"Keberuntungan" kadang memainkan perannya dalam kehidupan manusia, sekalipun kerap tidak masuk akal. Karena itulah takdir mereka.
Boleh jadi keterlambatanmu dari suatu perjalanan adalah keselamatanmu
Boleh jadi tertundanya pernikahanmu adalah suatu keberkahan
Boleh jadi dipecatnya engkau dari pekerjaan adalah suatu maslahat
Boleh jadi sampai sekarang engkau belum dikarunia anak itu adalah kebaikan dalam hidupmu.
Kamis, 03 Agustus 2017
Senin, 13 Maret 2017
Kisah Syeikh Abul Fadhol Senori Tuban
Senori, salah satu Kota Kecamatan di Kabupaten Tuban Jawa Timur. Namanya harum seharum nama ulama guru para ulama Indonesia. KH. Abul Fadlol As-Senory At-Tubany. Meski beliau sudah wafat, namanya tidak bisa hilang dari ingatan semua orang. Bahkan berkat beliau, nama Senori juga ikut harum.
Kiai Fadlol memang fenomenal, kisahnya dari kecil hingga besar sebagaimana yang dituturkan oleh putra pertamanya, KH. Abdul Jalil selalu menarik untuk disimak dan disuritauladani.
Sejak kecil mBah Ddlol -begitu beliau dipanggil- sudah menampakkan keanehannya dibanding dengan anak seusianya. Nakalnya luar biasa tapi kecerdasan dan keberaniannya juga di atas rata-rata. Setiap ada tamu yang sowan pada abah beliau Kiai Abdusy Syakur, wedang yang disuguhkan pasti akan dicicipi dulu. Bak seorang guru yang memberi barokah pada santrinya.
Jumat, 06 Januari 2017
Engkau Lebih Membutuhkan Kesantunan Allah Saat Beribadah.
انت الى حلمه اذا اطعته احوج منك الى حلمه اذاعصيته
"engkau lebih membutuhkan kesantunan, maaf dan kesabaran Alloh ketika engkau berbuat taat (ibadah), melebihi dari pada kebutuhanmu atas kesantunan Alloh ketika engkau berbuat maksiat/dosa”.
Syarah:
Kemuliaan seorang hamba hanya ketika bersandar diri kepada Tuhannya. Dan hina/jatuhnya seorang hamba bila ia telah melihat dan berbangga dengan dirinya sendiri.
Sabtu, 31 Desember 2016
Makna Dzikir Menurut Syech Ibnu Atho'ilah
Menurut Syekh Ibnu Atha’illah, dzikir adalah melepaskan diri dari kelalaian dengan selalu menghadirkan kalbu bersama al-Haqq (Allah). Pendapat lain mengatakan bahwa dzikir adalah mengulang-ulang nama Allah dalam hati maupun melalui lisan. Hal tersebut bisa dilakukan dengan mengingat lafal jalalah (Allah), sifat-Nya, hukum-Nya, perbuatan-Nya atau suatu tindakan yang serupa. Dzikir bisa pula berupa doa, mengingat para rasul-Nya, nabi-Nya,wali-Nya, dan orang-orang yang memiliki kedekatan dengan-Nya, serta bisa pula berupa takarub kepada-Nya melalui sarana dan perbuatan tertentu seperti membaca, mengingat, bersyair, menyanyi, ceramah, dan bercerita.
Maka, dengan pemahaman seperti ini, mereka yang berbicara tentang kebenaran Allah, atau yang merenungkan keagungan, kemuliaan, dan tanda-tanda kekuasaan-Nya di langit dan di bumi, atau yang mengerjakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya sesungguhnya—dengan berbuat demikian—mereka sedang melakukan dzikir. Dzikir bisa dilakukan dengan lisan, kalbu, anggota badan, ataupun dengan ucapan yang terdengar orang. Orang yang berdzikir dengan menggabungkan semua unsur tersebut berarti telah melakukan dzikir secara sempurna.
Menurut Syekh Ibnu Atha’illah, dzikir lisan adalah dzikir dengan kata-kata semata, tanpa kehadiran kalbu (hudhur). Dzikir ini adalah dzikir lahiriah yang memiliki keutamaan besar seperti yang ditunjukkan oleh beberapa ayat Al-Quran, hadis, dan atsar.
Dzikir lisan terbagi dalam beberapa bagian. Ada yang terikat dengan waktu dan tempat, serta ada pula yang bebas (tidak ditentukan tempat dan waktunya). Dzikir yang terikat, misalnya bacaan ketika shalat dan setelah shalat, bacaan ketika haji, sebelum tidur, setelah bangun, sebelum makan, ketika menaiki kendaraan, dzikir di waktu pagi dan petang, dan seterusnya.
Sementara yang tidak terikat dengan waktu, tempat, ataupun kondisi, misalnya pujian kepada Allah seperti dalam untaian kalimat, “Subhana Allah wa al-hamdu li Allah wa la ilaha illa Allah wa Allah akbar wa la hawla wa la quwwata illa bi Allah al-‘aly al-‘azhim (Mahasuci Allah, segala puji bagi-Nya, tiada tuhan selain-Nya, dan Allah Mahabesar, tiada daya dan kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah Yang Mahatinggi dan Mahabesar).” Contoh lainnya adalah dzikir berupa doa seperti, “Rabbana la tu’akhidzna in nasina aw akhtha’na...,” atau munajat lainnya.
Selain itu, terdapat pula bacaan shalawat atas Nabi SAW yang akan memberi pengaruh lebih besar ke dalam kalbu para pemula daripada dzikir yang tidak disertai munajat. Sebab, orang yang bermunajat, kalbunya merasa dekat dengan Allah. Ia termasuk sarana yang memberikan pengaruh tertentu dan menghiaskan rasa takut pada kalbu.
Dzikir lisan ada yang bersifat ri’ayah misalnya ketika mengucapkan kalimat, “Allah bersamaku, Allah melihatku.” Ucapan tersebut mengandung usaha untuk menjaga kemaslahatan kalbu. Ia adalah dzikir untuk memperkuat kehadiran kalbu bersama Allah, memelihara etika di hadapan-Nya, menjaga diri dari sikap lalai, berlindung dari setan terkutuk, dan untuk bisa khusyuk dalam ibadah."
---Syekh Ibnu Atha’illah dalam Miftah al-Falah wa Misbah al-Arwah via Tasawuf Underground
Langganan:
Postingan (Atom)