Semasa
hidup, Gus Dur terkenal sebagai sosok penuh kontroversi. Gaya komunikasinya
luwes dan bias menyesuaikan dengan bahasa audiensi. Ketika bicara di hadapan
khalayak akademik, bahasa yang digunakan adalah bahasa akademik, dan jika
berceramah di hadapan masyarakat pedesaan, bicaranya dengan bahasa mereka.
Begitu juga ketika bicara di pesantren.
Selaku pengajar di Pesantren Ciganjur,
tidak jarang saya mendengar ceramahnya yang berbeda dengan kesan di luar. Salah
satu hal yang menarik perhatian saya adalah ketika dia mengatakan, ”Sebagai
seorang muslim, saya harus yakin bahwa Islam adalah yang paling benar. Saya tidak mungkin
menganggap agama orang lain sama-sama benarnya seperti agama saya. Bagaimana
mungkin saya menganggap mereka bisa masuk surga seperti saya, la wong mereka
menganggap kita-kita ini adalah kaum sesat yang harus diselamatkan.”.
Ungkapan tersebut memang tampak janggal jika
disampaikan oleh Gus Dur, sosok yang dikenal sebagai Bapak Pluralisme. Namun
begitulah kenyataannya. Ungkapan tersebut tampak begitu polos dan jujur.
Merujuk pada pernyataan tersebut, pertanyaan yang muncul adalah konsep
pluralisme seperti apa yang dijalani Gus Dur semasa hidupnya?
Bagaimanapun
Gus Dur adalah anak biologis dan ideologis kaum santri tulen. Ayah, Ibu, dan
kakeknya adalah pemimpin organisasi Islam tradisional terbesar diIndonesia.
Mereka lahir dan dewasa dalam lingkungan pesantren, yang sangat kental dengan
ajaran agama yang ketat. Meski begitu, Gus Dur dan ayahnya, KH. Wahid Hasyim
adalah sosok pembaharu dalam tradisi pesantren dan menguasai khazanah pemikiran
Islam klasik dan modern, serta memahami pemikiran Barat. Hingga wafat, Gus Dur
juga selalu mengikuti perkembangan dunia kontemporer.
Pluralisme
ala Gus Dur
Setidaknya
ada tiga ayat Alquran yangselalu dikutip Gus Dur dalam ceramah diPesantren
Ciganjur, yaitu: “Tidak ada paksaan dalam agama”; “Bagimu
agamamu dan bagiku agamaku”; dan “Agama (yang diridai) di sisi
Allah adalah Islam”. Dari ketiga ayat yang sering disampaikan tersebut
menunjukkan bahwa Gus Dur memegang teguh dan bersikap konsistens terhadap
agamanya, bahkan bisa dibilang, Gus Dur bersikap “intoleransi” dalam
berteologi. Namun demikian dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara, Gus
Dur menunjukkan sikap yang berbeda. Dia menunjukkan sikap menghormati terhadap
pilihan agama dan keyakinan orang lain sebagai realisasi prinsip kebebasan
dalam beragama dan berkeyakinan.
Oleh karena itu, Gus Dur cenderung menunjukkan
sikap reaktif terhadap siapa saja, baik individu atau lembaga yang berusaha
menghalangi orang lain untuk mencari kebenaran yang diyakininya. Terkait kasus
Ahmadiyah, misalnya, Gus Dur menyatakan bahwa Ahmadiyah adalah keliru. Akan
tetapi mereka adalah warganegara sah yang harus dilindungi oleh undang-undang.
Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa pembelaan dia terhadap kelompok Ahmadiyah
lebih pada upaya melindungi kelompok-kelompok dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara, bukan membenarkan ajarannya.
Gus Dur juga pernah berpendapat bahwa dirinya tidak
setuju terhadap seorang muslim yang menyatakan agama orang lain adalah benar
sebagaimana kebenaran agamanya. Beliau lebih suka mengatakan,“Semua agama
mengajarkan kebaikan dan kebenaran sesuai keyakinannya".
Dari kedua pendapat tersebut,dia menunjukkan terdapat
perbedaan substansial dalam beragama. Dia tidak mau terlibat terlalu jauh ke
dalam urusan kebenaran yang diyakinani oleh orang lain tersebut. Sebab, menurut
dia, setiap orang akan mempertanggungjawabkan keyakinannya sendiri-sendiri di
hadapan Tuhan. Di sini Gus Dur memberi contoh kepada para tokoh muslim maupun
non muslim, bagaimana harus bersikap dengan pemeluk agama lain dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara dengan tanpa kehilangan identitas dirinya. Dia
membedakan secara jelas mana wilayah privat dan mana wilayah publik.
Melalui pandangan dan sikap tersebut,konsep pluralisme
yang dijalani oleh GusDur tampak berbeda dengan konsep pluralisme yang
digunakan sebagai dasar MUI dalam menetapkan fatwa tentang Pluralisme,
Liberalisme, dan Sekularisme. Konsep pluralisme yang dijalani Gus Dur bukan
pluralisme dalam pengertian suatu paham yang mengakui semua agama benar.
Akan tetapi,
konsep pluralisme yang dijalani Gus Dur lebih dekat pada konsep yang menyatakan
bahwa dalam masyarakat terdapat kelompok-kelompok sosial yang mengatur diri
sendiri dan saling berhubungan serta berdampingan, namun masing-masing kelompok
tersebut mempunyai eksistensi yang berbeda, sebagaimana konsep yang diusulkan
oleh J.S. Furnivall (1948) dan dikembangkan oleh L. Kuper dan M. G. Smith
(1969). Konsep tersebut lebih terkait dalam pola kehidupan berbangsa dan
bernegara secara umum, bukan spesifik dengan urusan agama.
Dengan demikian,
konsep pluralisme yang terkait secara khusus dengan masalah agama, sebagaimana
yang digunakan MUI beberapa tahun lalu, perlu dibatasi dalam konsep yang
spesifik, yaitu konsep ”pluralisme agama”, sehingga konsep pluralisme tidak
mengalami kerancuan makna. Dengan memahami konsep pluralisme yang dijalani
Gus Dur tersebut tampak bahwa Gus Dur tidak terjebak dalam konsep pluralisme
sempit yang banyak disalahpahami masyarakat, khususnya masyarakat muslim di
Indonesia.
Dengan pemahaman pluralisme yang demikian, Gus Dur
tampak lebih mengutamakan keutuhan dan kedamaian bangsa dengan tanpa kehilangan
identitas dan keyakinannya. Meski dia menganggap agama yang dianutnya paling
benar, bukan berarti secara psikologis pergaulannya dengan semua pihak yang
beragam latar belakang, baik sosial, budaya, ras, golongan,termasuk agama
terhambat demi kemajuan peradaban bangsa. Justru dengan sikap demikian, kita
dapat melihat kebesaran Gus Dur. Dia adalah sosok yang memang layak disemati
sebagai Bapak Bangsa, Bapak Pluralisme, dan menerima gelar Pahlawan Nasional.
Sumber: Abu
Asadillah, Santri Ciganjur