Sabtu, 31 Desember 2016

Makna Dzikir Menurut Syech Ibnu Atho'ilah


Menurut Syekh Ibnu Atha’illah, dzikir adalah melepaskan diri dari kelalaian dengan selalu menghadirkan kalbu bersama al-Haqq (Allah). Pendapat lain mengatakan bahwa dzikir adalah mengulang-ulang nama Allah  dalam hati maupun melalui lisan. Hal tersebut bisa dilakukan dengan mengingat lafal jalalah (Allah), sifat-Nya, hukum-Nya, perbuatan-Nya atau suatu tindakan yang serupa. Dzikir bisa pula berupa doa, mengingat para rasul-Nya, nabi-Nya,wali-Nya, dan orang-orang yang memiliki kedekatan dengan-Nya, serta bisa pula berupa takarub kepada-Nya melalui sarana dan perbuatan tertentu seperti membaca, mengingat, bersyair, menyanyi, ceramah, dan bercerita.

Maka, dengan pemahaman seperti ini, mereka yang berbicara tentang kebenaran Allah, atau yang merenungkan keagungan, kemuliaan, dan tanda-tanda kekuasaan-Nya di langit dan di bumi, atau yang mengerjakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya sesungguhnya—dengan berbuat demikian—mereka sedang melakukan dzikir. Dzikir bisa dilakukan dengan lisan, kalbu, anggota badan, ataupun dengan ucapan yang terdengar orang. Orang yang berdzikir dengan menggabungkan semua unsur tersebut berarti telah melakukan dzikir secara sempurna.

Menurut Syekh Ibnu Atha’illah, dzikir lisan adalah dzikir dengan kata-kata semata, tanpa kehadiran kalbu (hudhur). Dzikir ini adalah dzikir lahiriah yang memiliki keutamaan besar seperti yang ditunjukkan oleh beberapa ayat Al-Quran, hadis, dan atsar.

Dzikir lisan terbagi dalam beberapa bagian. Ada yang terikat dengan waktu dan tempat, serta ada pula yang bebas (tidak ditentukan tempat dan waktunya). Dzikir yang terikat, misalnya bacaan ketika shalat dan setelah shalat, bacaan ketika haji, sebelum tidur, setelah bangun, sebelum makan, ketika menaiki kendaraan, dzikir di waktu pagi dan petang, dan seterusnya.

Sementara yang tidak terikat dengan waktu, tempat, ataupun kondisi, misalnya pujian kepada Allah seperti dalam untaian kalimat, “Subhana Allah wa al-hamdu li Allah wa la ilaha illa Allah wa Allah akbar wa la hawla wa la quwwata illa bi Allah al-‘aly al-‘azhim (Mahasuci Allah, segala puji bagi-Nya, tiada tuhan selain-Nya, dan Allah Mahabesar, tiada daya dan kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah Yang Mahatinggi dan Mahabesar).” Contoh lainnya adalah dzikir berupa doa seperti, “Rabbana la tu’akhidzna in nasina aw akhtha’na...,” atau munajat lainnya.

Selain itu, terdapat pula bacaan shalawat atas Nabi SAW yang akan memberi pengaruh lebih besar ke dalam kalbu para pemula daripada dzikir yang tidak disertai munajat. Sebab, orang yang bermunajat, kalbunya merasa dekat dengan Allah. Ia termasuk sarana yang memberikan pengaruh tertentu dan menghiaskan rasa takut pada kalbu.

Dzikir lisan ada yang bersifat ri’ayah misalnya ketika mengucapkan kalimat, “Allah bersamaku, Allah melihatku.” Ucapan tersebut mengandung usaha untuk menjaga kemaslahatan kalbu. Ia adalah dzikir untuk memperkuat kehadiran kalbu bersama Allah, memelihara etika di hadapan-Nya, menjaga diri dari sikap lalai, berlindung dari setan terkutuk, dan untuk bisa khusyuk dalam ibadah."

---Syekh Ibnu Atha’illah dalam Miftah al-Falah wa Misbah al-Arwah via Tasawuf Underground

Senin, 26 Desember 2016

Memahami Isyarat Cinta ILAHI

Syekh Abdul Qadir Al-Jailani mengatakan, “Wahai anak muda! Waspadalah jika Allah melihat di dalam hatimu ada selain Diri-Nya. Waspadalah bahwa Allah melihat di dalam hatimu ada rasa takut kepada selain Diri-Nya, ada harapan kepada selain-Nya, dan ada kecintaan kepada selain kepada-Nya.

Maka, hendaklah engkau berusaha membersihkan kalbumu dari selain Diri-Nya. Hendaklah engkau tidak memandang kemudaratan ataupun manfaat kecuali bahwa itu datang dari Allah. Engkau selalu dalam rumah-Nya dan menjadi tamu-Nya.

Wahai anak muda! Ingatlah bahwa segala sesuatu yang kau lihat berupa wajah-wajah yang dipoles dan kau cintai adalah cinta yang semu, yang menyebabkanmu dikenai hukuman. Sebab, cinta yang benar dan tidak akan mengalami perubahan adalah cinta kepada Allah Azza wa Jalla.

Dialah yang seharusnya kau lihat dengan kedua mataharimu. Itulah cinta orang-orang Shiddiq yang dipenuhi limpahan keruhaniaan. Mereka tidak mencintai dengan keimanan, tetapi dengan keyakinan dan kesaksian. Hijab mereka tersingkap dari mataharimu sehingga engkau melihat perkara-perkara yang gaib. Engkau melihat apa yang tidak mungkin dapat mereka jelaskan!”

--Syekh Abdul Qadir Al-Jailani dalam Fath Ar-Rabbani via Tasawuf Underground

Rabu, 21 Desember 2016

Muslim Sejati Penopang Kepemimpinan Dunia Akherat (Bag.3)




Kriteria pemimpin

Para pakar telah lama menelusuri Al-Quran dan Hadits dan menyimpulkan minimal ada 4 kriteria yang harus dimiliki oleh seseorang sebagai syarat untuk menjadi pemimpin. Semuanya terkumpul di dalam 4 sifat yang dimiliki oleh para nabi/rasul sebagai pemimpin umatnya, yaitu:
(1). Shidiq, yaitu kebenaran dan kesungguhan dalam bersikap, berucap dan bertindak di dalam melaksanakan tugasnya. Lawannya adalah bohong.
(2). Amanah, yaitu kepercayaan yang menjadikan dia memelihara dan menjaga sebaik-baiknya apa yang diamanahkan kepadanya, baik dari orang-orang yang dipimpinnya, terlebih lagi dari Allah swt. Lawannya adalah khianat.
(3) Fathonah, yaitu kecerdasan, cakap, dan handal yang melahirkan kemampuan menghadapi dan menanggulangi persoalan yang muncul. Lawannya adalah bodoh.
(4). Tabligh, yaitu penyampaian secara jujur dan bertanggung jawab atas segala tindakan yang diambilnya (akuntabilitas dan transparansi). Lawannya adalah menutup-nutupi (kekurangan) dan melindungi (kesalahan).

Di dalam Al-Quran juga dijumpai beberapa ayat yang berhubungan dengan sifat-sifat pokok yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin, diantaranya terdapat dalam surat As-Sajdah (32): 24 dan Al-Anbiya (21): 73. Sifat-sifat dimaksud adalah:

(1). Kesabaran dan ketabahan. "Kami jadikan mereka pemimpin ketika mereka sabar/tabah". Lihat Q. S. As-Sajdah (32): 24. Kesabaran dan ketabahan dijadikan pertimbangan dalam mengangkat seorang pemimpin. Sifat ini merupakan syarat pokok yang harus ada dalam diri seorang pemimpin. Sedangkan yang lain adalah sifat-sifat yang lahir kemudian akibat adanya sifat (kesabaran) tersebut.

(2). Mampu menunjukkan jalan kebahagiaan kepada umatnya sesuai dengan petunjuk Allah swt. Lihat Q. S. Al-Anbiya (21): 73, "Mereka memberi petunjuk dengan perintah Kami". Pemimpin dituntut tidak hanya menunjukkan tetapi mengantar rakyat ke pintu gerbang kebahagiaan. Atau dengan kata lain tidak sekedar mengucapkan dan menganjurkan, tetapi hendaknya mampu mempraktekkan pada diri pribadi kemudian mensosialisasikannya di tengah masyarakat. Pemimpin sejati harus mempunyai kepekaan yang tinggi (sense of crisis), yaitu apabila rakyat menderita dia yang pertama sekali merasakan pedihnya dan apabila rakyat sejahtera cukup dia yang terakhir sekali menikmatinya.

(3). Telah membudaya pada diri mereka kebajikan. Lihat Q. S. Al-Anbiyaâ (21): 73, "Dan Kami wahyukan kepada mereka (pemimpin) untuk mengerjakan perbuatan-perbuatan baik dan menegakkan sholat serta menunaikan zakat". Hal ini dapat tercapai (mengantarkan umat kepada kebahagiaan) apabila kebajikan telah mendarah daging dalam diri para pemimpin yang timbul dari keyakinan ilahiyah dan akidah yang mantap tertanam di dalam dada mereka.

Sifat-sifat pokok seorang pemimpin tersebut sejalan dengan pendapat yang dikemukakan oleh Al-Mubarak seperti dikutip Hafidhuddin (2002), yakni ada 4 syarat untuk menjadi pemimpin: 1) Memiliki aqidah yang benar (aqidah salimah). 2) Memiliki ilmu pengetahuan dan wawasan yang luas (`ilmun wasi`un). 3) Memiliki akhlak yang mulia (akhlaqul karimah). 4) Memiliki kecakapan manajerial dan administratif dalam mengatur urusan-urusan duniawi.


Memilih pemimpin

Dengan mengetahui hakikat kepemimpinan di dalam Islam serta kriteria dan sifat-sifat apa saja yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin, maka kita wajib untuk memilih pemimpin sesuai dengan petunjuk Al-Quran dan Hadits.

Kaum muslimin yang benar-benar beriman kepada Allah dan beriman kepada Rasulullah saw dilarang keras untuk memilih pemimpin yang tidak memiliki kepedulian dengan urusan-urusan agama (akidahnya lemah) atau seseorang yang menjadikan agama sebagai bahan permainan/kepentingan tertentu. Sebab pertanggungjawaban atas pengangkatan seseorang pemimpin akan dikembalikan kepada siapa yang mengangkatnya (masyarakat tersebut). Dengan kata lain masyarakat harus selektif dalam memilih pemimpin dan hasil pilihan mereka adalah "cermin" siapa mereka. Hal ini sesuai dengan hadits Nabi saw yang berbunyi: "Sebagaimana keadaan kalian, demikian terangkat pemimpin kalian".

Dalam proses pengangkatan seseorang sebagai pemimpin terdapat keterlibatan pihak lain selain Allah, yaitu masyarakat. Karena yang memilih pemimpin adalah masyarakat. Konsekwensinya masyarakat harus mentaati pemimpin mereka, mencintai, menyenangi, atau sekurangnya tidak membenci. Sabda Rasulullah saw: "Barang siapa yang mengimami (memimpin) sekelompok manusia (walau) dalam sholat, sedangkan mereka tidak menyenanginya, maka sholatnya tidak melampaui kedua telinganya (tidak diterima Allah)".

Di lain pihak pemimpin dituntut untuk memahami kehendak dan memperhatikan penderitaan rakyat. Sebab dalam sejarahnya para rasul tidak diutus kecuali yang mampu memahami bahasa (kehendak) kaumnya serta mengerti (kesusahan) mereka. Lihat Q. S. Ibrahim (14): 4, "Kami tidak pernah mengutus seorang Rasul kecuali dengan bahasa kaumnya". dan Q. S. At-Taubah (9): 129, "Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, terasa berat baginya penderitaanmu lagi sangat mengharapkan kebaikan bagi kamu, sangat penyantun dan penyayang kepada kaum mukmin”.

Mengamati peristiwa yang terjadi pada saat ini (Peristiwa Ahok, kepala daerah DKI Jakarta), sangatlah berpengaruh pada hakikat kehidupan manusia yang memiliki keberagaman agama. Namun, kesalahan yang terjadi bukanlah mutlak kesalahan pribadi, bisa juga dipengaruhi oleh berbagai hal yang dianggap sakral. Pepatah mengatakan “Mulutmu bagaikan pedang yang tajam”. Maka berhati-hatilah dalam berucap dan bercakap. Karena kesalahan sekecil apapun tidak dapat mengembalikan kepercayaan dan keyakinan seseorang tehadap diri pribadi. Waktu pun terus berputar bagikan roda yang mengelilingi dunia. Kehidupan kita sangat dipengaruhi oleh mulut kita.

Semoga kita dapat menentukan pemimpin yang baik dan layak untuk memimpin. Jangan sampai kita terjerumus ke dalam sumur kenodaan dan kenistaan. Karena 1 kesalahan dapat menimbulkan kericuhan yang gempar dan sangat mempengaruhi masa depan bangsa kita sendiri,

Berbanggalah kita yang menganut ajaran agama islam. Karena saya pun bangga telah memilih agama yang benar, agama yang dibenarkan oleh Nabi Muhammad saw, agama yang dpercayai oleh Allah swt, yakni agama islam (ad din al islam). Di dalamnya telah terkandung banyak hal, diantaranya: keagamaan, ketauhidan, sejarah, kemasyarakatan, pengetahuan, perhitungan, pengajaran, pembelajaran, pendidikan anak, proses pertumbuhan dan perkembangan manusia, dan lain sebagainya.



Ditulis Oleh 
Santi Purnamasari
Mahasiswa Fakultas Agama Islam
Di UNIPDU Peterongan Jombang
Penerima Beasiswa Sarkub Foundation



Muslim Sejati Penopang Kepemimpinan Dunia Akherat (Bag.2)

Hakikat kepemimpinan

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَىٰ أَوْلِيَاءَ ۘ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ ۚ وَمَن يَتَوَلَّهُم مِّنكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ ۗ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa diantara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, Maka Sesungguhnya orang itu Termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” (Q.S. Al-Maidah/5: 51)  [1]

Pada ayat ini Allah SWT melarang orang-orang yang beriman, agar jangan menjadikan orang-orang Yahudi dan Nasrani sebagai teman akrab yang akan memberikan pertolongan dan perlindungan, apalagi untuk dipercayai sebagai pemimpin. Selain dari ayat ini masih banyak ayat-ayat yang lain dalam Al-Qur’aan yang menyatakan larangan seperti ini terhadap orang-orang Yahudi dan Nasrani. Diulangnya berkali-kali larangan ini dalam beberapa ayat dalam Al-Qur’aan, menunjukkan bahwa persoalannya sangat penting dan bila dilanggar akan mendatangkan bahaya yang besar.[2] (Depag, 1995-1996)

Dari ayat ini, al-Raziy memberitahukan bahwa orang beriman ketika menjadi wali bagi orang kafir mengandung 3 macam:
1.  Jika si Mukmin ridha dengan kekafirannya dan berhubungan dengan karena ridha tadi, maka dilarang. Karena membenarkan kekafiran menjadi kafir, rela adanya kekafiran adalah kafir. Seorang yang beriman tidak dimungkinkan dengan sifat seperti ini.
2.  Jika si Mukmin hanya ingin berhubungan baik saja secara dhahir (tanpa meridhai adanya kekafiran), maka (boleh) tidak dilarang.
3. Ia di tengah-tengah antara dua sikap di atas, yaitu dengan menjadi wali kafir dengan cenderung saling tolong menolong atas dasar kekerabatan maupun saling mencintai, disertai dengan anggapan bahwa agama mereka salah. Sikap seperti ini tidak akan menjadikan kita kafir namun lebih baik dihindari, karena menjadi wali mereka akan mendorong kita menganggap baik cara-cara mereka dan ridha agama mereka, karena Allah SWT memperingatkan dengan ayat:{ وَمَن يَفْعَلْ ذلك فَلَيْسَ مِنَ الله فِي شَىْء } “Barangsiapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah”.

Al-Quran dan Hadits sebagai pedoman hidup umat Islam sudah mengatur sejak awal bagaimana seharusnya kita memilih dan menjadi seorang pemimpin. Menurut Shihab (2002) ada dua hal yang harus dipahami tentang hakikat kepemimpinan. Pertama, kepemimpinan dalam pandangan Al-Quran bukan sekedar kontrak sosial antara sang pemimpin dengan masyarakatnya, tetapi merupakan ikatan perjanjian antara dia dengan Allah swt. Lihat Q. S. Al-Baqarah (2): 124, "Dan ingatlah ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat perintah dan larangan (amanat), lalu Ibrahim melaksanakannya dengan baik. Allah berfirman: Sesungguhnya Aku akan menjadikan engkau pemimpin bagi manusia. Ibrahim bertanya: Dan dari keturunanku juga (dijadikan pemimpin)? Allah swt menjawab: Janji (amanat) Ku ini tidak (berhak) diperoleh orang zalim".

Kepemimpinan adalah amanah, titipan Allah swt, bukan sesuatu yang diminta apalagi dikejar dan diperebutkan. Sebab kepemimpinan melahirkan kekuasaan dan wewenang yang gunanya semata-mata untuk memudahkan dalam menjalankan tanggung jawab melayani rakyat. Semakin tinggi kekuasaan seseorang, hendaknya semakin meningkatkan pelayanan kepada masyarakat. Bukan sebaliknya, digunakan sebagai peluang untuk memperkaya diri, bertindak zalim dan sewenang-wenang. Balasan dan upah seorang pemimpin sesungguhnya hanya dari Allah swt di akhirat kelak, bukan kekayaan dan kemewahan di dunia.

Karena itu pula, ketika sahabat Nabi SAW, Abu Dzarr, meminta suatu jabatan, Nabi saw bersabda: "Kamu lemah, dan ini adalah amanah sekaligus dapat menjadi sebab kenistaan dan penyesalan di hari kemudian (bila disia-siakan)" (H. R. Muslim). Sikap yang sama juga ditunjukkan Nabi saw ketika seseorang meminta jabatan kepada beliau, dimana orang itu berkata: "Ya Rasulullah, berilah kepada kami jabatan pada salah satu bagian yang diberikan Allah kepadamu.” Maka jawab Rasulullah saw: "Demi Allah Kami tidak mengangkat seseorang pada suatu jabatan kepada orang yang menginginkan atau ambisi pada jabatan itu" (H. R. Bukhari Muslim).

Kedua, kepemimpinan menuntut keadilan. Keadilan adalah lawan dari penganiayaan, penindasan dan pilih kasih. Keadilan harus dirasakan oleh semua pihak dan golongan. Diantara bentuknya adalah dengan mengambil keputusan yang adil antara dua pihak yang berselisih, mengurus dan melayani semua lapisan masyarakat tanpa memandang agama, etnis, budaya, dan latar belakang. Lihat Q. S. Shad (38): 22, "Wahai Daud, Kami telah menjadikan kamu khalifah di bumi, maka berilah putusan antara manusia dengan hak (adil) dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu".

Hal senada dikemukakan oleh Hafidhuddin (2003). Menurutnya ada dua pengertian pemimpin menurut Islam yang harus dipahami. Pertama, pemimpin berarti umara yang sering disebut juga dengan ulul amri. Lihat Q. S. An-Nisa/4: 5, "Hai orang-orang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri diantara kamu". Dalam ayat tersebut dikatakan bahwa ulil amri, umara atau penguasa adalah orang yang mendapat amanah untuk mengurus urusan orang lain. Dengan kata lain, pemimpin itu adalah orang yang mendapat amanah untuk mengurus urusan rakyat. Jika ada pemimpin yang tidak mau mengurus kepentingan rakyat, maka ia bukanlah pemimpin (yang sesungguhnya).

Kedua, pemimpin sering juga disebut khadimul ummah (pelayan umat). Menurut istilah itu, seorang pemimpin harus menempatkan diri pada posisi sebagai pelayan masyarakat, bukan minta dilayani. Dengan demikian, hakikat pemimpin sejati adalah seorang pemimpin yang sanggup dan bersedia menjalankan amanat Allah swt untuk mengurus dan melayani umat/masyarakat.



[1] Departemen Agama RI. Al-Qur’an dan Terjamahnya. Jakarta: Intermassa, 1986
[2] Al- Qur’an dan Tafsirnya, Jilid II, juz 6, Departemen Agama Republik Indonesia, Proyek Pengadaan Kitab Suci Al-Qur’an 1985/1986, 442-443.