Selama ini memang yang kita tahu bahwa shalat wajib dalam sehari
semalam itu ada 5; Zuhur, Ashar, Maghrib, Isya, dan Subuh. Itu yang memang
masyhur. 5 sholat tersebut hukumnya wajib dilaksanakan bagi orang-orang yang sudah aqil baligh, baik laki-laki maupun perempuan. Bila tidak dilaksanakan maka dihukumi kufur, bahkan bila mengingkari kewajiban sholat tersebut, maka hukumnya murtad.
Tapi jangan kaget nantinya jika ada yang mengatakan bahwa shalat wajib
hanya satu. Ini yang dipegang kuat oleh madzhab Imam Abu Hanifah.
Dalam madzhab ini, shalat wajib memang hanya satu; Shalat Witir.
Pendapat ini berangkat dari hadits Nabi SAW yang memang menunjukkan itu;
إِنَّ اللَّهَ وِتْرٌ يُحِبُّ الْوِتْرَ فَأَوْتِرُوا يَا أَهْل
الْقُرْآنِ
”Sesungguhnya Allah itu ganjil dan menyukai yang ganjil. Maka
kerjakanlah shalat witir wahai ahli Al-Quran.” (HR. Bukhari Muslim)
الْوِتْرُ حَقٌّ فَمَنْ لَمْ يُوتِرْ فَلَيْسَ مِنَّا
”Witir itu kewajiban, siapa yang tidak melakukan shalat witir
maka dia bukan bagian dari kami.” (HR. Abu Daud)
إِنَّ اللَّهَ تَعَالَى أَمَدَّكُمْ بِصَلاَةٍ هِيَ خَيْرٌ لَكُمْ
مِنْ حُمْرِ النَّعَمِ وَهِيَ صَلاَةُ الْوِتْرِ فَصَلُّوهَا مَا بَيْنَ صَلاَةِ
الْعِشَاءِ إِلَى صَلاَةِ الْفَجْرِ
Sesungguhnya Allah SWT telah menganugerahkan sebuah shalat yang
lebih baik bagi kalian dari unta yang merah. Shalat itu adalah shalat witir.
Lakukanlah shalat witir itu di antara shalat Isya’ dan shalat shubuh. (HR.
Tirmizy)
Dari ketiga hadits dan hadits yang lainnya juga, madzhab Imam
Abu Hanifah memasukkan shalat witir sebagai sebuah kewajiban. Karena memang
teks hadits menunjukkan perintah, dan perintah buahnya adalah sebuah kewajiban
selama ada dalil dan qarinah lain yang menurunkan level itu menjadi sebuah
kesunahan.
Lalu shalat yang 5 waktu, apa hukumnya?
Sedangkan shalat yang 5 itu, bukan wajib hukumnya, akan tetapi
itu adalah shalat Fardhu. Karena memang madzhab ini membedakan antara wajib dan
fardhu, karena itu juga hukum taklif dalam madzhab Imam Ahl al-Iraq itu bukan
Cuma 5 (Wajib, Sunnah, Haram, Makruh, Mubah) sebagaimana Jumhur ulama, akan
tetapi hukum taklif itu ada 7; Fardhu, Wajib, Sunnah, Makruh Karaha Tahrim,
Makruh Karaha Tanzih, Haram.
Ini muncul karena perbedaan madzhab Imam Abu Hanifah dalam
konsep istinbath dan melihat sifat teks syariah itu sendiri, baik al-Quran atau
juga al-hadits. Madzhab Imam Abu Hanifah dalam ushul disebut dengan istilah
madzhab al-Fuqaha’, sedangkan madzhab Jumhur dalam ushul disebut dengan istilah
madzhab al-Mutakallimin. Pembedaan nama madrasah ushul ini jelas timbul karena
perbedaan konsep keduanya dalam melihat teks syariah.
Sebagai tambahan informasi, secara global madzhab al-Fuqaha’
tidak hanya memperhatikan dilalah (indikasi) dari sebuah teks syariah. Mereka
juga sangat teliti dengan tsubut (sumber)-nya teks tersebut, apakah Tsubut-nya
qath’iy (al-Quran dan Hadits Mutawatir), atau dzanniy (hadits Ahad)? Berbeda
dengan madzhab al-Mutakallimun yang (dalam beberapa masalah) tidak
memperhatikan tsubut-nya teks syariah tersebut; qath’iy atau dzanniy, mereka
lebih memperhatikan dilalah-nya saja, apakah dilalah-nya Qath’iy atau dzanniy.
Fardhu dan Wajib, Apa Bedanya?
Imam al-Amidy (631 H) dalam kitabnya “al-Ihkam fi Ushul
al-Ahkam” (1/99) secara tegas mengatakan bahwa jumhur tidak membedakan antara
wajib dan fardhu. Selama dilalah-nya jelas dan nyata menunjukkan kewajiban, itu
adalah fardhu yang juga sebuah kewajiban.
Madzhab Imam Abu Hanifah mengatakan, justru Fardhu itu
derajatnya lebih tinggi daripada wajib, dan tidak sama. Salah satu ulama
masyhur madzhab ini; Imam Abdul Aziz al-Bukhariy (730 H) menjelaskan secara
detil perbedaan antara Fardhu dan wajib ini dalam kitab ushul beliau; “Kasyf
al-Asror, Syarhu Ushul al-Bazdawi” (2/303).
Beliau mengatakan bahwa dari segi bahasa dan syara’, jelas nyata
perbedaan antara fardhu dan wajib. Fardhu secara bahasa adalah al-Qath’u wa
al-Taqdir, yaitu sesuatu yang pasti dan sudah ada ukuran atau takarannya.
Karena itu ilmu waris disebut juga dengan istilah Faraidh, yang merupakan
bentuk plural dari Faridhah yang berarti sesuatu yang sudah pasti dan sudah ada
ukurannya.
Sedangkan wajib dalam bahasa punya arti berbeda dengan fardhu.
Wajib secara bahasa berarti Luzum, yakni tuntutan yang harus dilakukan. Tapi
bukan sesuatu yang terukur atau pasti.
Sedangkan secara syara’, madzhab ini mendefinisikan fardhu sebagai hukum yang lahir dari teks syariah yang berisikan dilalah akan keharusan yang qath’iy (tidak multi tafsir), dan tsubut (sumber)-nya juga qath’iy (al-Qur’an dan hadits mutawatir). Akan tetapi, wajib itu hukum yang lahir dari teks syariah yang dilalah-nya qaht’iy, sedangkan tsubut-nya dzanniy.
Sedangkan secara syara’, madzhab ini mendefinisikan fardhu sebagai hukum yang lahir dari teks syariah yang berisikan dilalah akan keharusan yang qath’iy (tidak multi tafsir), dan tsubut (sumber)-nya juga qath’iy (al-Qur’an dan hadits mutawatir). Akan tetapi, wajib itu hukum yang lahir dari teks syariah yang dilalah-nya qaht’iy, sedangkan tsubut-nya dzanniy.
Dengan demikian –beliau meneruskan- sesuatu yang fardhu adalah
sesuatu yang harus diyakini kewajibannya dalam hati, dan harus dilakukan oleh
badan. Artinya jika ada yang menginkari ke-fardhu-an sesuatu yang sudah
dihukumi fardhu, ia telah kafir.
Sedangkan wajib, itu sesuatu yang harus dikerjakan denagn badan, namun tidak harus diyakini dalam diri. Artinya menginkari kewajiban bukanlah sesuatu yang membuat seorang muslim menjadi kafir.
Sedangkan wajib, itu sesuatu yang harus dikerjakan denagn badan, namun tidak harus diyakini dalam diri. Artinya menginkari kewajiban bukanlah sesuatu yang membuat seorang muslim menjadi kafir.
Meninggalkan Yang Wajib
Al-Bukhariy kemudian melanjutkan di halaman selanjutnya, bahwa
orang yang meninggalkan kewajiban dalam madzhab ini konsekuensinya dilihat dari
bagaimana ia meninggalkan.
Pertama, jika ia meninggalkan yang wajib sambil meremehkan
kewajiban tersebut, ia dihukumi sebagai orang yang sesat. Karena ia telah
mengingkari teks syariah yang sifatnya dzanniy.
Kedua, ia meninggalkan karena punya tafsiran lain dari kandungan
teks syariah yang dzanniy itu, atau dalam istilah ushul disebut dengan ta’wil.
Kalau seperti ini, ia tidak salah tidak juga fasiq, karena men-ta’wil (dengan
kaidah ta’wil yang benar) adalah sesuatu yang dijalankan oleh ulama sejagad,
baik yang salaf atau khalaf.
Ketiga, ia meninggalkan kewajiban tidak dengan model pertama dan
tidak juga dengan model kedua, orang seperti ini dijuluki sebagai rajul su’
(orang berdosa) yang berbuah kepada kefasiqan. Karena mengerjakan yang wajib
adalah sebuah ketaatan dan mengingkarinya adalah sebuah maksiat.
Membuka Cakrawala
Sejatinya, dengan artikel ini, penulis ingin mengajak para
pembaca sekalian membuka mata bahwa khazanah keilmuan syariah Islam yang telah
diwariskan oleh para ulama-ulama kita sejak belasan abad yang lalu itu luas
sekali, dan sangat disayangkan kalau terus memnerus menutup mata akan hal ini.
Karena itu, sebaiknya tidak mencukupkan diri dengan yang sedikit
jika memang ingin mendalami, agar tidak menjadi jumud dan terlalu ekslusif
sendiri, sehingga selalu ogah jika melihat adanya perbedaan. Itu kalau memang ingin
yang lebih luas.
Akan tetapi, sejatinya memang cukup bagi kita ilmu syariah yang
merupakan fardhu-fardhu saja, tidak perlu tahu detilnya bagaimana. Cukup tahu
hukum ini A dan hukum itu B, tak peduli apa itu dzanniy, apa itu qath’iy, apa
itu dilalah, tsubut, nash, dzahir, ‘aam, khash, serta saudara-saudaranya. Cukup
yang instan saja.
Nah, kalau sudah merasa cukup dengan yang instan, maka cukup
pula untuk tidak terlalu banyak berbicara syariah, hukum, jurisprudensi sana
sini dengan pongah apalagi menyalahkan yang lain yang berbeda padahal hanya
punya satu lembar catatan ilmu.
Mari sadar diri.
WaLlahu a’lam
Penulis : Ahmad
Zarkasih, Lc, RumahFiqih
Tidak ada komentar:
Posting Komentar