Hakikat kepemimpinan
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَىٰ أَوْلِيَاءَ ۘ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ ۚ وَمَن يَتَوَلَّهُم مِّنكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ ۗ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil
orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian mereka
adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa diantara kamu mengambil
mereka menjadi pemimpin, Maka Sesungguhnya orang itu Termasuk golongan mereka.
Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” (Q.S. Al-Maidah/5: 51) [1]
Pada ayat ini Allah SWT melarang orang-orang yang beriman,
agar jangan menjadikan orang-orang Yahudi dan Nasrani sebagai teman akrab yang
akan memberikan pertolongan
dan perlindungan, apalagi untuk dipercayai sebagai pemimpin. Selain dari ayat
ini masih banyak ayat-ayat yang lain dalam Al-Qur’aan yang menyatakan larangan seperti ini terhadap orang-orang Yahudi dan Nasrani. Diulangnya
berkali-kali larangan ini dalam beberapa ayat dalam Al-Qur’aan, menunjukkan
bahwa persoalannya sangat penting dan bila dilanggar akan mendatangkan bahaya
yang besar.[2]
(Depag, 1995-1996)
Dari ayat ini, al-Raziy memberitahukan bahwa orang beriman
ketika menjadi wali bagi orang kafir mengandung 3 macam:
1. Jika si Mukmin ridha dengan
kekafirannya dan berhubungan dengan karena ridha tadi, maka dilarang. Karena
membenarkan kekafiran menjadi kafir, rela adanya kekafiran adalah kafir.
Seorang yang beriman tidak dimungkinkan dengan sifat seperti ini.
2. Jika si Mukmin hanya ingin
berhubungan baik saja secara dhahir (tanpa meridhai adanya kekafiran), maka
(boleh) tidak dilarang.
3. Ia di tengah-tengah antara dua sikap
di atas, yaitu dengan menjadi wali kafir dengan cenderung saling tolong
menolong atas dasar kekerabatan maupun saling mencintai, disertai dengan
anggapan bahwa agama mereka salah. Sikap seperti ini tidak akan menjadikan kita
kafir namun lebih baik dihindari, karena menjadi wali mereka akan mendorong
kita menganggap baik cara-cara mereka dan ridha agama mereka, karena Allah SWT
memperingatkan dengan ayat:{ وَمَن يَفْعَلْ ذلك
فَلَيْسَ مِنَ الله فِي شَىْء }
“Barangsiapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah”.
Al-Quran dan Hadits sebagai pedoman hidup umat Islam sudah mengatur sejak awal bagaimana seharusnya kita memilih dan menjadi seorang pemimpin. Menurut Shihab (2002) ada dua hal yang harus dipahami tentang hakikat kepemimpinan. Pertama, kepemimpinan dalam pandangan Al-Quran bukan sekedar kontrak sosial antara sang pemimpin dengan masyarakatnya, tetapi merupakan ikatan perjanjian antara dia dengan Allah swt. Lihat Q. S. Al-Baqarah (2): 124, "Dan ingatlah ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat perintah dan larangan (amanat), lalu Ibrahim melaksanakannya dengan baik. Allah berfirman: Sesungguhnya Aku akan menjadikan engkau pemimpin bagi manusia. Ibrahim bertanya: Dan dari keturunanku juga (dijadikan pemimpin)? Allah swt menjawab: Janji (amanat) Ku ini tidak (berhak) diperoleh orang zalim".
Kepemimpinan adalah amanah, titipan Allah swt, bukan sesuatu yang diminta apalagi dikejar dan diperebutkan. Sebab kepemimpinan melahirkan kekuasaan dan wewenang yang gunanya semata-mata untuk memudahkan dalam menjalankan tanggung jawab melayani rakyat. Semakin tinggi kekuasaan seseorang, hendaknya semakin meningkatkan pelayanan kepada masyarakat. Bukan sebaliknya, digunakan sebagai peluang untuk memperkaya diri, bertindak zalim dan sewenang-wenang. Balasan dan upah seorang pemimpin sesungguhnya hanya dari Allah swt di akhirat kelak, bukan kekayaan dan kemewahan di dunia.
Karena itu pula, ketika sahabat Nabi SAW, Abu Dzarr, meminta suatu jabatan, Nabi saw bersabda: "Kamu lemah, dan ini adalah amanah sekaligus dapat menjadi sebab kenistaan dan penyesalan di hari kemudian (bila disia-siakan)" (H. R. Muslim). Sikap yang sama juga ditunjukkan Nabi saw ketika seseorang meminta jabatan kepada beliau, dimana orang itu berkata: "Ya Rasulullah, berilah kepada kami jabatan pada salah satu bagian yang diberikan Allah kepadamu.” Maka jawab Rasulullah saw: "Demi Allah Kami tidak mengangkat seseorang pada suatu jabatan kepada orang yang menginginkan atau ambisi pada jabatan itu" (H. R. Bukhari Muslim).
Kedua, kepemimpinan menuntut keadilan. Keadilan adalah lawan dari penganiayaan, penindasan dan pilih kasih. Keadilan harus dirasakan oleh semua pihak dan golongan. Diantara bentuknya adalah dengan mengambil keputusan yang adil antara dua pihak yang berselisih, mengurus dan melayani semua lapisan masyarakat tanpa memandang agama, etnis, budaya, dan latar belakang. Lihat Q. S. Shad (38): 22, "Wahai Daud, Kami telah menjadikan kamu khalifah di bumi, maka berilah putusan antara manusia dengan hak (adil) dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu".
Hal senada dikemukakan oleh Hafidhuddin (2003). Menurutnya ada dua pengertian pemimpin menurut Islam yang harus dipahami. Pertama, pemimpin berarti umara yang sering disebut juga dengan ulul amri. Lihat Q. S. An-Nisa/4: 5, "Hai orang-orang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri diantara kamu". Dalam ayat tersebut dikatakan bahwa ulil amri, umara atau penguasa adalah orang yang mendapat amanah untuk mengurus urusan orang lain. Dengan kata lain, pemimpin itu adalah orang yang mendapat amanah untuk mengurus urusan rakyat. Jika ada pemimpin yang tidak mau mengurus kepentingan rakyat, maka ia bukanlah pemimpin (yang sesungguhnya).
Kedua, pemimpin sering juga disebut khadimul ummah (pelayan umat). Menurut istilah itu, seorang pemimpin harus menempatkan diri pada posisi sebagai pelayan masyarakat, bukan minta dilayani. Dengan demikian, hakikat pemimpin sejati adalah seorang pemimpin yang sanggup dan bersedia menjalankan amanat Allah swt untuk mengurus dan melayani umat/masyarakat.
[1] Departemen
Agama RI. Al-Qur’an dan Terjamahnya. Jakarta: Intermassa, 1986
[2] Al- Qur’an dan Tafsirnya, Jilid II, juz 6,
Departemen Agama Republik Indonesia, Proyek Pengadaan Kitab Suci Al-Qur’an
1985/1986, 442-443.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Salam Menyan...