di dalamnya, dan (mendapat) tempat-tempat yang bagus di surga 'Adn. dan keridhaan Allah adalah lebih besar; itu adalah keberuntungan yang besar.” (Q.S. At-Taubah/09: 72)


Persatuan dan kesatuan

Pancasila telah melandasi adanya persatuan dan kesatuan antarsesama manusia. Persatuan dan kesatuan itu terbentuk dengan saling menghormati dan menghargai termasuk perbedaan agama, suku dan ras. Dengan adanya toleransi tersebut, maka bangsa Indonesia memiliki kedamaian jiwa. Tak hanya itu, hidup rukun, saling meyayangi juga terjalin dalam kehidupan mereka.

Terimplementaikannya persatuan kesatuan dapat dipicu dengan mengerjakan ajaran-ajaran agama islam yang berorientasi pada pembentukan perdamaian di tengah umat manusia. Antara lain:
a)      Tidak berbuat kedhaliman
Kedzaliman adalah sumber petaka yang dapat merusak stabilitas perdamaian dunia. Penindasan, penyiksaan, pengerusakan, pengusiran, imperialisme modern yang kerap terjadi pada negara-negara Muslim saat ini membuahkan reaksi global melawan tindakan bejat itu dengan berbagai macam cara, hingga perdamaian semakin sulit terwujud. Maka selayaknya setiap insan sadar bahwa kedzaliman adalah biang kemunduran. Dengan demikian jika menghendaki kehidupan yang damai maka tindakan kedzaliman harus dijauhi.
b)      Pembuktian adanya persamaan derajat
Persamaan derajat diantara manusia merupakan salah satu hal yang ditekankan dalam Islam. Tidak ada perbedaan antara satu gologan dengan golongan lain, semua memiliki hak dan kewajiban yang sama. Kaya, miskin, pejabat, pegawai, perbedaan kulit, etnis dan bahasa bukanlah alasan untuk mengistimewakan kelompok atas kelompok. Dengan adanya persamaan derajat itu, maka semakin meminimalisir timbulnya benih-benih kebencian dan permusuhan di antara manusia, sehingga semuanya dapat hidup rukun dan damai.
c)      Menjunjung tinggi keadilan
Islam sangat menekankan perdamaian dalam kehidupan sosial di tengah masyarakat, keadilan harus diterapkan bagi siapa saja walau dengan musuh sekalipun. Karena dengan ditegakkannya keadilan, maka tidak ada seorang pun yang merasa dikecewakan dan didiskriminasikan sehingga dapat meredam rasa permusuhan, dengan demikian konflik tidak akan terjadi.
d)     Memberikan kebebasan
Islam menjunjung tinggi kebebasan, terbukti dengan tidak adanya paksaan bagi siapa saja dalam beragama, setiap orang bebas menentukan pilihannya. Dengan adanya kebebasaan itu maka setiap orang puas untuk menentukan pilihannya, tidak ada yang merasa terkekang hingga berujung pada munculnya kebencian. Dengan kebebasan ini, jalan menuju kehidupan damai semakin terbuka lebar.
e)      Membiasakan hidup rukun dan saling tolong-menolong.
Islam juga menyeru kepada umat manusia untuk hidup rukun saling tolong menolong dalam melakukan perbuatan mulia dan mengajak mereka untuk saling bahu membahu menumpas kedzaliman di muka bumi ini, dengan harapan kehidupan yang damai dan sejahtera dapat terwujud.
f)       Toleransi
Islam menganjurkan kepada umatnya saling toleransi atas segala perbedaan yang ada, dalam rangka mencegah terjadinya pertikaian yang dapat merugikan semua pihak.
g)      Meningkatkan solidaritas sosial
Solidaritas sosial juga ditekankan oleh agama mulia ini untuk ditanamkan kepada setiap individu dalam masyarakat, agar dapat memposisikan manusia pada tempatnya serta dapat mengentaskan kefakiran, kebodohan dan kehidupan yang tidak menentu. Maka Islam mewajibkan kepada orang yang mampu untuk menyisihkan hartanya guna diberikan kepada mereka yang membutuhkan. Termasuk 8 golongan mustahiq: fakir, miskin, budak, amil, muallaf, ghorim, sabilillah, fi sabilillah.

Selain dibutuhkan toleransi dan menghormati antar sesama. Persatuan dan kesatuan juga harus didukung dengan kepemimpinan yang efektif dan pemimpin yang layak untuk dijadikan pemimpin. Sebagian orang berasumsi bahwa pemimpin itu boleh dari kalangan beda agama, karena mereka menilik dari filsafat pancasila sila ke-3 “Persatuan dan Kesatuan” yakni dengan adanya toleransi.

Kini, telah terjadi suatu kota yang dipimpin oleh pemimpin beda agama, sebut saja kota DKI Jakarta. Kota ini banyak dibincangkan di masyarakat bahkan di media cetak maupun media sosial. Apalagi berita yang paling menghangatkan (hot news) tentang Gubernur DKI Jakarta menjadi tersangka penistaan agama, dengan menyatakan bahwa surat al-maidah/05 ayat 51 telah membohongi seluruh rakyat, yang mana pemimpin orang muslim tidak boleh dari orang non muslim. (Kompas.com, 15/11/16)

Lanjutan Bag. 2


[1] Abadi, dalam Bashir A. Dabla, Dr. Ali syariati dean, Metodologi Pemahaman Islam, terj. Bambang Gunawan, dalam jurnal al-hikmah No. 4 Bandung., 1992

Minggu, 28 Agustus 2016

Bahtera Khidmah

Pondok Pesantren Al-Khidmah asuhan Kyai Musthafa Wira’i akhir-akhir ini menjadi buah bibir di kalangan masyarakat muslim Nusantara. Orang-orang dari berbagai daerah di seantero negeri berbondong-bondong memondokkan anaknya di sana. Meski baru berdiri sekitar tujuh tahun, secepat kilat, Pesantren Al-Khidmah menjelma menjadi pesantren besar dengan ribuan santri. Letaknya di pelosok negeri, namun setiap hari tak pernah sepi. Jalan terjal tak beraspal, tak menjadi aral bagi mobil-mobil mewah yang tengah berjalan menuju pesantren Al-Khidmah untuk menanam tunas-tunas bangsa di ladang yang betul-betul subur, karena senantiasa tersirami oleh mata air kearifan.

“Dul, sebenarnya, apa rahasia kyaimu itu, sampai-sampai pesantren di pelosok desa bisa menjadi seramai ini?” Sembari memegangi setir dan geleng-geleng kepala, Dr. Kholil menanyai keponakannya, lantaran keheranan melihat antrian mobil mengular di jalan masuk menuju komplek Pesantren Al-Khidmah. Kandidat professor universitas ternama ibukota itu hendak memondokkan anaknya di sana, setelah kepincut dengan akhlak keponakannya, Abdul Halim. Dul Halim, begitu Dr. Kholil memanggilnya, yang semula nakal minta ampun, setelah mondok di sana sekitar 1 tahun, sekarang berubah 180 derajat menjadi anak yang amat santun. Bersama keponakan dan anaknya, Dr. Kholil berkunjung ke Pesantren Al-Khidmah untuk yang pertama kali, setelah sebelumnya, ia hanya mendengar desas-desus nama besar pesantren dan juga pengasuhnya, Kyai Musthafa Wira’i.

“Saya tidak tahu Paman. Yang saya tahu, Kyai selalu berpesan kepada santrinya agar senantiasa berkhidmah dengan akhlaqul karimah.” Bocah yang dulu petakilan itu menjawab pertanyaan pamannya dengan menundukkan kepala. Dr. Kholil tidak menimpali jawaban Dul Halim dengan pertanyaan lagi, meskipun rasa penasarannya semakin membuncah, tatkala mobil yang disetirnya memasuki kompleks Pesantren Al-Khidmah.

Awalnya, Dr. Kholil mengira bahwa Pesantren Al-Khidmah merupakan pesantren megah yang berdiri di tengah-tengah pedesaan. Namun, dugaannya keliru. Tidak ada bangunan megah di kompleks Pesantren Al-Khidmah, sama sekali tidak ada! Satu hal yang sangat bertolak belakang dengan bayangan Dr. Kholil selama ini tentang kebesaran Pesantren Al-Khidmah. Rumah Kyai Wira’i begitu sederhana, dikelilingi kamar-kamar panggung berdinding anyaman bambu dan beratap daun rumbia, tempat dimana para santri Al-Khidmah menghabiskan waktu untuk mengaji dan mencari makna. Sungguh di luar dugaan!

Di depan bangunan-bangunan yang jauh dari kata megah itu, di atas tanah lapang yang tak rata dan masih ditumbuhi rerumputan liar, Dr. Kholil memarkirkan Grand Livina-nya bersama deretan mobil-mobil lain yang tak kalah mewah. Dua koper besar dikeluarkan Dr. Kholil dari dalam mobil, dan segera ia seret bersama Dul Halim yang menggendong tas ransel ukuran sedang. Averroes, anak Dr. Kholil yang hendak mondok di Pesantren Al-Khidmah, berjalan menguntit di belakang mereka berdua.

“Mohon maaf Pak, Kyai Wira’i ada di rumah?” Setelah duduk dan meletakkan kopernya, Dr. Kholil bertanya kepada salah seorang diantara puluhan wali santri yang juga tengah duduk di teras rumah kyai.

“Iya Pak. Abah Kyai ada di rumah, tapi sedang shalat jama’ah. Datang dari dari mana, Pak?” Wali santri itu balik bertanya kepada Dr. Kholil.

“Saya dari Jakarta Pak.” Sambil meluruskan kedua kaki yang pegal-pegal karena menempuh jarak ratusan kilo, Dr. Kholil menjawab pertanyaan wali santri yang tengah berbincang-bincang dengannya itu. “Mohon maaf, saya luruskan kaki saya Pak. Lha Bapak, asalnya darimana?”
“Oh, tidak apa-apa. Saya dari Sulawesi Pak.”

“Sulawesi???” Tanya Dr. Kholil terkaget-kaget. Memang, santri yang tinggal di Pesantren Al-Khidmah berasal dari berbagai propinsi yang ada di Nusantara, bahkan beberapa ada yang berasal dari mancanegara.

“Betul Pak, Kota Bau-Bau, Pulau Buton, Sulawesi Tenggara. Saya kesini mau njenguk anak. Kasihan, kemarin lebaran nggak pulang kampung.” Wali santri itu menjelaskan secara rinci dari mana asalnya, dan juga tujuannya datang ke rumah Kyai Wira’i.

Tak lama kemudian, santri abdi ndalem Kyai Wira’i datang untuk membukakan pintu, lalu mempersilahkan para tamu untuk masuk ke dalam rumah sang kyai. Karena datang agak belakangan, rombongan Dr. Kholil pun duduk disamping pintu, di belakang tetamu yang duduk bersap-sap menghadap tirai pemisah ruang tamu dengan ruang dalam rumah Kyai Wira’i. Sambil menunggu kedatangan Kyai Wira’i, para tamu satu persatu disuguhi makanan dan minuman oleh santri-santri abdi ndalem Pesantren Al-Khidmah. Tiba-tiba, tirai yang menjuntai diantara ruang tamu dan ruang keluarga Kyai Wira’i itu terbuka secara perlahan-lahan. Semua mata tertuju kepadanya. Kyai Wira’i, sosok yang dari tadi ditunggi oleh para tamu yang datang dari berbagai penjuru bumi pertiwi itu akhirnya keluar. Seketika, seluruh tamu berdiri hormat dan mengantri supaya dapat bersalaman langsung dengan Kyai Wira’i. Tak terkecuali Dr. Kholil, Dul Halim dan Averroes, mereka pun sabar untuk mengantri.

Ketika datang giliran Dr. Kholil untuk bersalaman dengan Kyai Wira’i, tiba-tiba Kyai Wira’i berseru. “Masyaallaaah... Kang Kholil!”

Mendengar namanya disebut oleh Kyai Wira’i, Dr. Kholil pun kaget bukan kepalang. Ternyata, Kyai Wira’i sudah mengenal Dr. Kholil. Sambil mengernyitkan dahi karena merasa bingung atas apa yang sedang dialaminya, Dr. Kholil membalas seruan Kyai Wira’i dengan penuh tanda tanya. “Iya Kyai, saya Kholil. Bagaimana Kyai? Ada yang bisa saya bantu?”

Dan Kyai Wira’i pun memeluk erat-erat Dr. Kholil, sembari mengulang-ulang ucapannya tadi. “Masyaallaaaah... Kang Kholil... Masyaallaaah...”

Kandidat professor di bidang pendidikan itu pun bertambah bingung. Dalam hati ia bertanya-tanya. “Apa sebenarnya maksud Kyai Wira’i ini? Mengapa ia tiba-tiba memelukku? Dan, darimana ia tahu namaku, padahal baru kali ini bertemu denganku?”

Kyai Wira’i lalu berucap kepada Dr. Kholil sambil menepuk-nepuk bahunya. “Aku Topo, Kang... Mustopo Kang Kholil...” Mendadak, suasana di dalam ruang tamu Kyai Wira’i menjadi benar-benar hening. Dul Halim, Averroes, dan seluruh tamu yang sedang sowan Kyai Wira’i tercengang dengan apa yang baru saja diucapkan oleh Kyai Wira’i.

Mendengar sebuah nama terucap dari mulut Kyai Wira’i, sontak Dr. Kholil berteriak kencang karena haru. “Ya Allaaaahhh... Kang Topo!” Tak terasa, bulir-bulir air mata keduanya mengalir deras. Kyai Wira’i dan Dr. Kholil pun berpelukan begitu hangat. Seluruh tamu kasak-kusuk bertanya-tanya tentang apa yang sebenarnya sedang terjadi di hadapan mereka.

“Sudah 30 tahun kita tidak bertemu Kang Kholiiil...” Ucap Kyai Wira’i dengan mata berkaca-kaca. Setelah melepaskan pelukannya, Kyai Wira’i mempersilahkan Dr. Kholil untuk duduk. “Monggo.. Monggo.. Kang Kholil.. Silahkan duduk...!”

Tiba-tiba, ingatan Dr. Kholil melayang-layang kembali pada 30 tahun silam, saat dimana ia bersama-sama dengan Kyai Wira’i menimba ilmu kepada Kyai Mubarak di Pesantren Al-Barakat. Waktu itu, ia menjadi lurah Pesantren Al-Barakat. Sering kali, ia memarahi Topo ---panggilan Kyai Wira’i semasa nyantri di Pesantren Al-Barakat--- yang tidak pernah mengaji, karena sibuk melayani Kyai Mubarok. Hari-hari Topo dihabiskan seutuhnya untuk berkhidmah kepada sang kyai. Saking sibuknya melayani Kyai Mubarok, Topo lebih sulit ditemui daripada kyainya sendiri.

Pagi-pagi benar, sebelum fajar menyingsing, tatkala teman-teman santrinya masih tertidur pulas, Topo sudah bangun untuk menimba air sumur guna memenuhi bak-bak kamar mandi, maupun padasan tempat berwudhu kyai dan para santri. Setelah berjama’ah subuh, di kala teman-teman santrinya mengaji al-Quran, ia malah mengayuh becak milik ndalem Kyai Mubarok menuju pasar, untuk berbelanja kebutuhan pangan santri sehari-hari. Sepulang dari pasar, di waktu teman-teman santrinya berangkat mengaji kitab dan bermusyawarah di madrasah diniyyah milik pesantren, ia justru menanak nasi dan memasak lauk-pauk untuk santri Kyai Mubarok yang jumlahnya sekitar 200-an. Setelah nasi dan lauk pauk matang, ia langsung membersihkan dapur sekaligus ndalem Kyai Mubarok. Sore hari, ketika teman-temannya sedang sibuk mendaras hafalan Alfiyyah, ‘Imrithi, atau Jurumiyyah, Topo malah menunggui ndalem Kyai Mubarok untuk menyambut dan melayani tamu-tamu yang berkunjung kepada sang kyai. Malamnya, di waktu teman-teman santrinya bersama masyarakat kampung mengaji kitab kuning kepada Kyai Mubarok, alih-alih ikut mengaji, Topo justru lagi-lagi menyibukkan diri untuk membantu sang kyai, menjamu para hadirin yang memadati ndalem Kyai Mubarok dengan membuatkan wedang teh atau pun kopi. Praktis, Topo tidak pernah mengaji kitab sama sekali, karena waktunya telah habis untuk mengabdikan dirinya kepada sang kyai.

Oleh karenanya, dahulu, sewaktu masih menjadi pengurus Pesantren Al-Barakat, Dr. Kholil sering memarahi, bahkan sampai membenci Topo, santri abdi ndalem yang terkenal tak pernah ngaji. Ia benar-benar tak menyangka, Topo yang dulu begitu dibencinya itu kini menjadi seorang kyai besar, calon pengasuh anak bungsunya Averroes. Tiba-tiba tergelar dalam layar fikirannya, semua kenangan tentang Topo, termasuk kenangan buruknya ketika ia pernah memaki-maki Topo di hadapan para santri. “Pooo, Topoooo? Mondok nggak pernah ngaji, besok mau jadi apa kamu?” Langit hati Dr. Kholil tengah bergemuruh, dirundung mendung rasa bersalah, dan disambar petir rasa malu kepada Kyai Musthafa Wira’i. Hujan badai pun berkali-kali turun di bumi sanubari sang calon professor itu.

Saat duduk sejenak, tak sengaja Dr. Kholil melihat pigura foto Kyai Mubarok menggantung di dinding ruang tamu Kyai Wira’i. Seketika, hatinya berkata sambil kedua matanya masih berlinang air mata. “Benarlah... sungguh benar apa yang pernah dikatakan Kyai Mubarok puluhan tahun yang lalu...” Memori lamanya lagi-lagi menayangkan sebuah kejadian nyata, ketika ia bersama para pengurus pesantren menghadap Kyai Mubarok, untuk melaporkan seorang santri yang tak pernah mengaji, supaya Kyai Mubarok berkenan mengeluarkannya. “Santri yang tak pernah mengaji adalah penyakit bagi santri lain, Kyai.” Tukas Dr. Kholil dengan penuh percaya diri, sewaktu ia masih menjadi lurah pesantren. “Sudilah kiranya, Kyai berkenan mengeluarkannya, supaya penyakit santri itu tidak menular kepada santri-santri lain.” Semua yang hadir di ndalem Kyai Mubarok saat itu sudah tahu siapa yang tengah diperbincangkan, tak lain dan tak bukan adalah Topo, yang memiliki nama lengkap Musthafa Wira’i.

Tanpa diduga-duga, Kyai Mubarok menjawab. “Santri yang hendak kalian keluarkan itu calon kyai besar! Berkacalah kalian, dan mengajilah kepadanya!” Tanpa sepatah kata lagi, Kyai Mubarok langsung meninggalkan mereka dengan muka masam. Para pengurus Pesantren Al-Barakat, lebih-lebih Dr. Kholil yang kala itu menjadi lurah pondok, betul-betul tersentak dengan apa yang diucapkan oleh Kyai Mubarok. Dhawuh Kyai Mubarok puluhan tahun yang lalu itu, seolah baru saja terdengar keras di telinga Dr. Kholil. Begitulah, para kyai yang memiliki ketajaman mata batin, ucapannya jauh lebih tajam dari tombak atau pun panah, karena mampu menembus ruang dan waktu. Dr. Kholil semakin menangis terisak-isak. Ia merasa bahwa perkataan kyainya dulu sungguh benar-benar haqq. Berulang-ulang kali, ia menghalau air mata yang hendak membasahi pipi dengan jemari, supaya tangisnya tak diketahui oleh orang banyak.

“Kang Kholil ini teman sepondok saya...” Dengan santun, Kyai Wira’i memperkenalkan Dr. Kholil kepada para tamu. “Beliau, dulu lurah pondok. Karena tidak pernah ngaji, saya sering dinasehati beliau.” Para hadirin lantas mangut-mangut setelah mendengar penjelasan Kyai Wira’i yang dibumbui senyuman hangat. Dr. Kholil yang tengah jadi bahan pembicaraan merasa malu. Ia merasa tidak pantas, pernah menjadi teman sepondok Kyai Wira’i tempo dulu.

“Gara-gara tidak pernah ngaji, akhirnya saya terlalu lama di pondok. Dan baru tujuh tahun yang lalu saya boyongan dari pesantren.” Ucap Kyai Wira’i kepada para tamu sambil mengalihkan pandangannya kepada Dr. Kholil.

Betapa terperanjatnya Dr. Kholil mendengar pernyataan teman sepondoknya dulu itu. Tiba-tiba ia menimpali pernyataan Kyai Wira’i dengan penuh rasa penasaran. “Baru boyong 7 tahun yang lalu? Berarti Panjenengan mondok di pesantren Kyai Mubarok selama 25 tahun Kang?” Tanya Dr. Kholil mengira-ngira. Setelah tahu bahwa Kyai Wira’i adalah sahabat lamanya, Dr. Kholil kini memanggilnya Kang, sebuah panggilan familiar yang dipergunakan para santri untuk memanggil sahabat-sahabatnya.

“Betul Kang Kholil. Saya baru mondok 2 tahun, Panjenengan sudah boyong. Sebenarnya, saya masih betah di sana. Namun, Kyai Mubarok malah menikahkan saya, dan menyuruh saya untuk pulang kampung. Saat saya menolak berpisah dengan beliau, Kyai Mubarok malah menitipkan dua santri barunya kepada saya, dan berkata: pulanglah, sudah saatnya kamu dilayani. Man khadama, khudima. Siapa yang mau melayani, pasti akan dilayani. Tanpa banyak pikir, sami’na wa atha’na, akhirnya saya pun pulang bersama istri dan dua orang santri pemberian Kyai Mubarok. Lambat laun, santri-santri lain berdatangan secara berbondong-bondong, Kang. Jadi, semua ini tak lain hanya karena berkahnya Kyai Mubarok.” Ungkap Kyai Wira’i kepada para tamu, terkhusus kepada sahabat lamanya, Dr. Kholil, sambil menunjuk ke arah foto Kyai Mubarok yang menempel di dinding ruang tamu.

Para tamu tertegun mendengar tutur cerita Kyai Wira’i. Dari tadi, mereka setia menyimak dengan seksama cerita yang dikisahkan oleh pengasuh Pesantren Al-Khidmah itu. Sejenak kemudian, Kyai Wira’i menanyai para tamu satu persatu, tentang maksud kedatangan mereka ke kediaman beliau. Mereka pun menjawab pertanyaan Kyai Wira’i dengan jawaban yang beraneka ragam. Ada yang bertujuan ingin memondokkan anaknya, bersilaturrahim, memohon doa, meminta ijazah wirid, minta dicarikan jodoh, dan bahkan ada yang ingin di-suwuk supaya lekas sembuh dari penyakit yang diderita. Setiap tamu yang selesai mengutarakan hajat-nya kepada Kyai Wira’i langsung berpamitan pulang. Hingga tiba lah saatnya Dr. Kholil untuk mengungkapkan maksud kedatangannya kepada sahabat lamanya itu.

“Kang Musthafa Wira’i” Panggil Dr. Kholil dengan penuh rasa hormat. “Saya kesini, hendak memondokkan anak saya, Averroes ini. Mohon bimbingan dan doanya, Kang.” Kata Dr. Kholil sambil memperkenalkan anaknya kepada Kyai Musthafa Wira’i. “Sana, sungkem sama Abah Kyai, Nak.” Pinta Dr. Kholil kepada anak bungsunya yang hendak dipondokkan itu. Sang buah hati yang ketika di rumah begitu sulit untuk diperintah itu tiba-tiba saja menuruti apa kata ayahnya. Di sini lah, Dr. Kholil benar-benar merasakan aura ke-kyai-an sahabat mondoknya dulu itu.

Tatkala menerima sembah sungkem dari calon santrinya itu, Kyai Wira’i langsung mengusap ubun-ubun Averroes sembari melangitkan doa-doa. Setelah itu, beliau menasehati Averroes. “lā yahshul al-murādu illā bil-khidmah, segala yang dicita-citakan hanya dapat diraih dengan khidmah, Nak. Orang yang mau berkhidmah, ibarat sedang membuat bahtera Nuh. Ia harus siap diejek, dimaki, dicela dan dianggap gila karena menanam pohon khidmah puluhan tahun lamanya hanya untuk dijadikan bahtera, di kala tiada banjir datang mendera. Memang, prosesnya lama. Tetapi ketika datang waktunya, semua akan tahu, siapa yang selamat, dan siapa yang justru tenggelam dalam lautan maki dan cela. Ilmu adalah samudera, Nak. Sedangkan khidmah adalah bahtera, yang membantu para santri menemukan mutiara. Sekalipun para pencari ilmu telah menyelami samudera seorang diri, tanpa bahtera khidmah, ia akan kesulitan menemukan mutiara yang indahnya tak terperi.”

Untaian nasehat Kyai Wira’i yang ditujukan kepada Averroes itu malah melesat cepat bagai anak panah terlepas dari busurnya, lalu menancap kuat di relung hati Dr. Kholil. Ia merasa tertusuk-tusuk, karena pernah menganggap remeh urusan khidmah. Selama ini, ia hanya mengejar ilmu dan gelar, namun lalai soal khidmah dan pengabdian. Ia merasa harus berkaca, sebagaimana yang pernah dituturkan kyainya, dan belajar kepada seorang santri yang dulu pernah diremehkannya. Kini, Dr. Kholil merasa, bahwa selama ini ia hanya menyelami samudera seorang diri, tanpa memperdulikan orang lain selamat atau tidak? Tenggelam atau tidak? Ilmunya yang begitu luas, hanya bisa ia nikmati sendiri secara terbatas. Sedangkan orang lain, sama sekali tak mampu merasakan manfaatnya, kecuali hanya kebesaran gelar yang acap terucap, namun tak mampu tercecap apalagi tertancap. Sebaliknya, teman santrinya yang pernah ia hujani dengan cela, telah mampu menikmati keberkahan ilmunya, bersama banyak orang dalam bahtera kebahagiaan tiada tara. Dengan khidmah, ilmu menjadi berkah. Dan dengan berkah, sedikit ilmu bisa melimpah ruah.

Sambil menangis sesunggukan, Dr. Kholil tiba-tiba menghampiri Kyai Wira’i dan memeluknya sekuat gunung, kemudian berucap. “Kang Musthafa Wira’i, izinkanlah anakku berkhidmah kepadamu sepanjang hayatmu. Biarkanlah ia turut serta menaiki bahtera khidmahmu. Supaya ia mampu menemu untaian mutiara, hingga terdampar di daratan berkah dan ridha Sang Pencipta.”

Setelah memasrahkan Averroes kepada Kyai Wira’i, Dr. Kholil pun langsung kembali ke ibukota. Ia mulai tersadar akan pentingnya arti khidmah. Lantas bergegaslah ia mengembangkan layar, berjuang menjalankan bahtera khidmah dengan roda kemudi cinta dan dayung-dayung sabar, demi menyelamatkan manusia dari badai petir dunia akhirat yang tiada henti menyambar-nyambar.

*Ditulis beberapa hari setelah sowan Kyai Hannan Pengasuh Pondok Pesantren Fathul Ulum Kwagean Kediri, dan Gus Muslim Hannan, semoga Allah senantiasa menganugerahi beliau-beliau dengan rahmat dan kasih sayangNya.

Landung Sari Malang, 03 Agustus 2016

(Disadur Dari Sebuah Cerpen Sahal Japara)