Di dalam Shahih Muslim disebutkan keterangan dari Yahya bin Abi Katsir, yang mengatakan, “Ilmu itu tak didapat dengan bersantai-santai.” Syair berikut ini juga menuturkan hal yang sama:
Janganlah engkau duga
bahwa kemuliaan itu
bagaikan kurma yang engkau makan
Engkau tak akan mencapai kemuliaan
sampai engkau merasakan kesabaran
bahwa kemuliaan itu
bagaikan kurma yang engkau makan
Engkau tak akan mencapai kemuliaan
sampai engkau merasakan kesabaran
Panutan kita, Imam Syafi’i, pernah mengatakan, “Tidak mungkin orang yang menuntut ilmu ini (ilmu agama) dengan cepat bosan dan merasa puas akan beruntung, melainkan yang beruntung adalah yang menuntutnya dengan menahan diri, merasakan kesempitan hidup, dan berkhidmat untuk ilmu.”
Beliau juga mengatakan, “Tidak akan beruntung orang yang menuntut ilmu kecuali yang menuntutnya dalam keadaan serba kekurangan. Aku dahulu mencari sehelai kertas pun sangat sulit. Tidak mungkin seseorang menuntut ilmu dengan keadaan serba ada dan harga diri yang tinggi kemudian ia beruntung.”
Ketika menceritakan biografi Imam Muslim, Abu ‘Amr bin Ash-Shalah berkata, “Wafatnya beliau memiliki sebab yang langka, yakni timbul karena kepedihan memikirkan ilmu.”
Begitulah, sedemikian besar perhatian para ulama masa lalu terhadap ilmu, sehingga mereka rela menanggung kepayahan dalam memikirkannya sepanjang hayat.
Tokoh sufi terkemuka yang sangat termasyhur, Sayyid Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani, juga mengalami masa-masa sulit yang luar biasa dalam menuntut ilmu. Dengarlah cerita yang dituturkannya:
Tokoh sufi terkemuka yang sangat termasyhur, Sayyid Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani, juga mengalami masa-masa sulit yang luar biasa dalam menuntut ilmu. Dengarlah cerita yang dituturkannya:
“Aku memunguti selada, sisa-sisa sayuran, dan daun carob dari tepi kali dan sungai. Kesulitan yang menimpaku karena melambungnya harga yang terjadi di Baghdad, membuatku tidak makan selama berhari-hari. Aku hanya bisa memunguti sisa-sisa makanan yang terbuang untuk kumakan.
Suatu hari, karena sangat laparnya, aku pergi ke sungai dengan harapan mendapatkan daun carob, sayuran, atau selainnya yang bisa kumakan. Tetapi tidaklah aku mendatangi suatu tempat melainkan ada orang lain yang telah mendahuluinya. Ketika aku mendapatkannya, aku melihat orang-orang miskin itu memperebutkannya. Maka, aku pun membiarkannya, karena mereka lebih membutuhkan.”
Suatu hari, karena sangat laparnya, aku pergi ke sungai dengan harapan mendapatkan daun carob, sayuran, atau selainnya yang bisa kumakan. Tetapi tidaklah aku mendatangi suatu tempat melainkan ada orang lain yang telah mendahuluinya. Ketika aku mendapatkannya, aku melihat orang-orang miskin itu memperebutkannya. Maka, aku pun membiarkannya, karena mereka lebih membutuhkan.”
Seorang tokoh ulama, Syaikh Ibrahim bin Ya‘qub, menceritakan bagaimana kondisi yang dialami Imam Ahmad bin Hanbal demikian: Imam Ahmad suatu saat shalat bersama Abdurrazzaq. Suatu hari beliau lupa dalam shalatnya. Maka Abdurrazzaq bertanya mengapa ia bisa lupa. Ia memberi tahu bahwa ia belum makan apa-apa sejak tiga hari.
Renungkanlah pula apa yang dikatakan Sa‘id Nursi Badi‘uz-Zaman, tokoh ulama Turki abad ke-19 hingga ke-20 yang sangat termasyhur, ketika menggambarkan hakikat ilmu dan proses pencapaiannya. Ia mengatakan, “Ketahuilah, ilmu itu suatu keperluan yang lambat (tak segera dibutuhkan), cita-cita yang jauh, yang tidak dapat tercapai dengan anak panah, tidak terlihat di dalam tidur, tidak diwarisi dari orangtua dan paman. Melainkan bagaikan pohon yang tidak akan baik kecuali bila ditanam dan tidak dapat ditanam kecuali di dalam jiwa, tidak dapat diairi kecuali dengan belajar, dan tidak dapat menjadi baik kecuali dengan bersandar pada batu, senantiasa tak tidur malam (untuk belajar), sedikit tidur, menyambungkan malam dengan siang. Tak akan dapat mencapainya kecuali orang yang selalu menggunakan matanya.
Apakah seorang yang menyibukkan waktu siangnya dengan mengumpulkan harta dan menyibukkan waktu malamnya berkumpul dengan wanita menyangka akan tampil sebagai seorang faqih? Tidak! Demi Allah, ia tak akan meraih itu sampai ia menuju kepada buku-buku catatannya, menemani tinta-tinta penanya, terus menuntut ilmu siang dan malam, serta menerima kepahitan-kepahitan karena sabar.”
Sumber : Habib Ali Abdurrahman Al-Habsyi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar