Rabu, 11 Februari 2015

Mengenal Para Wali Dan Kedudukan Mereka


Syaikh Abdurrahman bin Abdullah Al-Khatib Baraja bertanya, “Apakah seorang wali quthub adalah wali ghaus, ataukah berbeda? Dan apa pula wali awtad, wali abdal dan kedudukan para ahlillah selainnya?”
Sayyid Abdullah bin Alwi Al-Haddad—semoga Allah membalas kebajikan beliau—menjawab, “Ketahuilah wahai saudaraku, dalam masalah ini, terdapat beberapa riwayat yang disandarkan kepada Rasulullah SAW dan cerita yang dinisbahkan kepada para wali Allah. Aku hanya akan menyampaikan satu hadis, atsar, dan cerita lainnya.
Al-Imam Al-Yafi’i meriwayatkan dalam kitab Al-Raudh dari Ibnu Mas’ud r.a., ia berkata, ‘Rasulullah bersabda, “Di dunia ini Allah memiliki 300 orang yang hatinya seperti hati Adam a.s., 40 orang yang hatinya seperti hati Musa a.s., 7 orang yang hatinya seperti hati Ibrahim a.s., 5 orang yang hatinya seperti hati Jibril a.s., 3 orang yang hatinya seperti Mikail a.s., 1 orang yang hatinya seperti hati Israfil a.s. Jika 1 dari yang seorang ini meninggal, maka kedudukannya akan ditempati oleh 1 dari yang 3 di atasnya, dan jika satu dari yang 3 orang itu meninggal, maka kedudukannya akan ditempati oleh 1 dari 5 orang yang di atasnya, dan jika 1 dari yang 5 ini meninggal, maka kedudukannya akan ditempati oleh 1 dari 7 orang yang di atasnya. Jika 1 dari yang 7 orang ini meninggal, maka kedudukannya akan digantikan oleh 1 dari 40 orang yang ada di atasnya. Jika 1 dari yang 40 orang ini meninggal, maka kedudukannya akan ditempati oleh 1 dari 300 orang yang di atasnya. Dan jika 1 dari yang 300 orang ini meninggal, maka kedudukannya akan ditempati oleh salah seorang dari kalangan umum. Dengan sebab perantaraan mereka inilah, Allah mengangkat bala dari umat ini.”’
Al-Imam Al-Yafi’i berkata, ‘Satu orang yang hatinya seperti Israfil a.s. inilah yang menjadi wali quthub atau ghauts. Kedudukan orang ini di antara para wali seperti kedudukan satu titik dari sebuah lingkaran yang menjadi porosnya, dengan sebabnyalah alam ini menjadi baik.’

Nabi Khidir a.s. mengatakan, ‘Ada tiga ratus orang yang berkedudukan sebagai wali, tujuh puluh orang sebagai al-nujaba’, empat puluh orang sebagai al-awtad (paku bumi), sepuluh orang sebagai al-nuqaba’, tujuh orang sebagai al-urafa’, tiga orang sebagai al-mukhtar, dan satu orang sebagai al-ghauts.’

Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani menyebut., ‘Al-abdal ada tujuh orang.’
Syaikh Ahmad Al-Rifa’i mengatakan, ‘Al-awtad ada empat orang.’

Syaikh Muhammad bin ‘Arabi mengatakan, ‘Wali quthub ada dua orang, keduanya disebut al-imamani (dua imam). Salah seorang dari keduanya berada di sebelah kanan yang pandangannya selalu ke alam malakut (alam gaib), sedangkan seorang lagi ada di sebelah kiri dan pandangannya selalu ke alam malak. Dan tatkala wali quthub meninggal dunia, maka ia akan digantikan oleh yang ada di sebelah kirinya.’

Beliau juga mengatakan, di antara para wali, terdapat beberapa orang yang disebut al-afrad, mereka tidak masuk dalam kelompok wali quthub, bahkan terkadang wali quthub tidak pernah berjumpa dengan mereka.
Hal yang kita pahami dari uraian Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani bahwa al-afrad dan wali-wali lainnya semuanya masuk dalam lingkaran wali al-ghauts atas kehendak Allah SWT. Dan, bilangan wali-wali Allah tidaklah terbatas dengan jumlah bilangan-bilangan di atas. Pada masa Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani, ada dua belas ribu wali yang hidup sezaman dengan beliau. Firman Allah Swt., “Dan tidaklah ada yang mengetahui tentara-tentara Tuhanmu kecuali Dia.” (QS Al-Muddatstsir [74]: 31).
Adapun al-quthub al-ghauts, ia hanyalah satu orang sepanjang zaman. Dialah al-fard al-jami’ yang disebut di kalangan sufi sebagai al-khalifah atau al-insan al-kamil, dan diberi gelar dengan pemilik al-shiddiqiyyah al-kubra dan al-wilayah al-‘udzma.

Sayyid Muhyiddin Abdul Qadir telah menyebutkan sekelumit sifat-sifat dan ungkapan rasa cinta mereka dalam satu ungkapan yang dinukil oleh Al-Imam Al-Yafi’i pada cerita terakhir dalam kitab Al-Mi’atayn. Bacalah jika engkau ingin mengetahuinya.

Al-quthbaniyyah artinya al-siyadah (kekuasaan), maka istilah quthub disebut secara kiasan kepada orang yang memiliki kekuasaan khusus terhadap para pemilik maqam (kedudukan) atau hal (keadaan).
Maka, disebutlah istilah quthbu al-mutawakkilin dan quthbu al-radhin dan lainnya. Kemungkinan istilah al-quthbu al-ghauts yang disebutkan untuk orang yang sudah mencapai maqam al-shiddiqiyyah al-kubra dan disingkat dengan sebutan al-quthub karena alasan arti kiasan ini.
Keterangan singkat ini kami rasa cukup untuk menjelaskan masalah ini. Para ulama sufi berbeda pendapat tentang istilah-istilah maqam kewalian ini dan jumlah bilangan mereka. Tetapi jika engkau perhatikan, engkau akan mengetahui bahwa perbedaannya hanya pada lafalnya saja.

Untuk memperluas pembahasan masalah ini, membutuhkan uraian tentang perasaan cinta (al-wajd) para wali kepada Allah dan tanda-tanda yang menunjukkan perasaan itu serta perbedaan tingkatan para wali di antara mereka. Hal ini tidak akan mungkin diketahui kecuali oleh seorang wali al-quthub al-ghauts, karena ia telah mengetahui tingkatan-tingkatan itu, dan karena tingkatan dan maqam para wali itu ada di bawah tingkatan dan maqamnya. Adapun wali-wali selain wali al-quthub al-ghauts, maka ia hanya mengetahui wali yang ada di tingkatannya atau yang ada di bawahnya. Dan ia hanya bisa melihat kedudukan wali yang ada di atas tingkatannya tetapi tidak mempu memahaminya.
Pada intinya, masalah ini termasuk perkara yang tidak akan bisa dipahami secara memuaskan tanpa ada kasyaf (tersingkapnya rahasia-rahasia ciptaan Allah) dan menyaksikan langsung. Dan barang siapa yang menginginkan hal tersebut, maka hendaklah ia selalu membersihkan dirinya dan melembutkan ketebalan hatinya dengan riyadhah (melakukan amal ibadah) yang bisa menghapus kegersangan hati serta menundukkan bisikan-bisikan nafsu, disertai dengan perasaan hadir dalam pengawasan Allah. Dan dengan adab yang baik, dengan perasaan merendah, menundukkan hati, dan penuh harap hanya kepada Allahsebagai pelaksanaan ‘ubudiyyah dan memenuhi kewajiban-kewajiban kita kepada-Nya.
Jika seorang hamba sudah melaksanakan kedua unsur ini, yaitu riyadhah (amalan-amalan ibadah) yang baik dan kesempurnaan hudhur (merasa selalu diawasi oleh Allah), maka akan tersingkaplah segala yang menutupi hatinya dan terlihatlah baginya rahasia-rahasia ciptaan Allah.

Saat itulah, ia bisa menyaksikan para wali dengan segala tingkatan dan kedudukan suci mereka dengan wujud ruh murni. Lalu ia pun tidak lagi memerlukan gelar tertentu dan kembali naik kedudukannya dari kerendahan taqlid (mengikuti) kepada kemuliaan kasyaf (tersingkapnya rahasia-rahasia ciptaan Allah). Adapun bagi kita—orang-orang yang terhijab dari hal itu—hanya bisa menceritakan dan menjelaskan makna dari keadaan-keadaan itu.
Dan tidaklah dikategorikan perkara kecil jika seandainya kita mengalami kebekuan dalam hal ini, karena perkara ini akan melahirkan rasa cinta dalam hati sertamenimbulkan kerinduan di dalam jiwa. Perasaan cinta dan rindu inilah yang menggelorakan semangat untuk mencari, dan barang siapa yang mencari sesuatu dengan sungguh-sungguh maka ia akan mendapatkannya. Setiap berita yang dibawa oleh nabi dan rasul ada waktu terjadinya, dan setiap ajal memiliki catatannya. “


Sumber : Sayyid Abdullah bin Alwi Al-Haddad dalam kitab An-Nafais Al-‘Uluwiyyah fi Masail Ash-Shufiyyah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar