Seorang
pemuda, ahli amal ibadah datang ke seorang Sufi. Sang pemuda dengan bangganya
mengatakan kalau dirinya sudah melakukan amal ibadah wajib, sunnah, baca
Al-Qur’an, berkorban untuk orang lain dan kelak harapan satu satunya adalah
masuk syurga dengan tumpukan amalnya. Bahkan sang pemuda tadi malah punya
catatan amal baiknya selama ini dalam buku hariannya, dari hari ke hari.
“Saya
kira sudah cukup bagus apa yang saya lakukan Tuan…”, Kata si pemuda dengan jumawa.
“Apa yang sudah anda lakukan?”, tanya si Sufi.
“Amal ibadah bekal bagi syurga saya nanti…”, kata si pemuda
meledak-ledak.
“Kapan anda menciptakan amal ibadah, kok anda merasa punya?”,
sahut sang Sufi.
Pemuda itu diam…lalu berkata, “Bukankah semua itu hasil jerih
payah saya sesuai dengan perintah dan larangan Allah?”
“Siapa yang
menggerakkan jerih payah dan usahamu itu?”
“Saya
sendiri…hmmm….”, jawab sang pemuda itu sambil melipat tangannya.
“Jadi kamu mau masuk
syurga sendiri dengan amal-amalmu itu?”
“Jelas dong tuan…”
Sang Sufi
mengangguk-ngangguk paham, “Saya nggak jamin kamu bisa masuk ke syurga. Kalau
toh masuk kamu malah akan tersesat disana…”
Pemuda itu terkejut
bukan main atas ungkapan Sang Sufi. Pemuda itu antara marah dan diam, ingin
sekali menampar muka sang sufi.
“Mana mungkin di
syurga ada yang tersesat. Jangan-jangan tuan ini ikut aliran sesat…” kata
pemuda itu menuding Sang Sufi.
“Kamu benar. Tapi
sesat bagi syetan, petunjuk bagi saya….”
“Tolong diperjelas…”
“Begini
saja, seluruh amalmu itu seandainya ditolak oleh Allah bagaimana?”
“Lho
kenapa?”
“Siapa
tahu anda tidak ikhlas dalam menjalankan amal anda?”
“Saya
ikhlas kok, sungguh ikhlas. Bahkan setiap keikhlasan saya masih saya ingat
semua…”
“Nah,
mana mungkin ada orang yang ikhlas, kalau masih mengingat-ingat amal baiknya?
Mana mungkin anda ikhlas kalau anda masih mengandalkan amal ibadah anda?
Mana mungkin anda ikhlas kalau anda sudah merasa puas dengan amal anda sekarang ini?”
Mana mungkin anda ikhlas kalau anda sudah merasa puas dengan amal anda sekarang ini?”
Pemuda
itu duduk lunglai seperti mengalami anti klimaks, pikirannya melayang membayang
bagaimana soal tersesat di syurga, soal amal yang tidak diterima, soal ikhlas
dan tidak ikhlas.
Dalam kondisi setengah frustrasi, Sang sufi menepuk pundaknya.
Dalam kondisi setengah frustrasi, Sang sufi menepuk pundaknya.
“Hai
anak muda. Jangan kecewa, jangan putus asa. Kamu cukup istighfar saja. Kalau
kamu berambisi masuk syurga itu baik pula. Tapi, kalau kamu tidak bertemu
dengan Sang Tuan Pemilik dan Pencipta syurga bagaimana? Kan sama dengan orang
masuk rumah orang, lalu anda tidak berjumpa dengan tuan rumah, apakah anda
seperti orang linglung atau orang yang bahagia?”
“Saya
harus bagaimana tuan…”
“Mulailah
menuju Sang Pencipta syurga, maka seluruh nikmatnya akan diberikan kepadamu.
Amalmu bukan tiket ke syurga. Tapi ikhlasmu dalam beramal merupakan wadah bagi
ridlo dan rahmat-Nya, yang menarik dirimu masuk ke dalamnya…”
Pemuda
itu semakin bengong antara tahu dan tidak.
“Begini
saja, anak muda. Mana mungkin syurga tanpa Allah, mana mungkin neraka bersama
Allah?”
Pemuda
itu tetap saja bengong. Mulutnya melongo seperti kerbau.