Sabtu, 07 Maret 2015

Benarkah Gus Dur Sesat Dengan Paham Pluralismenya ?

Semasa hidup, Gus Dur terkenal sebagai sosok penuh kontroversi. Gaya komunikasinya luwes dan bias menyesuaikan dengan bahasa audiensi. Ketika bicara di hadapan khalayak akademik, bahasa yang digunakan adalah bahasa akademik, dan jika berceramah di hadapan masyarakat pedesaan, bicaranya dengan bahasa mereka. Begitu juga ketika bicara di pesantren. 

Selaku pengajar di Pesantren Ciganjur, tidak jarang saya mendengar ceramahnya yang berbeda dengan kesan di luar. Salah satu hal yang menarik perhatian saya adalah ketika dia mengatakan, ”Sebagai seorang muslim, saya harus yakin bahwa Islam adalah yang paling benar. Saya tidak mungkin menganggap agama orang lain sama-sama benarnya seperti agama saya. Bagaimana mungkin saya menganggap mereka bisa masuk surga seperti saya, la wong mereka menganggap kita-kita ini adalah kaum sesat yang harus diselamatkan.”.

Ungkapan tersebut memang tampak janggal jika disampaikan oleh Gus Dur, sosok yang dikenal sebagai Bapak Pluralisme. Namun begitulah kenyataannya. Ungkapan tersebut tampak begitu polos dan jujur. Merujuk pada pernyataan tersebut, pertanyaan yang muncul adalah konsep pluralisme seperti apa yang dijalani Gus Dur semasa hidupnya?
Bagaimanapun Gus Dur adalah anak biologis dan ideologis kaum santri tulen. Ayah, Ibu, dan kakeknya adalah pemimpin organisasi Islam tradisional terbesar diIndonesia. Mereka lahir dan dewasa dalam lingkungan pesantren, yang sangat kental dengan ajaran agama yang ketat. Meski begitu, Gus Dur dan ayahnya, KH. Wahid Hasyim adalah sosok pembaharu dalam tradisi pesantren dan menguasai khazanah pemikiran Islam klasik dan modern, serta memahami pemikiran Barat. Hingga wafat, Gus Dur juga selalu mengikuti perkembangan dunia kontemporer.
Pluralisme ala Gus Dur
Setidaknya ada tiga ayat Alquran yangselalu dikutip Gus Dur dalam ceramah diPesantren Ciganjur, yaitu: “Tidak ada paksaan dalam agama”; “Bagimu agamamu dan bagiku agamaku”; dan “Agama (yang diridai) di sisi Allah adalah Islam”. Dari ketiga ayat yang sering disampaikan tersebut menunjukkan bahwa Gus Dur memegang teguh dan bersikap konsistens terhadap agamanya, bahkan bisa dibilang, Gus Dur bersikap “intoleransi” dalam berteologi. Namun demikian dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara, Gus Dur menunjukkan sikap yang berbeda. Dia menunjukkan sikap menghormati terhadap pilihan agama dan keyakinan orang lain sebagai realisasi prinsip kebebasan dalam beragama dan berkeyakinan. 
Oleh karena itu, Gus Dur cenderung menunjukkan sikap reaktif terhadap siapa saja, baik individu atau lembaga yang berusaha menghalangi orang lain untuk mencari kebenaran yang diyakininya. Terkait kasus Ahmadiyah, misalnya, Gus Dur menyatakan bahwa Ahmadiyah adalah keliru. Akan tetapi mereka adalah warganegara sah yang harus dilindungi oleh undang-undang. Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa pembelaan dia terhadap kelompok Ahmadiyah lebih pada upaya melindungi kelompok-kelompok dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, bukan membenarkan ajarannya.
Gus Dur juga pernah berpendapat bahwa dirinya tidak setuju terhadap seorang muslim yang menyatakan agama orang lain adalah benar sebagaimana kebenaran agamanya. Beliau lebih suka mengatakan,“Semua agama mengajarkan kebaikan dan kebenaran sesuai keyakinannya".

Dari kedua pendapat tersebut,dia menunjukkan terdapat perbedaan substansial dalam beragama. Dia tidak mau terlibat terlalu jauh ke dalam urusan kebenaran yang diyakinani oleh orang lain tersebut. Sebab, menurut dia, setiap orang akan mempertanggungjawabkan keyakinannya sendiri-sendiri di hadapan Tuhan. Di sini Gus Dur memberi contoh kepada para tokoh muslim maupun non muslim, bagaimana harus bersikap dengan pemeluk agama lain dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dengan tanpa kehilangan identitas dirinya. Dia membedakan secara jelas mana wilayah privat dan mana wilayah publik.

Melalui pandangan dan sikap tersebut,konsep pluralisme yang dijalani oleh GusDur tampak berbeda dengan konsep pluralisme yang digunakan sebagai dasar MUI dalam menetapkan fatwa tentang Pluralisme, Liberalisme, dan Sekularisme. Konsep pluralisme yang dijalani Gus Dur bukan pluralisme dalam pengertian suatu paham yang mengakui semua agama benar.
Akan tetapi, konsep pluralisme yang dijalani Gus Dur lebih dekat pada konsep yang menyatakan bahwa dalam masyarakat terdapat kelompok-kelompok sosial yang mengatur diri sendiri dan saling berhubungan serta berdampingan, namun masing-masing kelompok tersebut mempunyai eksistensi yang berbeda, sebagaimana konsep yang diusulkan oleh J.S. Furnivall (1948) dan dikembangkan oleh L. Kuper dan M. G. Smith (1969). Konsep tersebut lebih terkait dalam pola kehidupan berbangsa dan bernegara secara umum, bukan spesifik dengan urusan agama. 
Dengan demikian, konsep pluralisme yang terkait secara khusus dengan masalah agama, sebagaimana yang digunakan MUI beberapa tahun lalu, perlu dibatasi dalam konsep yang spesifik, yaitu konsep ”pluralisme agama”, sehingga konsep pluralisme tidak mengalami kerancuan makna. Dengan memahami konsep pluralisme yang dijalani Gus Dur tersebut tampak bahwa Gus Dur tidak terjebak dalam konsep pluralisme sempit yang banyak disalahpahami masyarakat, khususnya masyarakat muslim di Indonesia.
Dengan pemahaman pluralisme yang demikian, Gus Dur tampak lebih mengutamakan keutuhan dan kedamaian bangsa dengan tanpa kehilangan identitas dan keyakinannya. Meski dia menganggap agama yang dianutnya paling benar, bukan berarti secara psikologis pergaulannya dengan semua pihak yang beragam latar belakang, baik sosial, budaya, ras, golongan,termasuk agama terhambat demi kemajuan peradaban bangsa. Justru dengan sikap demikian, kita dapat melihat kebesaran Gus Dur. Dia adalah sosok yang memang layak disemati sebagai Bapak Bangsa, Bapak Pluralisme, dan menerima gelar Pahlawan Nasional.
Sumber: Abu Asadillah, Santri Ciganjur

Tidak ada komentar:

Posting Komentar